Singgung Gagal Ginjal Anak, Komnas PA Minta BPOM Lakukan Pelabelan BPA dan Etilen Glikol

Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait
Sumber :
  • Ist.

VIVA Lifestyle – Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melabeli semua kemasan pangan plastik yang mengandung zat-zat berbahaya seperti Bisfenol A (BPA) dan etilen glikol (EG). Hal tersebut disebabkan kandungan zat-zat kimia itu berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak yang mengonsumsi produknya.

Sarwendah Kantongi Alamat Pelaku Komentar Betrand Peto, Bakal Dibawa ke Meja Hijau?

“Komnas Perlindungan Anak sangat konsen terhadap air minum atau makanan yang berbahaya bagi anak-anak seperti halnya BPA dan etilen glikol yang disebutkan bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Kami sangat prihatin terhadap kondisi anak-anak di Indonesia yang saat ini banyak yang menderita sakit karena makanan yang dikonsumsinya,” ujar Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dalam keterangannya, Senin 12 Desember 2022. 

Arist mengungkapkan berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada sekitar 152 anak yang dinyatakan positif gagal ginjal karena telah mengonsumsi sirup obat batuk yang mengandung zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi batas ambang aman yang ditetapkan BPOM.

Bagai Kembaran, Deretan Ibu dan Anak Seleb Ini Seperti Pinang di Belah Dua

Sementara, IDAI Jawa Timur dan Malang melaporkan dari 13 anak gagal ginjal, 10 di antaranya yang berada di Surabaya meninggal dunia. Di Malang dari 6 anak yang ditemukan gagal ginjal 2 meninggal dunia. Di Jogja, ada 5 anak yang berumur di bawah 5 tahun meninggal dunia. Di Rumah Sakit Adam Malik Sumatera, dari 11 anak gagal ginjal 6 diantaranya meninggal dunia. 

Ilustrasi anak sakit.

Photo :
  • freepik/lifeforstock
Anak 5 Tahun Tewas Dianiaya Ayah Tiri, Jasadnya Dibuang Ibu Kandung ke Tapanuli Utara

“Ini masih dicari penyebabnya. Kalau memang itu nanti ada dampak dari etilen glikol, saya kira ini harus menjadi perhatian IDAI untuk merekomendasikan kepada Badan POM sebagai pemegang regulasi untuk mengadakan penelitian terhadap semua kemasan pangan yang mengandung etilen glikol,” ujarnya.

Arist pun meminta agar BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan “berpotensi mengandung etilen glikol” terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol. Hal itu untuk mengantisipasi lebih banyak lagi anak-anak di Indonesia yang meninggal atau mengalami gagal ginjal akibat mengonsumsi produk-produk yang dikemas dalam kemasan pangan yang mengandung EG dan DEG ini.

Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi BPOM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi supaya masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu. 

"Karena kemasan pangan termasuk plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, dan lain-lain, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.

Komnas Perlindungan Anak melihat banyaknya produk plastik yang mengandung etilen glikol yang dikonsumsi oleh anak-anak, baik bayi dan balita.

Ilustrasi - Obat sirup

Photo :
  • ANTARA

"Kami juga akan terus mengkampanyekan bahaya etilen glikol ini ke masyarakat. Semua produk yang digunakan oleh rumah tangga dalam bentuk plastik termasuk plastik sekali pakai itu harus ada peringatan bahwa kemasan itu mengandung etilen glikol pada labelnya,” katanya.

Selain etilen glikol, zat berbahaya lainnya yang harus diawasi BPOM adalah kemasan-kemasan pangan yang mengandung BPA. Menurutnya, kemasan ini juga perlu pelabelan yang sama seperti etilen glikol.

Dia juga menjelaskan, akumulasi BPA yang terkandung dari plastik dapat menyebabkan kanker payudara, merusak janin, gangguan hormonal pada orang dewasa, dan juga mengganggu kesuburan dan menghasilkan embrio dengan kualitas rendah.

Selain orang dewasa, kata Arist, risiko penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA bisa menyebabkan gangguan di otak dan kelenjar prostat pada janin, bayi, dan anak-anak.

“Bahan kimia ini juga bisa memicu perubahan perilaku anak. Korelasi gangguan perilaku yang lebih besar terjadi antara usia nol sampai 12 tahun,” ucap Arist.

Arist ingin membangun kesadaran orangtua agar lebih bijak dalam memilih barang yang dikonsumsi anak, karena sistem kekebalan tubuh mereka belum sempurna seperti orang dewasa.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya