HTI 'Terpuruk' di Meja Hijau

Massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Demo di Depan Istana Negara.
Sumber :
  • VIVA/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Ribuan orang mengenakan pakaian putih lengkap dengan peci terlihat di sepanjang Jalan Sentra Primer Baru Timur, lokasi Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, sejak pagi pada Senin, 7 Mei 2018. Mereka duduk rapi di depan sebuah layar besar dan melantunkan doa secara bersama-sama.

Guru Besar UMJ Ingatkan Gerakan Pro-Khilafah Masih Eksis di RI dengan Modus Baru

Mereka adalah para anggota Hizbut Tahrir Indonesia. Hari itu, mereka sengaja mendatangi PTUN Jakarta untuk menyaksikan bersama-sama nasib organisasi yang menjadi tempat mereka beraktivitas dan menyalurkan ideologi.

Maklum, pada Senin itu, PTUN Jakarta akan membacakan putusan terkait gugatan HTI terhadap surat keputusan pembubaran organisasi tersebut dari pemerintah. Tentu saja, massa HTI itu berharap PTUN mengabulkan permohonan mereka.

Menag Yaqut Buka Suara Soal HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII

Namun sayang, harapan mereka kandas. PTUN Jakarta akhirnya menolak gugatan HTI. Majelis hakim menganggap SK Kementerian Hukum dan HAM tentang pembubaran HTI sesuai dengan aturan.

"Menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Tri Cahya Indra Permana.

HTI Diduga Gelar Kegiatan di TMII, Polisi Akan Periksa Panitia Penyelenggara Acara

Majelis Hakim juga menolak seluruh eksepsi atau pembelaan dari HTI dan memerintahkan mereka membayar biaya perkara sebesar Rp455 ribu. Mereka menilai HTI ingin mewujudkan konsep khilafah di Indonesia.

Baca juga: PTUN: HTI Terbukti Ingin Dirikan Konsep Khilafah di NKRI

Selain itu, Majelis Hakim berpandangan bahwa HTI sudah bertentangan dengan Pancasila khususnya sila ketiga, Persatuan Indonesia. Mereka menyebut HTI merupakan organisasi yang bersifat partai politik sehingga badan hukum sejak awal berdirinya organisasi tersebut sejak awal sudah tidak sesuai.

Dalam badan hukum yang didaftarkan di Indonesia, HTI mengklaim organisasinya adalah sebuah kelompok atau majelis. Padahal, HTI di Indonesia sama dengan yang ada di dunia, yakni partai politik.

"HTI tidak didaftarkan sebagai partai politik tapi perkumpulan. Menurut majelis hakim badan hukum salah dan tidak bisa dihidupkan kembali sebagai badan hukum," kata Hakim Tri.

Tetap Melawan

Namun, atas putusan itu, HTI tidak mau menyerah begitu saja. Mereka memastikan akan melakukan perlawanan lagi.

"Kami tidak menerima, kami akan melakukan upaya hukum berikutnya, banding," kata mantan Jubir HTI, Ismail Yusanto, usai persidangan di PTUN, Jakarta Timur, Senin 7 Mei 2018.

Massa HTI padati area PTUN Jakarta

Ismail sangat kecewa dengan keputusan PTUN yang menolak gugatan HTI itu. Menurutnya, pemerintah telah melakukan kezaliman terhadap HTI.

"Kami lihat keputusan pemerintah itu adalah sebuah kezaliman karena telah menetapkan HTI sebagai kelompok dakwah yang menyebarkan ajaran Islam itu sebagai pihak pesakitan dan hari ini majelis hakim melegalkan kezaliman itu," kata Ismail.

Ia melihat, sesungguhnya yang terjadi dalam pengadilan ini ada dua hal yang menjadi perhatian. Yakni pengadilan terhadap ide khilafah dan pengadilan terhadap dakwah. Menurutnya, apa yang dilakukan HTI selama ini adalah dakwah. Kemudian dakwah yang dilakukan HTI selama ini adalah ajaran Islam yang salah satunya khilafah.

"Karena itu apa yang salah dengan semuanya, apa yang salah dengan dakwah, apa yang salah dengan ajaran Islam, dengan khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam," katanya.

Sementara itu, Kuasa Hukum HTI Gugum Ridho Putra tetap menghormati keputusan PTUN tersebut. Namun, dia juga menegaskan HTI tetap akan mengajukan proses hukum hingga tahap Peninjauan Kembali (PK).

"Upaya hukum yang tersisa itu ada banding, lalu kasasi, lalu ke PK. Tidak tahu sampai kapan proses hukumnya selesai, tetapi jalur yang tersedia seperti itu," tegas Gugum.

Massa HTI di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kamis, 19 April 2018.

Pemerintah Bergeming

Atas rencana itu, Kuasa Hukum Pemerintah, I Wayan Sudirta, mempersilakan HTI menempuh jalur hukum apabila merasa keberatan.

"Saya kira tindakan upaya hukum silakan saja, sesuai prosedur hukum yang berlaku," kata I Wayan usai persidangan di PTUN, Jakarta Timur, Senin, 7 Mei 2018.

I Wayan merasa yakin dalam proses banding putusan tingkat pertama ini akan kembali dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili Kementerian Hukum dan HAM.

Menurutnya, berdasarkan pertimbangan majelis hakim PTUN, fakta yang muncul adalah HTI bertentangan dengan ideologi Pancasila. Mengingat, ormas tersebut ingin mewujudkan konsep pemerintahan kepemimpinan Islam atau Khilafah Islamiyah.

"Bahwa negara kita negara Pancasila, negara yang berwarna Bhinneka Tunggal Ika yang harus kita pertahankan," katanya.

Selain itu, dalam putusannya, ia menilai hakim sudah mempertimbangkan tiga aspek yakni pemerintah sudah sesuai wewenang, prosedur dan subtansi.

Beda dengan PKI

Menyikapi hal ini, Ahli Hukum Tata Negara Refli Harun menuturkan bahwa putusan PTUN Jakarta itu adalah putusan tingkat pertama. Oleh karena itu, masih ada upaya bagi HTI untuk banding dan kasasi.

Kedua, putusan PTUN itu juga membenarkan tindakan pemerintah yang telah membubarkan HTI. Artinya, PTUN menilai pemerintah sudah melakukan kebijakan yang sesuai dengan aturan tata pemerintahan yang baik.

"Ini kemenangan Menteri Hukum dan HAM, tapi ada banding. Dengan ditolaknya gugatan itu, dengan sendirinya kebijakan Menkumham dianggap benar," kata Refli saat dihubungi VIVA, Senin, 7 Mei 2018.

Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Susanto.

Ketiga, Refli mengingatkan bahwa apa yang menimpa HTI berbeda dengan apa yang terjadi pada PKI dahulu. Meskipun sekarang HTI menjadi organisasi yang tidak resmi akibat status badan hukumnya dicabut, tapi dia meminta agar antara organisasi dan orang-orangnya tidak disamaratakan.

"Bukan seperti PKI dulu, organisasinya dibubarkan, orangnya dikejar-kejar," ujarnya.

Refli mengemukakan soal PKI tidak hanya masalah hukum saja. Setelah dibangun doktrinasi selama puluhan tahun oleh Orde Baru, PKI menjadi kata-kata yang maknanya traumatik dan sangat buruk.

"Kita tidak bisa melihat dari aspek hukum, sedangkan HTI masih bisa melihat dari aspek hukum. Ada larangan menyebarkan, bertentangan dengan Pancasila dan tidak ada proses pengadilannya," katanya.

Refli menuturkan bahwa secara formil, organisasi HTI saat ini memang tidak ada. Tapi, orang-orangnya tetap dilindungi secara hukum dan konstitusi untuk melakukan kegiatan.

Dia menyarankan ke depan pemerintah tidak boleh sembarangan menggunakan Perppu Ormas yang kini sudah menjadi undang-undang. Menurutnya, mereka harus menghargai kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat.

"Yang tidak boleh adalah melakukan pelanggaran hukum, peraturan perundang-undangan yang mengikat kita, salah satunya tidak boleh menyebarkan komunisme, ateisme, ajaran yang menentang Pancasila," katanya.

Refli juga menghimbau pemerintah bertindak sebagai bapak yang baik, seorang bapak yang memiliki anak yang nakal, yang bandel, dan penurut. Karena menghadapi anaknya, maka pemerintah harus memperlakukan ormas-ormas seperti anaknya, tidak boleh membiarkan.

Bila si anak melakukan kesalahan dan sudah tidak ada upaya persuasif lagi maka dengan terpaksa ditempuh tindakan tegas, atau dalam hal ini penegakan hukum.

"Kalau sekedar berbeda pendapat, tidak ada masalah. Perbuatan memaksa itu yang harus ditindak," ujarnya.

Apabila orang-orang eks HTI menyebarkan ideologinya meskipun tanpa naungan organisasi, Refli meminta pemerintah tidak takut. Alasannya, Pancasila merupakan idelogi yang kuta, terbuka dan mempersatukan. Selain itu juga tidak akan kehilangan kontekstualisasinya.

Justru sebagai negara demokrasi, lanjut dia, bentuk penghargaan adalah menghargai perbedaan pendapat. Meskipun pendapat itu menyatakan Pancasila bukanlah idelogi terbaik bagi mereka.

"Misalnya, ada orang mengatakan saya tidak percaya Pancasila, tidak masalah, sepanjang itu pendapat dan tidak mengintimidasi, tidak menekan. Kebebasan berpendapat silakan saja, hakikat demokrasi seperti itu," kata dia.

Sementara itu, Nahdlatul Ulama menganggap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menolak gugatan HTI atas pembubaran organisasi itu sudah tepat. Sebab, HTI memang bertentangan dengan Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Senada, Ketua Umum Pimpian Pusat Gerakan Pemuda Ansor Yaqut Cholil Qoumas juga mengapresiasi putusan sidang HTI di PTUN Jakarta itu. Hal ini menguatkan SK Menkumham tentang Pembubaran HTI.

Menurut Yaqut, bukti-bukti bahwa HTI telah melanggar UU Ormas (perubahan Perppu Ormas) telah menjadi fakta hukum yang tidak bisa dibantah. Kegiatan-kegiatan HTI telah bertentangan dengan ideologi Pancasila, yaitu menyebarkan paham khilafah.

Seorang anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) membawa bendera kelompoknya saat unjuk rasa di Jakarta beberapa waktu silam.

Pembubaran HTI diawali dari pernyataan pers yang disampaikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto pada Senin, 8 Mei 2017. Wiranto kemudian mengumumkan Perppu Ormas sebagai pengganti dari UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas untuk menyederhanakan proses pembubaran ormas pada 12 Juli 2018.

Pada 18 Juli 2017, HTI mengajukan uji materi atas Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi. Upaya ini kandas karena Perppu Ormas disetujui DPR menjadi UU Ormas yang baru. Pada 19 Juli 2017, pemerintah secara resmi mencabut status badan hukum HTI.

Tidak terima atas keputusan itu, HTI melayangkan gugatan ke PTUN. Sidang perdana kasus itu digelar pada 23 November 2017. Pada Selasa, 7 Mei 2018, PTUN menolak gugatan mereka. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya