BPOM Tak Akan Pernah keluarkan Klaim Jamu Bisa Bunuh COVID-19

Ilustrasi obat herbal.
Sumber :
  • Pixabay/Vijayanarashimha

VIVA – Deputi II Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dra. Rr. Maya Gustina Andarini, Apt., M.Sc., turut menyoroti klaim Hadi Pranoto, yang menyebut telah menciptakan obat herbal yang tidak hanya dapat mencegah tapi juga mengobati virus corona atau COVID-19. 

Sempat Hilang Kesadaran Akibat Sepsis, Chicco Jerikho Ngerasa Dikasih Kesempatan Kedua

Maya menegaskan, untuk bisa diklaim dapat mengobati suatu penyakit atau bisa beredar harus ada aturannya, tidak bisa begitu saja menemukan, kemudian mengklaimnya sebagai obat.

Baca juga: Rusia Jadi Negara Pertama di Dunia yang Daftarkan Vaksin Corona 

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

"Apalagi dikatakan bahwa sudah dilakukan pada ribuan pasien. Karena pasien ini kan manusia. Manusia itu harus kita perhatikan haknya, ketika kita melakukan uji klinis pada mereka," ujarnya saat virtual press conference Menyikapi Maraknya Klaim Obat COVID-19 Melalui Media Sosial. 

Maya menjelaskan, harus ada ethical clearance dan protokol-protokol yang harus memerhatikan subjek peneliti. Setelah itu, baru bisa diklaim. Dan BPOM sendiri berjanji akan memfokuskan hal tersebut. 

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

"Jadi, Badan POM melakukan pengawasan full spectrum. Bapak-ibu sudah tahu melalui dari industri sampai produk itu beredar di pasar, kami melakukan pengawasan. Dan juga sampling, pengujian iklan, semuanya kita lihat. Itu supaya masyarakat tidak terkecoh atau dapat mengonsumsi produk itu dengan aman," lanjut dia. 

Namun, berbeda dengan jamu, di mana produk tersebut tergolong ramuan empiris, yang artinya sudah turun-temurun digunakan sejak zaman nenek moyang. Jadi, tidak perlu uji empiris. 

"Seperti temulawak, beras kencur, kunyit asam, itu kan semua ramuan-ramuan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dan klaimnya pun klaim empiris. Kita melihat itu dari beberapa pustaka. Itu untuk jamu tidak perlu uji empiris, sebab kita sudah tahu mengenai keamanannya," kata dia. 

Untuk herbal, ada tiga tahap yang harus dilalui agar mendapat izin edar. Di mana obat herbal standar, bahan bakunya pun terstandar. Dan harus dilakukan uji pra kinik pada hewan untuk meyakinkan bahwa produk ini aman. Setelah proses ini, uji coba naik tingkat jadi fitofarmaka.

Baca juga: Jangan Asal Percaya, Belum Ada Obat untuk Sembuhkan COVID-19

"Ini akan diuji klinis pada manusia, artinya tingkatnya sama dengan obat konvensional. Semua produk ini tidak harus naik tingkat, kalau memang dia jamu ya sudah biarkan saja sebagai jamu. Karena dari dulu beras kencur juga fine-fine aja, laku dijual, diminum ribuan orang juga gak masalah. Belum tentu fitofarmaka," tuturnya. 

Tapi, lain hal jika untuk pengobatan COVID-19. Karena di zaman nenek moyang, virus corona belum ada. Jadi, Maya menegaskan tidak ada empiris untuk COVID-19. 

"Kalo untuk klaimnya COVID-19 berarti harus dilakukan uji fitofarmaka, karena virus ini baru ketemu sekarang. Jadi, kalo jamu membunuh virus COVID-19 itu pasti tidak akan pernah dikeluarkan oleh Badan POM klaim tersebut," kata Maya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya