Nasib Startup Cekmata Usai Menang TheNextDev

Chief Technology Officer Cekmata, Sylvester Albert Samadhi
Sumber :
  • VIVA/Amal Nur Ngazis

VIVA – Perusahaan rintisan atau startup pendeteksi katarak berbasis kecerdasan buatan, Cekmata kini makin mengembangkan sistemnya. Startup pemenang kompetisi TheNextDev 2017 Telkomsel itu ingin meningkatkan kemampuan deteksi dalam mengenali katarak agar makin presisi. 

Penipu Makin Jago, GoFood Kian Peduli Keamanan Data Pribadi

Cekmata menginginkan kecerdasan buatan pada sistem mereka bisa nyaris akurat dalam mendeteksi katarak warga di Indonesia. Sebelumnya kemampuan Cekmata mendiagnosis katarak sekitar 65-70 persen dan dengan berjalannya waktu akan terus ditingkatkan.  

"Sekarang mendekati hampir 80 persen. Kami berharap hampir 95 persen dan akan terus mengembangkannya," ujar Chief Technology Officer Cekmata, Sylvester Albert Samadhi kepada VIVA belum lama ini.

Nilai Bisnis juga Tidak Kalah Penting di Era Digital

Pria asal Surabaya itu menuturkan, aplikasi Cekmata yang dikembangkan sejak Oktober 2017 itu sudah dikenal banyak pengguna di nusantara. Albert mengatakan tiap harinya, setiap bulan rata-rata ada 2500-3000 pengecekan mata di Cekmata dari seluruh Indonesia.

Pengguna yang mengecek matanya, kata dia, ada beberapa yang diantar oleh anak maupun cucunya yang lebih mengenal teknologi. Para orang tua pun, yang awalnya tidak mengerti, kini merasakan manfaat dari aplikasi Cekmata. 

Japan-Indonesia Innovation Summit 2022 Wadah Global Startup Lokal

Dengan perkembangan aplikasi Cekmata yang kian masif dan populer, Albert menuturkan, kini Cekmata bisa memanfaatkan tren swafoto alias selfie untuk mengecek mata. 

"Kami bisa memanfaatkan orang selfie. Sekarang selfie bisa untuk cek kesehatan juga," kata dia.  

Cekmata memang memanfaatkan kecerdasan buatan untuk mengecek kondisi mata. Ke depan, bersama timnya bisa memanfaatkan kecerdasan buatan itu untuk deteksi penyakit lain pada tubuh manusia. 

Albert menceritakan, timnya pernah menjalankan riset dengan mitra untuk menguji kemampuan kecerdasan buatan mendeteksi paru-paru pada pasien. Kecerdasan buatan bisa dikembangkan membantu para dokter membedakan presisi TBC dan pneumonia (radang paru-paru). Dua hal tersebut butuh diaognosis yang tepat sebab TBC dan pneumonia merupakan dua hal yang berbeda mulai dari pengobatan sampai perlakuannya.

"Kami fokus pada mata dulu. Kami selalu perbaiki algoritma dan data, supaya diagnosis semakin cepat dan akurat," katanya. 

Albert bersama timnya, mengatakan mereka lebih memilih fokus pada mata, lantaran katarak menjadi salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia tapi belum terselesaikan solusinya. 

Sebagai gambaran mudah saja, di Surabaya, kata Albert, warga yang mengalami katarak buta mencapai 210 ribu pasien per tahun. Dengan jumlah tersebut, andaikan puskemas dan rumah sakit di Surabaya digabung dan tiap hari secara penuh mengoperasi pasien katarak, hanya bisa menanggulangi 20 ribu pasien saja dari total 210 ribu pasien tersebut. 

"Jadi kami ingin masalah itu berkurang. Sedikit demi sedikit, sehingga kebutaan bisa hilang lah," katanya. 

Dia berharap, Cekmata bisa dimanfaatkan warga untuk mengecek mandiri (self check) kondisi mata mereka. Begitu mengecek mata mereka, nantinya Cekmata akan memberikan rekomendasi ke pemeriksaan mata di lokasi terdekat pengguna, bisa ke dokter dan klinik. 

Sebagai ‘juara kelas’ dalam kompetisi The NextDev 2017 Telkomsel. Cekmata dikirim ke Silicon Valley, California Amerika Serikat untuk menimba ilmu startup

Albert menuturkan, selama di Silicon Valley, dia bertemu dengan salah satu startup yang mirip dengan Cekmata. Bedanya startup sejenis itu sudah lebih mapan karena telah mendapatkan suntikan investasi. Startup yang diceritakan Albert itu menggunakan kecerdasan buatan untuk mengecek kanker kulit. 

"Kami berkomunikasi dan berharap bisa berkolaborasi bersama," tuturnya. 

Selama di Silicon Valley, Albert meyakini kualitas inovasi teknologi dan startup di Indonesia tak kalah dengan luar negeri. Hanya saja, pengembang startup di Indonesia kalah pendanaan yang membuat inovasi mereka kadang tak berkembang. 

"Kalau ngomongin Gojek, kualitas teknologi kita enggak kalah. Kita hanya kurang berani ambil tindakan dan mungkin investor kurang. Kalau di luar itu, investor memberi dana kayak ngasih daun, ada yang menarik terus dibantu. Kami berharap dunia investasi di sini makin maju," jelasnya. 

Bicara soal kendala dalam pengembangan Cekmata, Albert mengakui pendanaan merupakan salah satu hal yang penting. Dia mengakui ada kendala dalam hal tersebut. 

"Machine learning butuh server yang cukup besar, sementara ini kami masih dari dompet kita. Ini masih beta. Untuk server di kita. Beberapa hadiah The NextDev untuk server dan untuk pengembangan lebih lanjut," ungkapnya.

Inspirasi Cekmata

Albert mengatakan, bersama dua teman sekolahnya menginisiasi Cekmata lantaran prihatin dengan kondisi kesehatan mata warga. Apalagi, katarak merupakan penyakit nomor satu di Indonesia. 

Kemudian mereka bertiga berimajinasi, apakah dengan kolaborasi bisa mengurangi katarak dan membuka kesadaran warga untuk lebih dini mengecek kesehatan mata, sebelum akhirnya pergi ke dokter.

Pada awal pengembangan Cekmata, Albert mengakui, butuh edukasi ke warga dan pengguna atas layanan pengecekan Cekmata. Pada tahap awal, Albert bersama kedua koleganya memasarkan Cekmata ke lingkungan terdekat mereka.

Bahkan untuk kepentingan pengambilan data mata, mereka sampai blusukan ke acara bakti sosial di berbagai tempat. 

"Kami pergi ke baksos, orang katarak kita foto supaya mesin (Kecerdasan buatan) makin banyak data dan mengetahui pola kesehatan mata manusia," ujarnya. 

Dengan berjalannya waktu, pengguna yang mengecek mata ke Cekmata makin meningkat hingga ribuan per bulannya. (sar)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya