SOROT 529

Kanker Sepakbola Indonesia

Para pemain Timnas Indonesia usai kalah dari Thailand di ajang Piala AFF 2018
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – "Wartawan harus baiiiik, wartawan harus baiiiik. Ooooooo.... ooooooo.... oooooo...." Kencang sekali nyanyian itu terdengar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu 25 November 2018 lalu.

Debut Bersama Timnas Indonesia, Pengganti Marselino Ferdinan Tak Gentar Main di Kandang Timnas Vietnam

Nyanyian tersebut didengungkan suporter yang kala itu mendukung Timnas Indonesia berlaga melawan Filipina di laga pamungkas penyisihan Grup B Piala AFF 2018. Bukan karena kesal dengan wartawan, tapi suporter menyanyikannya karena menyindir seseorang.

Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, jadi sosok yang disindir suporter. Edy jadi target rundungan suporter karena pernyataan kontroversialnya.

Pelatih Persib Luruskan Pernyataan di Media Vietnam soal Sikap Tak Dewasa Marselino Ferdinan

"Wartawannya harus baik, maka Timnas akan baik," begitu kata Edy menanggapi pertanyaan wartawan soal tidak lolosnya Timnas ke semifinal Piala AFF.

Jawaban yang tak nyambung sama sekali. Sebab, wartawan hanya punya fungsi kontrol terhadap sebuah organisasi atau pemerintah.

Kata Penyerang Timnas Vietnam, Skuad Muda Timnas Indonesia Tak Lantas Bikin Level Piala AFF Turun

Adapun kritik yang diberikan adalah sebagai proses perbaikan dalam sistem sebuah organisasi, termasuk PSSI, atau pemerintah.

Otoritas penuh, ada di PSSI. Artinya, dalam kasus Timnas, sepenuhnya tanggung jawab PSSI. Sebab, mereka lah yang melakukan pembinaan dan menjalankan roda organisasi.

Jadi, wajar jika suporter ‘menyemprot’ PSSI atas kegagalan Timnas di Piala AFF.

Berbagai kritik dilancarkan suporter, lewat berbagai sektor. Mulai dari media sosial dengan tagar #EdyOut sampai tulisan di spanduk dan nyanyian menyindir.

"Kami mau PSSI berbenah. Digantinya Luis Milla Aspas, terbukti jadi masalah," kata Yanto, salah satu suporter Timnas asal Pekalongan yang menonton langsung laga melawan Filipina.

Pun dengan Agus, suporter Timnas yang berdandan nyentrik di laga lawan Filipina. Agus meminta agar PSSI sadar dan melakukan pembenahan di berbagai lini.

"Ke depannya, harus lebih baik. Kami, suporter, butuh prestasi. Dalam keadaan apa pun, Timnas kami dukung. Mereka tak boleh berjuang sendirian," terang Agus.

Suporter yang loyal. Ini adalah aset berharga Indonesia. Bahkan, pelatih kenamaan asal Belanda yang pernah menangani Timnas, Wiel Coerver, sempat terkagum-kagum dengan loyalitas suporter Indonesia.

"Belum pernah saya melihat suporter yang begitu loyal terhadap tim nasionalnya seperti ini," ujar Coerver dikutip Tempo edisi 1975.

Suporter Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 Lawan Timor Leste

Sebenarnya Banyak Modal

Bukan hanya suporter, Indonesia sebenarnya punya modal lain untuk berprestasi di kancah internasional. Yakni, dalam urusan kualitas pemain.

Sejak era kolonial pun, Indonesia punya banyak pemain hebat. Sudah banyak pelatih yang mengakuinya.

Eks pelatih Timnas, Alfred Riedl, kepada VIVA menjelaskan, Indonesia memiliki pemain yang berkualitas. Bahkan, Riedl menyebut Indonesia mampu naik level, sejajar dengan tim macam Jepang dan lainnya.

"Ya, tentu saja Indonesia bisa," kata Riedl lewat surat elektroniknya kepada VIVA.

Kualitas sebenarnya para pemain Indonesia terlihat di 2017. Sentuhan Luis Milla Aspas membuat permainan Indonesia begitu atraktif.

Permainan yang sampai menarik perhatian publik luar negeri. Ketika SEA Games 2017, tim VIVA pernah berbincang dengan beberapa pewarta Malaysia. Mereka mengaku kaget dengan perkembangan Indonesia di era Milla.

Para pewarta Malaysia merasa Indonesia bisa menjadi juara di cabang olahraga sepakbola SEA Games 2017 saat itu. Bahkan, ketika Indonesia melakoni laga semifinal melawan Malaysia, banyak dari mereka yang memprediksi tuan rumah akan kalah.

Pun dengan beberapa sopir Grab di sana. Mereka menganggap Indonesia punya permainan menghibur dan mematikan.

"Indonesia mainnya bagus. Elok dilihat, tak bosan rasanya. Pemainnya pun hebat," ujar salah satu pewarta Malaysia yang berbincang dengan tim VIVA ketika itu di tribun media Stadion Shah Alam.

Sial, Indonesia kalah dalam semifinal tersebut. Tandukan Thanabalan Nadarajah di menit-menit akhir pertandingan membuat publik Indonesia yang hadir di Shah Alam Stadium lemas.

Bergeser ke 2018, skuat asuhan Milla kembali mencuri perhatian, yakni di Asian Games. Permainan apik dengan gaya atraktif yang penuh percaya diri, membuat publik begitu kagum.

Meski pada akhirnya gagal melangkah lebih jauh, permainan skuat Indonesia telah mencuri perhatian publik. Berbagai pujian dilontarkan kepada Hansamu Yama Pranata dan kawan-kawan.

Pelatih Timnas Indonesia U-22, Luis Milla Aspas (ketiga dari kanan)

Namun, dua bulan kemudian, pujian justru berubah menjadi kekecewaan. Skuat yang hampir sama, main di Piala AFF. Hasilnya melempem, Indonesia tersingkir sejak fase grup.

Yah, beda koki. Karena, Milla tak lagi menangani Indonesia. Banyak yang merasa kegagalan Indonesia lantaran PSSI tak becus bernegosiasi dalam memperpanjang kontrak Milla.

Setelahnya, PSSI malah menunjuk Bima Sakti Tukiman sebagai pelatih. Pilihan panik? Alibi PSSI adalah meneruskan apa yang dibangun oleh Milla karena Bima dianggap sudah paham karakter, gaya main, taktik, dan strategi Milla.

"Meneruskan" bukan pilihan kata yang tepat. Sebab, beda koki pasti beda resep. Pemain layaknya bumbu dalam sebuah masakan.

Bagaimana resep itu bisa jadi enak dan sedap disantap? Ya, dimasak oleh koki yang mapan pula. Kalau seorang koki tiba-tiba meninggalkan masakannya, lalu diberikan ke orang lain yang belum berpengalaman dalam memasak, apa yang terjadi? Belum tentu enak juga kan?

Itulah yang terjadi dengan Indonesia. Bukannya Bima tak mapan, tapi masih butuh waktu. Sebab, selama menjadi asisten Milla, belum semua ilmu diserap olehnya.

"Perlu pelatih yang tepat dalam mengelola pemain," terang Riedl.

"Pelatih bukan cuma soal memilih pemain, tapi juga masalah pemilihan taktik. Ketika Timnas bermain di era Bima dan kawan-kawan, cara mainnya cuma itu-itu saja. Pergantian pemain pun tak membuat perubahan," ujar pengamat sepakbola, Supriyono Prima.

Jadi, kegagalan di Piala AFF kali ini salah Bima? Tidak. Kompleks sekali jawabannya.

Bukan Bima yang harus kita salahkan. Warganet, di media sosial, terlalu mudah melontarkan tagar #BimaOut. Tapi, lihat dulu situasi yang sebenarnya.

"Saya ini layaknya anak SMP. Tapi, sudah diberikan soal ujian universitas," ucap Bima usai laga Indonesia versus Filipina.

PSSI seharusnya bisa lebih bijak dalam penentuan pelatih di Piala AFF kali ini. Acap kali, PSSI memasang target tinggi, namun proyek jangka panjangnya tak berjalan alias mau instan.

Kasus Bima, PSSI baru menunjuknya kurang dari sebulan Piala AFF digulirkan. Paham, Bima sudah bekerja dengan Milla hampir dua tahun lamanya. Tapi, menyerap ilmu seorang pelatih kelas dunia dalam waktu dua tahun, belum tentu bisa.

Perlu waktu pula menimba pengalaman dalam menghadapi berbagai macam situasi saat mengelola tim.

"Tak bisa jelang dua atau tiga bulan turnamen, pelatih baru ditunjuk," ujar eks pelatih Timnas U-19, Indra Sjafri.

Pemain mapan, pengelolaan yang salah. Jadinya apa? Ya, kegagalan demi kegagalan akhirnya muncul.

Gagal Terus di AFF, Kenapa?

Di Asia Tenggara, Indonesia sebenarnya sudah dipandang sebagai raksasa. Kualitas pemain Indonesia kerap dipandang sebagai yang terbaik di Asia Tenggara.

Buktinya bukan tak ada. Indonesia sudah lima kali menembus final Piala AFF. Sayangnya, tak satu pun partai final yang bisa dimenangkan Indonesia.

Ironis memang. Dan, pastinya banyak pertanyaan yang muncul kenapa Indonesia tak kunjung jadi juara.

Sinkronisasi jadwal kompetisi dan agenda Timnas menjadi salah satu kambing hitamnya. Banyak orang menilai, performa Indonesia melempem di Piala AFF karena stamina para pemainnya sudah terkuras di kompetisi.

Memang, ada tradisi aneh di Indonesia. Acap kali, saat Indonesia berlaga di Piala AFF, kompetisi masih berlangsung.

Di 2007 terjadi, pun dengan 2018. Dengan kondisi ini, pemain 'diperkosa' oleh kewajiban membela klub dan Timnas.

"Pastinya capek. Makanya, ke depan, jadwal disusun lebih baik. Kalau Timnas main, harusnya menghormati," kata sayap lincah Persija Jakarta, Riko Simanjuntak, yang bela Indonesia di Piala AFF 2018.

Pencapaian Indonesia di Piala AFF tahun ini sebenarnya mirip dengan 2014 lalu. Bahkan, situasi di 2014 lebih sulit.

Saat itu, Riedl dipusingkan dengan persiapan Piala AFF yang berantakan. Tak banyak waktu yang dimilikinya dalam menyiapkan tim lantaran jadwal kompetisi padat. Kondisi fisik pemain juga sudah terkuras karena jeda dari ujung kompetisi hingga Piala AFF tak sampai satu bulan.

"2014 menjadi persiapan terburuk. Saya merasakan, bagaimana para pemain kelelahan usai membela klub di kompetisi. Cuma sekitar tujuh hingga 10 hari sebelum turnamen di Hanoi, kami memiliki skuat komplet. Perlu waktu lebih lama untuk menyiapkan tim sebelum turnamen besar. Terlebih, dalam sesi latihan juga harus dipikirkan penanganannya sampai tim siap menghadapi laga perdana," ujar Riedl.

Pelatih Timnas Indonesia, Alfred Riedl (tengah)

Mantan fisioterapis Indonesia, Matias Ibo menuturkan, idealnya pemain sudah beristirahat dan bersiap menyambut turnamen bersama Timnas dalam waktu minimal tiga pekan hingga satu bulan. Sebab, ada periode di mana para pemain harus mengadaptasikan kondisi tubuhnya setelah kompetisi.

"Latihan juga tak bisa langsung dipaksakan dalam tempo tinggi. Perlahan, dengan tahap pengembalian kondisi tubuh, baru berlanjut ke level lebih tinggi," terang Matias.

"Seperti kasus di Piala Dunia 2018 lalu. Kompetisi di Eropa rata-rata sudah selesai sejak Mei, lalu Piala Dunia dimulai Juni 2018. Ada waktu sekitar tiga pekan hingga sebulan untuk Timnas menyiapkan pemainnya menghadapi turnamen besar. Itu waktu idealnya," lanjut dia.

Matias menuturkan, untuk Indonesia, persiapan Piala AFF terbaik adalah pada 2010. Pun dengan Riedl.

Kedua tulang punggung dalam manajemen Pasukan Garuda di Piala AFF 2010 itu sepakat 2010 menjadi persiapan terbaik.

"Ada pengelolaan yang bagus di sana. Jadwal uji coba teratur dan reguler. Pemusatan latihan dalam waktu singkat digelar dalam intensitas yang sangat sering. Sayangnya, kami, tim terbaik di turnamen, kalah di final lantaran beberapa situasi buruk," ujar Riedl.

"Kelelahan itu, tak bisa dibohongi. Satu langkah saja, bola padahal bisa diambil. Tapi, karena tubuh, ototnya, sudah lelah karena dikuras di kompetisi, saat turnamen akhirnya tak bisa mencapai kebugaran terbaiknya," jelas Matias.

Soal jadwal kompetisi yang berbenturan dengan Timnas, sebenarnya ada beberapa variabel yang membuat fenomena itu terjadi. Contohnya di musim ini.

Awal kompetisi mundur beberapa kali. Ada beberapa sebab yang membuat kick-off harus diundur. Salah satunya adalah masalah non-teknis seperti kewajiban operator kepada klub.

Perizinan juga beberapa kali jadi hambatan kompetisi untuk digulirkan tepat waktu.

"Kami merencanakan Liga 1 berlangsung Januari atau Februari 2018. Tapi, baru mulai April 2018. Terlebih, ada agenda seperti Piala Dunia, Asian Games, dan turnamen lain. Tak mudah juga buat tim nasional dan liga," kata Wakil Ketua Umum PSSI, Joko Driyono.

"Siklus AFF ini dua tahunan dan mirip dengan 2014. Ketika itu, Asian Games berlangsung, SEA Games juga, dan Timnas punya masalah yang tak mudah. Bukannya kami tak tahu ideal kompetisi yang selesai sebelum Piala AFF. Tapi, 2018 ini situasi sulit untuk dihindari," lanjutnya.

Benang Kusut yang Sulit Diurai

"Sepakbola itu sederhana. Tapi, memainkannya itu sulit," Johan Cruyff.

Arti di balik ucapan Cruyff merupakan jawaban dari apa masalah sebenarnya di sepakbola Indonesia. Pengaturan skor? Manajemen bobrok? Ayolah, itu yang cuma bisa kita terka, dengar, dan lihat, dari sudut pandang luarnya saja.

Pun, itu jadi urusan PSSI. Dan Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria, menyatakan sudah melakukan investigasi atas dugaan pengaturan skor yang berkembang dalam beberapa hari belakangan.

"Jauh sebelum ini merebak di publik, September 2017, PSSI sudah bekerja sama dengan Genius Sports. Mereka adalah salah satu partner FIFA untuk bisa identifkasi pertandingan yang anomali dan mengirimkan data ke kami," kata Tisha, Jumat 30 November 2018.

"Laporan mereka kirimkan secara langsung. Bila ada pertandingan yang perlu diinvestigasi lebih lanjut, itu PSSI tindak lanjuti. Proses ini bersifat rahasia, karena ini adalah investigasi, kalau terbuka nanti kita tidak bisa menangkap (pelaku)," ujarnya.

Tapi, masih ada masalah lebih kompleks yang harus dipecahkan. Rentetan masalah inilah yang paling penting dan harus segera diperbaiki.

Sebelumnya sudah disebut 'pengelolaan yang salah'. Artinya adalah bagaimana cara pemain tersebut ditangani sejak masih muda.

Tepat sekali, pembinaan usia dini. Ini adalah elemen terpenting dalam proses pembibitan pemain.

Banyak aspek yang harus diperhatikan dalam pembinaan usia dini. Bukan cuma soal aspek teknis, tapi ada sisi pelengkap yang bisa menyempurnakannya.

"Pemain itu ibarat bibit tanaman. Bisa subur, kalau pengelolaannya baik, ditangani pula oleh orang-orang dengan kemampuan mapan dan kapabel. Tanaman butuh pupuk, air, dan lainnya. Sama juga dengan pemain. Teknik bermain tak cukup. Sejak usia dini, pemain harus ditempa kecakapannya dalam urusan mental," ujar Supriyono yang kini melatih di Sekolah Sepakbola Bintang Primavera Bandung Matador.

Mental memang jadi masalah utama pemain Indonesia sejak lama. Bermula di 1975 ketika Coerver baru datang ke Indonesia. Bagus, katanya menyikapi kualitas pemain Indonesia.

Namun, Coerver menilai ada yang salah. Disebutnya, pemain Indonesia bermental 'kacung'. Kontroversial memang, dan Coerver pun menjadi sasaran kritik saat itu.

Belakangan, pelatih yang tutup usia pada 22 April 2011 menyatakan komentarnya adalah untuk menunjukkan bahwa sebenarnya pemain Indonesia tak memiliki kepribadian.

Mantan pelatih Timnas Indonesia, Wiel Coerver

Benar, yang dimaksud adalah mental dan sikap mantap di atas maupun luar lapangan.

"Teknik pemain tak akan keluar jika nantinya, mental mereka belum matang. Saat bermain, apa yang menentukan pertama kali? Mental, baru setelahnya teknik. Kualitas teknik bagus, tapi mental melempem, apa yang terjadi? Ya, kemampuan mereka tidak keluar," terang Supriyono.

Dalam pembinaan usia dini, menurut Metode Coerver yang dipakai di klub-klub besar Eropa, harus ada keseimbangan antara kualitas teknik, intelijensi, dan mental, dari setiap pemainnya.

Semua materi pengembangan usia dini di metode Coerver terbagi dalam sebuah piramida. Piramida tahapan yang bisa mengasah kualitas teknik, intelijensi, dan mental bertanding pemain secara bertahap. Di Indonesia, sudah ada Filanesia yang jadi kurikulum baku bagi pengembangan usia dini.

"Ada proses untuk pemain dalam mengembangkan kemampuan di olah bola, ball mastery. Lalu, mengembangkan kreasi dan improvisasi dalam permainan, latihan kecepatan, penyelesaian, hingga permainan tim. Di Eropa, bahkan dunia, materi seperti ini sudah sejak lama diterapkan. Makanya, mereka punya tim nasional tangguh karena bibitnya dibina dengan benar," ujar Supriyono.

Riedl berpendapat sama. Selama melatih Indonesia, Coach Alfred melihat pembinaan usia dini di Indonesia masih harus dikembangkan lebih lanjut. Pemilihan pelatih usia dini, juga jadi sorotan dia.

"Indonesia butuh pelatih dan manajer yang bagus. Klub juga berperan melatih pemain dalam urusan profesionalisme, gaya hidup, nutrisi, dan lainnya. Sepakbola usia dini harus lebih dikembangkan lagi," jelas Riedl.

Urusan pembinaan usia dini bukan cuma tugas PSSI Pusat. Tapi, Asprov, Askab, dan Askot, juga harus berperan. Sebab, mereka yang lebih mengerti dan bersentuhan langsung dengan sepakbola di teritorialnya.

Masyarakat umum juga punya peran dalam pengembangan usia dini, yang ujungnya adalah pembentukan tim nasional tangguh.

"Orangtua juga harus paham dengan anaknya yang mencoba berkembang lewat sepakbola. Praktik 'titipan', kita tak bisa tutup mata, masih banyak terjadi. Terutama, di SSB. Ini yang juga harus diatasi agar pengembangan sepakbola usia dini semakin baik. Artinya, peran masyarakat juga dibutuhkan," jelas Supriyono.

PSSI Butuh Bantuan

Jangan cuma teriak dan menggugat PSSI. Masyarakat juga harus bisa kasih solusi.

Bukan membela PSSI, namun masyarakat juga harus objektif dan kritis dalam melihat situasi. Apa yang Anda soroti dari PSSI? Rangkap jabatan Edy?

Memang, Edy merangkap jabatan sebagai Gubernur Sumatera Utara dan Ketua Umum PSSI. Namun, secara Undang-Undang, Edy sama sekali tak melanggarnya dengan jabatan ini.

Beberapa pejabat publik juga melakukan hal yang sama, rangkap jabatan. Wiranto contohnya. Menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto juga menjabat sebagai Ketua Umum PB PBSI.

"Tak ada yang dilanggar di UU SKN oleh Pak Edy. Tapi, soal kepatutan saja yang jadi persoalan. Ditambah, sepakbola ini punya kedudukan spesial di mata masyarakat. Jadi, wajar jika masyarakat bergejolak ketika Timnas terpuruk," ujar Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Gatot S Dewa Broto, kepada VIVA.

"Mungkin, kalau kedudukan Pak Edy di Jakarta, ceritanya akan berbeda. Sebab, sesibuk-sibuknya, masih ada waktu yang bisa diluangkan untuk menghadiri rapat. Banyak juga kok, Menteri yang jadi pejabat PB," lanjutnya.

Sebenarnya, di era kepemimpinan Edy, banyak pula perkembangan yang ditunjukkan PSSI. Lihat saja, kompetisi usia dini mulai gencar dilakukan. Liga Elite Pro Academy yang mencakup kompetisi U-16 sudah digulirkan.

"PR-nya adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari pemain muda. Kompetisi cuma sarana. Tapi, perlu ada kurikulum, dukungan infrastruktur juga penting. PSSI dan pemerintah punya tugas soal infrastruktur. Misal, lapangan yang memadai, lalu ketersediaan satu bola untuk satu pemain agar segala macam materi bisa diserap pemain dengan baik," terang Supriyono.

"Butuh waktu lama untuk membangun sepakbola. Mendapatkan Timnas yang baik, perlu juga ada kesabaran dan investasi besar. Spanyol, kesuksesannya tak instan. Perlu waktu. Pun ketika Barcelona membentuk Lionel Messi, Xavi Hernandez, dan Andres Iniesta, lewat La Masia," lanjutnya.

Sudut pandang terkait pembinaan usia dini juga perlu diubah. Bukan trofi ukurannya, melainkan produk yang dicapai saat mereka mencapai level senior.

Selama ini, ada salah pemahaman mengenai pembinaan usia dini. Prestasi di usia dini selalu diukur lewat banyaknya trofi.

Padahal, wawasan dan perkembangan pemain muda menuju level profesional yang paling penting.

"Program Primavera yang saya ikuti, kalau diukur dari trofi, ya gagal. Tapi, secara perkembangan wawasan, kami berhasil. Itu yang penting. Tiga tahun di Italia dengan biaya yang dikeluarkan PSSI mencapai Rp6 miliar, itu era 1990 ya, besar sekali biayanya. Tapi, kami mendapat wawasan bermain, pemahaman taktik dan individu yang mumpuni," jelas Supriyono.

Sudah ada yang dilakukan, artinya PSSI mulai menyentuh ranah usia dini, meski penyelenggaraannya belum sempurna.

Yang perlu dipikirkan adalah menyeimbangkan antara target dengan usaha. Maksudnya, jangan membebankan target tinggi kepada pelatih saat berbagai macam faktor pendukungnya belum sempurna dijalankan.

Kerap kali, PSSI terganggu dengan berbagai gangguan dalam menjalankan program dari luar. Ya, contohnya adalah gerakan #EdyOut.

Sudah sejak 2011, PSSI selalu dilanda gonjang-ganjing dari pihak luar. Kestabilan organisasi tak tercapai. Bagaimana program mau berjalan, jika organisasi tak stabil dalam perjalanannya?

"Kepengurusan PSSI ini kan sempat dihentikan di tengah jalan. Dan, hasilnya tidak bagus. Kalau ini dihentikan lagi justru itu tidak baik," kata anggota Komite Eksekutif PSSI, Yoyok Sukawi.

"Saya lihat, memang ada pihak-pihak yang menginginkan itu. Menurut saya, sebaiknya kepengurusan ini diselesaikan sampai akhir masa periode," lanjutnya.

Fakta lainnya adalah, diungkapkan Riedl, PSSI sebenarnya cukup kooperatif dalam urusan Timnas. Selama menangani Indonesia di 2016, PSSI era Edy selalu mampu mengakomodir keinginannya.

"Selama saya melatih, dukungan PSSI sangat baik. Kerja sama berlangsung bagus, ada masalah, kami pasti duduk bersama untuk menyelesaikannya," terang Riedl.

Memang banyak yang tak beres di sepakbola Indonesia. Tapi, ingat, bukan semua salah PSSI.

Timnas hanya korbannya, jangan hujat pemainnya. Sebagai pencinta sepakbola, kita sudah seharusnya menjadi kritikus yang sehat dan objektif. Bukan, memanaskan tensi yang sudah tinggi. (one)

Baca Juga

Kiprah Indonesia di Piala AFF

PSSI yang Selalu Ribut

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya