Cegah Gagal Ginjal Akut Anak, Pakar Desak RUU Pengawasan Obat dan Makanan

Ilustrasi anak sakit.
Sumber :
  • freepik/lifeforstock

VIVA Lifestyle – Kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) pada anak patut diselidiki secara detail untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Sebagai langkah pencegahan pula, pemerintah didesak dalam membentuk RUU Pengawasan Obat dan Makanan (POM).

Merasakan Kemewahan Kuliner Prancis di Batam, Perpaduan Citra dan Rasa yang Menggoda

Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Prof. Hikmahanto Juwana menyoroti bahwa kesehatan merupakan hal yang sangat penting dan Indonesia harus bisa terdepan dalam dunia kesehatan. Adanya kebiasaan pihak-pihak tertentu dalam menuding pihak lain, padahal tudingan pada pihak tertentu tidak akan menyelesaikan masalah juga menjadi sorotan. Scroll untuk informasi selengkapnya.

“Bila tidak ada jaminan kesehatan, bukan hanya perekonomian tapi juga hubungan antar sesama akan menunjukkan kerapuhannya,” kata Prof. Hikmahanto dalam keterangan resmi dialog kebijakan publik bertajuk "Investigasi Kasus: Gagal Ginjal Akut pada Anak dan Pentingnya RUU Pengawasan Obat dan Makanan”, yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNJANI bekerjasama dengan Policy Innovation Center (PIC Indonesia), di Cimahi.

Anak 5 Tahun Tewas Dianiaya Ayah Tiri, Jasadnya Dibuang Ibu Kandung ke Tapanuli Utara

Ilustrasi anak sakit.

Photo :
  • Pexels/miroshnichenko

Industri Farmasi Disorot
Adanya dugaan pelaku industri yang dituduh memproduksi obat yang mengandung unsur yang berbahaya, namun di kemudian hari tuduhan tersebut diketahui tidak benar dan tidak dapat dibuktikan. Apa bisa pelaku industri tersebut menuntut Pemerintah atau penegak hukum yang berwenang atas kerugian yang dialami? 

Viral! Pria Diamuk Massa Usai Cabuli Enam Anak Laki-laki di Cengkareng Jakbar

Merespons hal itu, Prof. Hikmahanto yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia memberikan analogi kasus kecelakaan bus yang menabrak pejalan kaki hingga tewas. Polisi kemudian melakukan investigasi yang mengarah pada dugaan kesalahan pengemudi bus. Oleh penuntut umum perkara dibawa ke persidangan, namun kuasa hukum pengemudi meminta otopsi jenazah korban. Dari hasil otopsi diketahui bahwa korban meninggal karena serangan jantung, bukan akibat ditabrak. 

"Contoh ini adalah bukti pentingnya investigasi secara menyeluruh, bahkan termasuk pada kondisi korban. Dari analogi tersebut bisa diketahui pentingnya melihat fakta dan bukti secara cermat," katanya. 

Terkait kejadian GGAPA, Prof. Hikmahanto menekankan pentingnya investigasi menyeluruh pada semua pihak yang terkait, tidak terbatas pada pihak tertentu saja. 

"Tudingan-tudingan yang dilontarkan secara terbuka dan tanpa bukti yang kuat akan merusak nama baik industri farmasi atau industri kesehatan lainnya yang kemudian dianggap tidak kompeten," tegasnya. 

Guru Besar bidang Ilmu Biofarmatika Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib melandaskan sisi kajian kefarmasian pada paparan EG DEG yang adalah salah satu penyebab timbulnya GGAPA. Dalam prosedur yang berlaku, kata dia, ada tahapan yang harus dilalui oleh industri farmasi, dimulai dari bahan baku yang harus sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh berbagai pihak yang berwenang, dan seterusnya. 

Ilustrasi obat sirup/obat batuk.

Photo :
  • Pexels/Cottonbro

"Benturan dimulai dari ketentuan mengenai rantai pasok karena diatur oleh berbagai institusi secara terpisah, akibatnya tidak ada leading sector. Kemungkinan adanya overlapping aturan inilah yang dikaji melalui dialog ini," katanya. 

Peran RUU POM Cegah GGAPA
Dokter Spesialis Anak Konsultan Nefrologi dan perwakilan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Eka Laksmi, berpandangan, sebenarnya gagal ginjal ini adalah hal yang biasa. Normalnya, gagal ginjal akut adalah komplikasi atau kejadian ikutan.

Namun demikian, pada 2022 berbagai kasus muncul dengan penyebab yang tidak biasa dengan tingkat kesulitan dan bahkan kematian yang melonjak jumlah kasusnya di Agustus 2022. Penyebab kasus ini menjadi tidak biasa adalah para pasien didominasi anak usia balita, utamanya di bawah 3 tahun, dari yang normalnya dialami anak usia remaja. 

"Selain itu, kasus ini terjadi pada anak yang sebelumnya sehat, tanpa penyakit penyerta atau komorbiditas, bahkan tidak didahului oleh riwayat sakit dan datang ke rumah sakit dengan kondisi anuria atau tidak bisa berkemih," ujarnya. 

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) cabang kota Cimahi, Dzul Akmal menekankan pentingnya investigasi dan evaluasi lebih lanjut termasuk dalam hal peredaran, perdagangan, kualitas tenaga kesehatan dan pengetahuan masyarakat, termasuk penyebaran informasi. 

"Karena minimnya kewenangan, maka kemandirian BPOM dibutuhkan dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan perlu didorong untuk menjadi landasan dalam rangka perlindungan masyarakat yang bersifat menyeluruh," kata dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kesehatan (FITKes) Unjani itu. 

Konferensi pers BPOM terkait obat sirup yang mengandung EG dan DEG

Photo :
  • VIVA/Yandi Deslatama (Serang)

Staf Ahli bidang Pembangunan Berkelanjutan di Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Kemenko-PMK), Agus Suprapto menyikapi kejadian GGAPA. Menurutnya, harus ada perlindungan bagi para korban dan ini adalah pemicu agar RUU Badan Pengawas Obat dan Makanan terus dibahas secara bersama-sama namun tidak bertele-tele. 

Dalam kaitannya dengan RUU Omnibus Law Kesehatan, harus ada forum yang bisa mensinergikan keduanya. Karena itu integritas semua pihak dituntut. 

“Dunia usaha membutuhkan BPOM, apapun namanya, karena urusan obat adalah urusan nyawa," tegasnya. 

Ahli kebijakan publik Unjani, Dr. Riant Nugroho menekankan pentingnya human security. Pembagian kewenangan dalam isu, kata dia, tercantum dalam Inpres No. 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia. 

"Dalam hal ini, health security adalah bagian dari human security, dan bagian yang pelik dari health security adalah aspek kesehatan dan keselamatan anak. Ini adalah salah satu dimensi yang penting namun tidak mudah penanganannya," katanya. 

Di lain pihak, BPOM terkendala secara kelembagaan. Kapasitas dan Sumber Daya Manusia yang dimiliki saat ini sangat kurang dan harus diperkuat dengan menciptakan ekosistem. Hal ini, sambung dia, menjadi perhatian khusus karena RUU Pengawasan Obat dan Makanan sudah ditunggu. 

Ia menegaskan, lima tahun adalah waktu yang panjang. Masyarakat itu tidak bisa menunggu. Yang diperlukan kini adalah bagaimana cara mengorkestrasi agar tidak ada korban lain akibat belum adanya dasar hukum yang kuat. 

"RUU BPOM dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem dan tata kelola lembaga yang baik, bukan soal BPOM yang menjadi setara Kementerian," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya