Menanti Gebrakan Timnas Pencegahan Korupsi

Ilustrasi antikorupsi
Sumber :
  • ANTARA/Muhammad Iqbal

VIVA - Sebuah lembaga baru di bidang korupsi didirikan oleh pemerintah Presiden Jokowi. Lembaga itu bernama Tim Nasional Pencegahan Korupsi.

Kabar Sandra Dewi Dicekal Kejagung, Pengacara Harvey Moeis Bilang Begini

Pendirian institusi tersebut setelah Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi, disingkat Stranas PK, pada 20 Juli 2018. Kemudian pada hari yang bersamaan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengundangkannya.

Dari data yang diperoleh VIVA, perpres itu terdiri dari 15 pasal dengan disertai halaman lampiran. Pasal 3 menyebutkan bahwa Stranas PK fokus pada tiga hal yaitu perizinan dan tata niaga, keuangan negara, dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi.

Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni Ungkap 2 Hal yang Dilakukan Guna Mencegah Korupsi

Presiden Jokowi.

Lalu pasal 4 ayat 1 menyatakan dalam rangka menyelenggarakan Stranas PK, dibentuk Tim Nasional Pencegahan Korupsi yang selanjutnya disebut Timnas PK. Sedangkan ayat dua mengatur tim itu terdiri atas menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara, kepala lembaga non-struktural yang menyelenggarakan dukungan kepada presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan pengendalian program prioritas nasional dan pengelolaan isu strategis, serta unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Komjak Soroti Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Emas di Kejaksaan

Sementara itu, ayat 3 menyebut mekanisme dan cara kerja timnas PK akan ditetapkan oleh timnas PK.

Perkuat Upaya Pemerintah

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan perpres tersebut memperkuat upaya pemerintah dalam upaya pencegahan korupsi dari sejak hulu dan berdampak luas bagi kehidupan publik, tanpa mengurangi kewenangan dan independensi lembaga yang sudah ada seperti KPK. Dia menegaskan komitmen Jokowi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak pernah surut sedikit pun.

Menurutnya, berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari penataan kebijakan darn regulasi, instruksi/arahan maupun peraturan perundang-undangan, perbaikan tata kelola pemerintahan, pembenahan proses pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, sampai dengan penyelamatan keuangan/aset negara.

Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko

Meski demikian, masih dibutuhkan upaya konsolidasi yang lebih efektif atas berbagai inisiatif dari kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya.

Mantan Panglima TNI itu menuturkan perpres ini memberikan peran dan pelibatan KPK sebagai lembaga khusus yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk melakukan koordinasi dan supervisi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Stranas PK ini memiliki fokus dan sasaran sesuai dengan kebutuhan pencegahan korupsi, sehingga pencegahan yang dilakukan dapat lebih terfokus, terukur, dan berdampak langsung," kata Moeldoko, Kamis, 26 Juli 2018.

Dia melanjutkan pencegahan korupsi akan semakin efisien apabila beban adminstrasi dan tumpang tindih dapat dikurangi melalui kolaborasi yang lebih baik. Fokus sinergi dalam rangka pencegahan korupsi yang diatur dalam perpres ini ada tiga yakni perizinan dan tata niaga; keuangan negara; dan penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Dengan demikian, fokus dari strategi pencegahan korupsi berada pada sektor-sektor yang betul-betul rawan korupsi dan berdampak luas bagi masyarakat.

Moeldoko juga memaparkan, bahwa Perpres Stranas PK ini semakin mengukuhkan peran KPK sebagai koordinator dan supervisi yang akan melibatkan kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya seperti Bappenas, Kemendagri, KemenPANRB, dan Kantor Staf Presiden.

Di tingkat nasional, kata dia, akan ada Tim Nasional Pencegahan Korupsi yang memiliki tugas mengoordinasikan pelaksanaan Stranas PK, menyampaikan laporan kepada Presiden, dan memublikasikan laporan-laporan capaian kepada masyarakat.

"Dengan peraturan presiden ini, setiap menteri, pemimpin lembaga, dan kepala daerah diwajibkan menyampaikan laporan aksi pencegahan korupsi kepada Timnas PK setiap 3 bulan," tutur Moeldoko.

KPK Menyambut Baik

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengaku optimistis atas terbitnya perpres dan pembentukan timnas ini, karena bisa efektif dalam mencegah korupsi. Hal ini lantaran dalam perpres itu ditekankan kolaborasi antara KPK dengan pemerintah. Kolaborasi ini tidak pernah diakomodir dalam perpres soal pencegahan korupsi sebelumnya.

"Kami lihat perpres itu positif untuk pencegahan tindak pidana korupsi karena di sana bila kami membandingkan dengan perpres sebelumnya. Ada beberapa strategi baru yang ingin dilakukan di sana yang paling ditekankan aspek kolaborasi. Jadi kolaborasi antara organ-organ di bawah presiden dengan KPK," kata Febri Diansyah kepada awak media, Kamis, 26 Juli 2018.

Pimpinan KPK, Laode M Syarif (kiri) dan Basaria Panjaitan (kanan), saat paparkan bukti kasus suap.

Febri mengatakan pihaknya memiliki tugas melaksanakan fungsi pencegahan korupsi dengan maksimal. Diharapkan, ke depan bersama-sama dapat mendorong pencegahan yang lebih efektif.

Dia menilai penting kolaborasi ini karena selama ini KPK alami kendala dalam membangun sistem pencegahan korupsi. Tak jarang, rekomendasi berdasarkan kajian yang dilakukan KPK tak dianggap oleh kementerian maupun lembaga terkait.

Bahkan, kata dia, KPK beberapa kali mengirim surat kepada presiden lantaran rekomendasinya tidak ditindaklanjuti oleh kementerian dan lembaga.

Salah satu contohnya survei dan kajian KPK mengenai integritas di lingkungan Lapas pada 2007-2008, termasuk juga rekomendasi dari observasi yang dilakukan KPK di sejumlah lapas.

"Dulu ada sejumlah pencegahan yang dilakukan oleh KPK bahkan sampai KPK mengirim surat pada presiden karena ada ketidakpatuhan dari institusi-institusi di bawah presiden saat itu untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan oleh KPK," kata Febri.

Dengan kolaborasi yang diatur dalam perpres ini, KPK berharap tidak ada lagi kementerian dan lembaga yang mengabaikan rekomendasi lembaga antikorupsi untuk membangun sistem pencegahan yang efektif.

Menurut Febri dengan ada perpres ini, kementerian dan lembaga yang masih abai perbaiki sistem pencegahan korupsi sama saja dengan melanggar peraturan yang dibuat Presiden. ”Harapan di sana tantangannya ke depan, saya kira ketika ada rekomendasi-rekomendasi pencegahan maka perlu dipastikan itu benar-benar dilakukan," ujar Febri.

Untuk itu, Febri mengatakan implementasi Perpres Pencegahan Korupsi ini harus dikawal seluruh elemen masyarakat. Jangan sampai peraturan ini menyimpang dari tujuan pembentukannya.

"Perlu kita kawal bersama agar perpres itu tidak hanya menjadi sebuah aturan (formalitas)," kata Febri.

Jangan Cuma Pencitraan

Namun, tidak semua pihak menyambut lembaga baru itu dengan terbuka. Anggota Komisi III DPR FPKS Nasir Djamil memilih bersikap kritis.

"Sudah hampir selesai di ujung pemerintahannya kok baru sekarang dibentuk tim itu. Lalu tupoksinya seperti apa?" kata Nasir saat dihubungi VIVA, Kamis, 26 Juli 2018.

Jika benar ada tiga fokus utama pencegahan korupsi, yakni perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi, dia menyebut hal itu bagus. Artinya pemerintah memiliki kesabaran meskipun terlambat.

Tapi, Nasir menekankan tim itu harus jelas. Pembiayaan bagaimana, dari mana. Lalu apakah fungsinya hanya koordinasi atau seperti apa.

"Menurut saya memang nanti harus dijelaskan secara detail apa fungsinya. Jangan sampai kemudian ada kesan hanya untuk pencitraan belaka jelang pilpres," kata dia.

Anggota Komisi III DPR RI M. Nasir Djamil

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu mengakui selama ini pencegahan tidak berjalan dengan baik. Bahkan alokasi anggaran untuk pencegahan tak signifikan.

"Jadi di satu sisi kita akui tapi di sisi lain tim nasional ini harus jelas. Karena selama ini republik ini sering sekali membentuk tim ini tim itu tapi enggak jelas. Itu yang harus dipikirkan oleh presiden. Jangan sampai ada semacam tudingan, jangan-jangan ini hanya untuk meningkatkan mendongkrak elektabilitas Presiden Jokowi jelang pencalonannya sebagai capres 2019," kata dia lagi.

Artinya, lanjut Nasir, jika tim ini tidak jelas kerjanya, tupoksinya, kewenangannya, anggarannya maka tak bisa disalahkan apabila ada tudingan hanya untuk pencitraan. Meskipun di sisi lain, dia mengapresiasi meskipun memang terlambat.

"Tapi akirnya orang tanya selama ini kemana aja? Kok baru sekarang sadarnya. Apa kendalanya kok baru sekarang sadarnya kenapa enggak dari awal pemerintahan bentuk tim ini, kenapa sekarang?" tuturnya.

Dilema KPK

Sementara itu, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo menyebut penerbitan perpres baru itu menjadi payung dari upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Meskipun dia mengakui langkah itu terlambat, dari yang seharusnya tahun lalu baru sekarang ini terbit.

Dia mengungkapkan ada beberapa modifikasi yang dilakukan dibandingkan perpers yang dikeluarkan pada era SBY. Salah satunya menyangkut tim koordinasi nasional yang leading sectornya dikendalikan oleh kpk, perpres ini berbeda pendekatannya dengan agenda pemberantasan korupsi pada era SBY.

"Masuknya KPK dalam tim itu saya kira memang memiliki dampak yang akan berbeda karena bagaimana pun selama ini hasil dari evaluasi upaya pemberantasan korupsi salah satunya karena pencegahan dianggap tak berjalan," kata Adnan saat dihubungi VIVA, Kamis, 26 Juli 2018.

Diskusi Revisi UU KPK di Kantor ICW, Minggu (14/2/2016)

Lemahnya pencegahan itu dibuktikan dari terjadinya kasus yang sama yang dilakukan aktor-aktor yang berbeda. Oleh karena itu, KPK ada di dalam tim tersebut.

Tapi, kondisi itu menurutnya juga menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah itu tidak mengganggu independensi KPK karena KPK merupakan lembaga independen yang tak sepenuhnya diatur presiden. Sementara, pencegahan tak bisa sendirian, dia harus berhubungan dengan pihak lain terutama pengendali pada wilayah eksekutif yang dimiliki presiden.

"Tanpa kerjasama dengan eksekutif, lembaga-lembaga independen pemberantasan korupsi bisa menghadapi situasi yang sulit untuk mendorong pencegahan korupsi yang efektif," katanya.

Dia menyampaikan tipikal lembaga independen adalah melaksanakan kerja-kerja penindakan, dan menjaga independensi. Tapi bila dimaknai semuanya harus independen, pada saat yang sama KPK sendiri tak punya daya paksa untuk meminta adanya perubahan-perubahan yang mendasar dari sistem penyelenggaraan pemerintahan.

Dan itu terbukti dalam banyak kasus korupsi yang terjadi identik antara satu dengan yang lain. Bahkan, pernah terjadi sebelumnya tapi terjadi lagi.

"Artinya tak ada pembelajaran untuk mendorong perbaikan yang sistemik sehingga celah korupsi bisa dikurangi," ujarnya.

Adnan mengatakan semua pihak harus sadar kerja pemberantasan korpusi tak kedap pressure politik. Sistem yang baik akan ditentukan aktor politik yang sehat.

"Kemauan politik yang kuat akan sangat membantu upaya percepatan pemberantasan korupsi. Tantangannya ada pada pemerintah sejauh mana memiliki concern terhadap kerja pemberantasan korupsi," katanya.

Dia menambahkan adanya sokongan dari KPK selama ini seharusnya membuat kerja-kerja itu jauh lebih efektif. Menurutnya, penting bagi pemerintah melakukan evaluasi untuk mengukur perkembangan kerja pemberantasan korupsi dari instansi mereka sendiri.

"Selama ini hanya punya IPK (Indeks Persepsi Korupsi), kenapa enggak susun sendiri secara faktual hasil pemberantasn korupsi yang telah dilakukan. Sifatnya setahun sekali dikeluarkan badan independen," tuturnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya