Tangis Baiq Nuril dan Kontroversi UU ITE

Baiq Nuril, mantan pegawai honorer di Mataram, saat menceritakan kasus yang menimpanya.
Sumber :
  • VIVA/Satria Zulfikar

VIVA – Baiq Nuril Maknun sontak menjadi perbincangan di seluruh Indonesia. Perempuan berhijab mantan guru honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, ini diputuskan bersalah, karena dianggap menyebarkan rekaman bermuatan kesusilaan.

Revisi UU ITE Disahkan, Privy Siap Amankan Transaksi Keuangan Digital

Ia diganjar enam bulan penjara dan denda sebesar Rp500 juta dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Tak pelak, dirinya tidak menerima hasil putusan ini.

Baiq merasa diperlakukan tidak adil, lantaran dirinya adalah korban pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, HM.

Soal Kasus Pencemaran Nama Baik yang Dilaporkan Pengelola ABC Ancol, Ini Kata Polisi

Parahnya, pelecehan itu disebutnya terjadi lebih dari sekali. Kasus pelecehan seksual ini dimulai pada pertengahan 2012.

Saat itu, Baiq masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika, dia ditelepon oleh HM. Perbincangan antara HM dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit.

Viral Video Dishub Ngotot Periksa Surat Kendaraan, Bagaimana Aturannya?

Dari 20 menit, sekitar lima menit saja membicarakan pekerjaan. Sisanya, HM malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.

Perbincangan, lalu mengarah ke pelecehan terhadap dirinya. Apalagi, HM menelepon Baiq lebih dari sekali. Ia pun merasa terganggu dan dilecehkan oleh HM melalui verbal.

Bukan itu saja. Orang-orang di sekitarnya sampai menuduh Baiq memiliki hubungan gelap dengan HM. Terus-menerus dilecehkan, Baiq, kemudian berinisiatif merekam perbincangannya dengan HM.

Hal itu dilakukannya, guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu, karena takut pekerjaannya terancam.

Lantas, ia pun 'curhat' kepada rekan kerjanya, Imam Mudawin. Singkatnya, setelah bercerita, Baiq lalu menyerahkan rekaman percakapan tersebut pada Imam, dari ponsel milik Baiq ke ke laptop miliknya.

Tak disangka, Imam malah menyebarkan rekaman itu ke Dinas Pemuda dan Olahraga Pemerintah Kota Mataram.

Rekaman ini terdengar ke telinga HM. Merasa tidak terima aibnya terbongkar ke publik, HM melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kasus ini berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram, memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota.

Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada 26 September lalu, MA memutus Baiq bersalah.

Berikutnya, amnesti>>>

Amnesti

Melihat ketidakadilan yang dialami Baiq, Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat, Internet Lawyer Network (ILawNet), mendesak pemerintah dan DPR merevisi UU ITE. Mereka memandang regulasi atau beleid dalam UU ITE punya celah memberangus kebebasan berekspresi.

Desakan ILawNet ini tak lepas dari Putusan MA Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, kepada Baiq Nuril, di mana isinya menyatakan dirinya bersalah karena dianggap menyebarkan konten bermuatan yang melanggar kesusilaan sesuai UU ITE Pasal 27 ayat 1.

Anggota ILawnet, sekaligus peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara menduga, jika majelis hakim di tingkat kasasi tidak memahami perkara.

"Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum makin berkurang. Jadi, salah satu cara Bu Nuril itu bisa bebas, ya dengan pemberian amnesti. Tidak ada yang lain," ujar Anggara di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Amnesti merupakan penghapusan hukuman kepada seseorang yang dianggap melanggar hukum. Amnesti juga merupakan Hak Prerogratif Presiden sesuai Undang-undang 1945 pasal (2), yang berbunyi 'Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat'.

"Jadi, Presiden memiliki hak ini untuk mengampuni dan membebaskan seseorang dari dakwaan hukum, baik yang sudah divonis atau sedang menjalani proses persidangan," tutur dia.

Anggara menegaskan, ada yang salah dengan penggunaan UU ITE kepada Baiq. Ia yang menjadi korban pelecehan seksual dan memilih merekam modus pelecehan yang diterimanya sebagai bentuk pembelaan diri, justru divonis sebagai pihak yang melanggar hukum.

ILawNet mengkhawatirkan, kejadian ini menjadi preseden buruk bagi korban pelecehan seksual yang dapat memaksa mereka memilih bungkam, ketimbang mengungkap kasus yang menimpanya. "UU ITE justru tidak melindungi korban, namun sebaliknya besar kemungkinan menyasar balik korban," jelasnya.

Selanjutnya, peninjauan kembali>>>

Peninjauan kembali

Kasus Baiq Nuril ini membuat Presiden Joko Widodo bersuara. Menurutnya, meski sebagai Kepala Negara, ia tidak bisa ikut campur dalam proses hukum. Namun, dalam mencari keadilan, lanjut Jokowi, Baiq Nuril bisa mengajukan upaya hukum, yaitu PK (Peninjauan Kembali).

"Kita berharap, nantinya melalui PK, Mahkamah Agung dapat memberikan keputusan yang seadil-adilnya. Saya sangat mendukung Ibu Baiq Nurul mencari keadilan," kata mantan Gubernur DKI itu.

Sementara itu, desakan direvisinya kembali UU ITE, dinilai Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, terlalu jauh. Sebab, UU ITE sudah direvisi pada 2016. “Kalau menurut saya, terlalu jauh kalau Undang-undang ITE direvisi. Itu saja sudah hasil revisi dua tahun lalu,” ujar dia di Jakarta.

Hasil revisi UU ITE pada dua tahun lalu melahirkan perubahan penting, yakni pelanggaran terkait ITE saat ini berupa delik aduan, bukan lagi delik umum. Ancaman penjaranya juga diturunkan, menjadi empat tahun yang sebelumnya lima tahun.

Soal kasus UU ITE yang menjerat Baiq Nuril, Rudiantara menyatakan simpatinya terhadap masalah tersebut. Namun, dia menyatakan, harus dipisahkan masalah hukum dan kemanusiaan.

Baiq memiliki tiga anak yang saat ini diurus oleh suaminya. Rudiantara menyoroti beban pengasuhan anak guru tersebut dan mendorong masyarakat bisa membantu untuk masalah tersebut.

Sedangkan untuk masalah hukumnya, Rudiantara menyerahkan hal tersebut kepada proses yang sedang berjalan.

“Karena kan, apakah betul ibu Nuril sendiri yang menyebarkan, kalau ponselnya ya. Tetapi, apakah ibu Nuril yang menyebarkan ke mana-mana, jempolnya yang bermain? Saya juga belum tahu. Itu berproses sendirilah hukum,” kata Rudiantara.

Di mata Wakil Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, UU ITE yang membuat Baiq dipidana bisa diuji materi, jika tak menghadirkan keadilan di masyarakat.

"Bagi pihak-pihak yang mendapatkan fakta-fakta tentang ITE, lalu digunakan untuk kepentingan langgar hukum atau tidak hadirkan keadilan hukum, maka ajukan judicial review," kata Hidayat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu 21 November 2018.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini menilai, judicial review itu sangat dimungkinkan untuk mengubah UU ITE, jika melanggar prinsip hak asasi manusia. Saat ini, dia mengingatkan, ada momentum untuk pengajuan itu.

"Saya kira, itu salah satu momentumnya, ketika ada kasus ini ajukan saja ke MK (Mahkamah Konstitusi)," ujar Hidayat.

Seharusnya, menurut Hidayat, masalah ini diselesaikan dalam konteks keadilan publik, untuk melindungi korban. Bukan sekadar, penyelesaian hukum secara prosedural saja. "Orang yang menjadi korban, kok malah dihukum," tutur dia.

Berikutnya, bukan yang pertama>>>

Bukan yang pertama

Kisah malang yang menimpa Baiq bukan kali ini saja terjadi. Menurut anggota ILawnet, sekaligus peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara, ada warga Bandung, Jawa Barat, bernama Wisni Yetty yang dijerat kasus serupa pada 2015.

Wisni dituduh oleh Haska Etika, mantan suaminya, melakukan percakapan intim dengan seorang teman pria di aplikasi Facebook Messenger.

Haska lantas melaporkan Wisni ke Polda Jabar pada Februari 2014, dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Pengadilan Negeri Bandung menetapkan Wisni bersalah dan menjatuhi hukuman penjara lima bulan dan denda Rp100 juta.

Dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi Bandung pada Agustus 2015, Wisni dinyatakan tidak bersalah, namun tidak di tingkat berikutnya. "Dengan putusan yang sama persis kalah di kasasi," papar Anggara.

Kasus lainnya adalah Prita Mulyasari dalam kasusnya melawan Rumah Sakit Omni. Prita saat itu mengeluhkan layanan rumah sakit dan memperingatkan sejumlah orang melalui surat elektronik atau email.

Anggara menyayangkan majelis hakim di sidang kasasi tidak menengok kasus Prita. Ia menilai, langkah Baiq yang merekam percakapan dapat diartikan sebagai peringatan untuk orang lain, agar terhindar dari perlakuan serupa, sebagaimana yang ditafsirkan oleh hakim MA dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) dari tindakan Prita pada 2012.

Sedikit informasi, uji materi UU ITE sudah pernah dilakukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sejak undang-undang ini muncul pada 2008, sebanyak empat kali, dan semuanya gagal.

Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 10 tahun silam.

Dari 245 laporan kasus UU ITE, hampir 60 persen lebih kebanyakan kasusnya terjadi di Pulau Jawa. Meski demikian, laporan UU ITE juga menonjol di beberapa wilayah luar Pulau Jawa.

SAFEnet juga mencatat, hampir setengah kasus UU ITE menggunakan pasal pencemaran nama baik sebagai dasar pelaporan. Peluang terlepas dari jeratan UU ITE sangat kecil apabila kasusnya sudah masuk dalam proses pengadilan.

Mayoritas kasus UU ITE terjadi bermula dari unggahan konten di media sosial. Platform Facebook menempati urutan teratas dengan jumlah sebesar 54,69 persen, sebagai media internet dalam kasus UU ITE.

Selanjutnya, ada Twitter yang mencapai 11,84 persen, dan YouTube sebesar 4,90 persen. Walau patut dicermati, laporan kasus sering memuat alat bukti lebih dari satu platform.

Selain dari platform media sosial, sarana lain yang pernah terekam dalam pelaporan kasus UU ITE adalah platform komunikasi pesan (messenger). Media tersebut, umumnya bukan bersifat publik, seperti seperti SMS (pesan singkat) (3,27 persen), WhatsApp (2,45 persen) dan BlackBerry Messenger (0,82 persen). (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya