Kisah Angkie Yudistia Ubah Kekurangan Fisik jadi Anugerah

Angkie Yudistia
Sumber :
  • VIVA/ Adinda Permatasari

VIVA – Angkie Yudistia mungkin memiliki keterbatasan pendengaran, tapi hal itu justru membuatnya tak terbatas dalam berkarya. Memang tak instan, tapi Angkie bisa menjadi salah satu inspirasi bagi kaum disabilitas untuk menghilangkan anggapan bahwa mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Buka Bersama Perhimpunan Tionghoa, Istri Gus Dur Ingatkan Kemajemukan Indonesia

Angkie lahir di Medan, 5 Juni 1987. Ia lahir dengan sehat dan normal hingga pada usia 10 tahun Angkie terserang malaria. Konsumsi antibiotik yang terus menerus mengakibatkan pendengaran Angkie rusak. Ia pun tak bisa mendengar lagi seperti sebelumnya.

Musibah ini tentu membuat dunia Angkie hancur. Segala cara sudah dicoba, mulai dari pengobatan paling modern hingga tradisional, di dalam dan luar negeri. Hasilnya tetap nihil, pendengaran Angkie tak lagi bisa dipulihkan.

Berprestasi di Ajang Internasional, Atlet NPC Sumut Diguyur Bonus Rp3,1 Miliar

"Sudah melakukan macam-macam, dari berdoa 'Ya Allah kenapa saya diciptakan seperti ini, sampai berobat, pokoknya pengobatan yang keren-keren," ujar Angkie saat berbincang dengan VIVA di kawasan Sudirman, Jakarta, belum lama ini.

Sampai akhirnya pola pikir Angkie perlahan berubah. Dia mengubah apa yang dipanjatkannya kepada Sang Pencipta. Keyakinannya mulai terbangun bahwa apa yang dialaminya pasti memiliki tujuan, tapi apa maksud dari tujuan itu yang masih perlu dicarinya.

Al-Qur'an for All: Hadirkan Iqro'na untuk Penyandang Disabilitas

"Pada akhirnya cara satu-satunya adalah memperbanyak pengalaman," ujar wanita yang akan melahirkan anak keduanya itu.

Angkie menilai, pengalaman yang kaya akan membuatnya mampu menciptakan karakter diri di luar ekspektasi orang lain. Karena itu, di luar keterbatasan pendengaran Angkie mantap memilih sekolah komunikasi di London School of Public Relation.

Soal pendidikan Angkie dan orangtua memang punya tekad yang kuat untuk tidak membatasi diri. Sejak kecil, meski tunarungu, Angkie tetap bersekolah di sekolah umum.

"Mama bilang, kita berhak mendapatkan pendidikan yang sama, pertemanan yang tidak dibeda-bedakan, dan pendidikan juga tidak dibeda-bedakan," kata penulis buku Menembus Batas & Setinggi Langit.

Meski lebih sulit, tapi Angkie membuktikan ia bisa tetap bertahan. Bahkan, lewat kesulitan itu Angkie lagi-lagi mendapat pelajaran hidup, bahwa ia harus bisa mencari solusi dari kesulitan yang dihadapinya.

Kekuatan Angkie dalam mendobrak stigma dan kekurangan membuatnya kian melesat dalam bidang pendidikan. Ia bisa mencapai di luar ekspektasi dengan meraih gelar S2.

Lewat kuliah komunikasi itu pula Angkie berhasil menemukan jati dirinya. Ia bisa bangkit dari keterpurukan yang mengungkungnya selama 10 tahun.

"Aku beruntung kuliah komunikasi, aku belajar banyak bagaimana caranya mingle, berbaur dengan siapapun tanpa dibatasi," lanjutnya.

Angkie berpesan untuk para penyandang disabilitas lain yang masih merenungi kekurangannya, berdamailah dengan diri semdiri. Jika masih ada keraguan atau ketakutan tidak bisa melakukan banyak hal, itu artinya mereka belum berdamai dengan diri sendiri.

"Perlu waktu, jadi tidak usah buru-buru, nikmati prosesnya, kalau sudah berdamai dengan diri sendiri, kita akan tahu mau kemana," pesan Angkie.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya