Ilmuwan: Pemikiran Ekstrem Terjadi karena Ada Kerusakan Otak

Ilustrasi otak
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Sebuah studi mengungkap adanya kaitan antara otak dan kepercayaan (agama) seseorang. Namun, masih banyak yang harus dipelajari tentang bagaimana otak dipengaruhi sikap radikal atau ekstremis.

Ribuan Konten Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Disikat Habis

Peneliti Universitas Northwestern, Jordan Grafman, mengatakan, pihaknya sedang melakukan riset bahwa ada faktor lain, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang mempengaruhi kepercayaan terhadap lingkungan sosial.

"Meskipun kepercayaan terhadap agama dan lainnya bisa dipelajari elektif dan terpisah dari kognisi serta proses sosial lainnya, seperti ketergantungan dan interaksi, fungsi otak akan menjadi area studi yang penting," kata Grafman, seperti dikutip situs PsyPost, Senin, 8 Mei 2017.

Mantan Napiter Dukung Upaya BNPT Lindungi Perempuan dari Radikalisme

Ia mengungkapkan, agama telah memahat perilaku seseorang selama ribuan tahun dan membantu membentuk perkembangan serta kecanggihan otak manusia.

"Kepercayaan adalah sistem yang bergantung pada aspek lain dari proses kognitif dan sosial serta interaksi kita. Ini penting untuk dipahami," ungkapnya.

Uskup Agung Kritik Definisi Ekstremisme Baru di Inggris Menyasar Komunitas Muslim

Grafman dan rekan-rekan lalu memeriksa 119 mantan prajurit yang mengalami cedera otak pada masa Perang Vietnam.

Menurut Jurnal Neuropsychologia yang diterbitkan pada Mei 2017, ekstremisme agama bisa terjadi karena ada kerusakan pada bagian ventromedial prefrontal cortex.

Ventromedial prefrontal cortex berada pada bagian depan otak dan telah diketahui terkait dengan sistem kepercayaan seseorang.

Grafman mengungkapkan, semakin banyak kerusakan pada bagian itu, semakin ekstrem pula kepercayaan seseorang.

Tak hanya itu, kerusakan juga menyebabkan penurunan kecerdasan dan karakter kurang terbuka atau menutup diri.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya