- ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
VIVA – "Kalian kan bukan anak buah saya. Kalau Gerakan Pro SBY itu baru saya yang memprakarsai.” Demikian mendiang Haryo Heroe Syswanto atau akrab disapa Sys Ns saat kampanye tahap I Pilpres 2004 di Pontianak, Kalimantan Barat.
Dengan wajah heran, Sys mempertanyakan maksud kumpulan orang yang tergabung dalam Gerakan SBY-MJK. Apalagi, saat itu, ada spanduk penyambutan yang terpampang bertulis 'Selamat Datang Sys NS. Ketua Gerakan Pro SBY-MJK'.
Keheranan aktor sekaligus politisi itu karena ada embel-embel MJK yang menempel di belakang Gerakan Pro SBY. Arti MJK ini adalah Muhammad Jusuf Kalla. Saat itu, figur Jusuf Kalla memang diusung sebagai cawapres untuk Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Sys hanya mengakui Gerakan Pro SBY, barisan relawan yang didirikannya pada 2003 untuk mengawal SBY bersaing merebut kursi RI-1 di Pilpres 2004.
"Memang saat itu MJK sudah dipasangkan dengan SBY sebagai kandidat. Namun, bukan berarti Gerakan Pro SBY lantas berubah menjadi Gerakan Pro SBY-MJK," ujar Sys dikutip dalam buku “Partai Demokrat & SBY, Mencari Jawab Sebuah Masa Depan” (2005:217).
Sys Ns
Gerakan Pro SBY merupakan salah satu barisan relawan yang muncul untuk kepentingan Pilpres 2004. Di barisan relawan SBY, selain Gerakan Pro SBY, ada Pro SBY yang dikomandani Yani Wachid dan Tim Swadaya 99 atau TS 99 yang dimotori Bahauddin Thonti dan Yance.
Dinamika politik di Tanah Air memunculkan peran relawan di luar partai terlihat jelang Pilpres 2004. Ketika itu, untuk kali pertama pemilihan presiden dan wakil presiden diselenggarakan secara langsung dengan rakyat sebagai pemilih.
"Sejak era pemilihan langsung yaitu Pilpres 2004 relawan sudah banyak. Namun pemberitaannya memang belum masif," kata pengamat sekaligus dosen politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin kepada VIVA, Kamis, 21 Maret 2019.
Volunteer Militan
Pemilu langsung memberikan peran relawan yang makin masif. Meski keberadaannya sudah ada sejak lama. Bahkan disebut sebelum kemerdekaan RI. Namun, saat itu, pergerakan barisan relawan hanya untuk tokoh-tokoh politik tertentu.
"Relawan di masa lalu berjuang untuk tokoh-tokoh politik untuk kepentingan bangsa dan negara," kata Ujang Komarudin.
Untuk Orde Lama, pergerakan relawan dalam kancah politik sudah muncul. Momen relawan tak bisa dipisahkan karena dinamika persaingan politik antara Soekarno, PKI dan tentara AD. Salah satunya relawan saat itu diperlukan untuk Angkatan Kelima.
Di era Orde Lama, tujuan memunculkan Angkatan Kelima saat itu untuk melengkapi Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Kepolisian. Relawan ini salah satunya dari kalangan buruh dan tani.
Masuk ke Orde Baru, relawan cenderung tak ada suara. Sebab, Orde Baru dikuasai tiga pilar yakni ABRI, birokrasi, dan Golkar. Pengelolaan relawan disebut dikelola Golkar sebagai partai penguasa Orba.
"Ada relawan cuma sudah dikelola Golkar. Zaman Orba dulu jelas beda dengan sekarang," kata founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio kepada VIVA, Kamis, 21 Maret 2019.
Sejak Reformasi terutama pemilihan langsung, relawan politik menjamur. Bertebarnya relawan ini salah satunya saat menjelang Pilkada DKI 2012. Namun, puncaknya geliat relawan politik muncul dalam kontestasi Pilpres 2014.
Bambang Arianto dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 20, Juli 2016:50 soal Menakar Peran Relawan Politik Pasca Kontestasi Presidensial 2014 menulis pentingnya peran relawan politik. Salah satunya sebagai pilar kemenangan duet Jokowi-Jusuf Kalla. Relawan yang membantu Jokowi-Jk ini juga bukan kader partai politik.?
Relawan yang membantu Jokowi-JK disebut melampaui kepentingan partai. Kehadiran relawan yang dicap sebagai volunteer militan ini bisa mensinergikan strategi dengan tim pemenangan kampanye.
Ujung Tombak
Dalam jurnal tersebut, Bambang menulis peran relawan di lapangan mampu mempraktikan mobilisasi massa yang lebih masif. Menurutnya, ada dua tipe relawan politik di Pilpres 2014 yaitu relawan komunitas dan relawan non-kumunitas.
Relawan komunitas adalah relawan yang tergabung dalam komunitas dengan ketua atau koordinator. Lalu, relawan non-komunitas biasanya bergerak dan bekerja secara personal. Relawan non-komunitas ini punya profesi asli seperti karyawan, buruh, atau pegawai negeri sipil.
Secara strategi politik, kinerja relawan di Pilpres 2014 berbuah positif. Founder KedaiKOPI, Hendri Satrio tak menampik kemenangan Jokowi-JK tak bisa dilepaskan dari militansi relawan. Baik dari di lapangan, mobilisasi massa, sampai di media sosial. Salah satunya peran relawan Pro Jokowi atau Projo.
Relawan Projo
Fakta keberhasilan ini berlanjut di Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019. Perang relawan muncul dalam dua kontestasi pesta politik ini. Kemenangan duet Anies Baswedan-Sandiaga Uno di DKI juga tak bisa dikesampingkan dari relawan.
"Relawan militan yang door to door itu paling bisa mengena, pengaruhi orang. Relawan ini ya ujung tombak di pilgub, pilkada bupati, sampai pilpres," tutur Hendri.
Di Pilpres 2019, fenomena ini berlanjut, bahkan lebih menggeliat. Ada barisan relawan yang kecewa kemudian melompat menjadi lawan. Dari dua tim pemenangan juga sudah menyiapkan divisi direkrorat khusus membawahi relawan.
Keberhasilan Jokowi merebut kursi RI-1 pada 2014 menjadi acuan. Perang di lapangan door to door sampai media sosial menjadi andalan dua kubu. "Peran relawan ini menggantikan peran partai politik secara struktural yang lebih fokus di pileg," ujar Hendri.
Relawan Anies-Sandi dalam Pilgub DKI Jakarta
Menjamurnya relawan ini positif mengajak elemen di luar partai terlibat langsung dalam pemilu. Namun, di sisi lain, fenomena relawan ini dinilai negatif karena hanya seperti elite politik yang berharap imbalan. Hal ini merujuk sejumlah relawan yang pasca Pilpres 2014 dapat jatah jabatan di perusahaan BUMN.
"Relawan masa kini berharap imbalan. Jika politisi yang didukungnya menang minta imbalan. Maka itu, banyak relawan yang menjadi komisaris di BUMN atau jabatan lainnya di pemerintahan," tutur Ujang Komarudin.
Kontrol Lemah
Keberadaan relawan tak diatur secara khusus dalam Undang-undang ataupun Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Anggota KPU Hasyim Asyari mengatakan dalam aturan yang didaftarkan adalah tim kampanye, bukan relawan. "Yang didaftarkan itu tim kampanye," ujar Hasyim saat dikonfirmasi, Kamis, 21 Maret 2019.
Untuk relawan masuk bagian tim kampanye yang memiliki pimpinan atau koordinator. Pimpinan relawan di tim kampanye ini pun mesti jelas arena untuk pertanggungjawaban.
Hasyim menekankan terkait persoalan tim kampanye sudah diatur dalam UU Pemilu dan PKPU Nomor 23 dan 28 Tahun 2018. "Kalau relawan itu masuk kategori tim kampanye mestinya siapa koordinatornya, kontak personnya siapa, alamatnya di mana. Intinya supaya ada mekanisme pertanggungjawaban," tutur Hasyim.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengkritisi tak ada aturan yang memadai dalam terkait menjamurnya relawan. Ia menilai pendekatan UU Pemilu dan PKPU terbatas untuk menagih akuntabilitas baik aktivitas ataupun pendanaan para relawan.
Kegiatan relawan Jokowi
Titi menilai bahwa untuk Pemilu 2019 justru pengaturan makin lemah. "Ketika ada pelanggaran maka dalih yang dikemukakan bahwa aktivitas itu di luar kendali struktur formal atau resmi peserta pemilu. Mestinya aktivitas elektoral di luar tim resmi peserta pemilu dilarang," ujar Titi kepada VIVA, Jumat, 22 Maret 2019.
Kemudian, ia menilai KPU semestinya bisa menginisiasi terobosan hukum terkait menjamurnya relawan ini. Kata dia, KPU mesti mempraktikkan lembaga penyelenggagara pemilu yang jujur, adil, serta akuntabilitas. "Namun sayangnya KPU tidak cukup punya keberanian dan kemauan untuk melakukan itu," jelas Titi.
Titi juga menyindir kelonggaran kontrol relawan sehingga jika ada pelanggaran substansi kampanye tak bisa ditindak Bawaslu. Secara aturan, dalam UU Pemilu tegas kampanye tak boleh dilakukan pihak selain pelaksana kampanye yang didaftarkan ke KPU.
"Pengaturan Pasal 268 ayat (1) UU 7/2017 ini malah tidak ditegakkan seperti itu. Melainkan sebaliknya. Jika dilaksanakan bukan oleh pelaksana kampanye resmi maka untuk beberapa pelanggaran malah tidak bisa dikenai penindakan," tutur Titi. (ren)