Kopi Klasik Nan Unik

Biji kopi di hutan Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.
Biji kopi di hutan Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.
Sumber :
  • VIVA/Purna Karyanto

VIVA – “Baaaak,” pintu mobil saya tutup dengan keras. Sopir mobil kantor kaget dengan kerasnya bunyi bantingan pintu itu. “Berangkat bos?” tanyanya. “Yuk lah,” ujar saya menjawab.

Dari kantor kami di Pulo Gadung, Jakarta Timur, mobil  mengarah ke Bandung, Jawa Barat. Kami akan ‘berburu’ kopi. Tak cuma berdua, ada videografer yang menemani. Setelah empat jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Bandung. Sebelum ke lokasi perkebunan, kami singgah di PT LEN Industries. BUMN ini merupakan mitra petani kopi yang akan kami sambangi.

“Capek ya?” seorang laki-laki paruh baya langsung menyapa kami, Donny Gunawan namanya. Donny adalah Manajer PBR dan CSR PT LEN. Perkebunan kopi yang ‘diasuh’ LEN terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.

Tak berselang lama, kami pun langsung menuju Desa Mekarjaya. Setelah satu setengah jam perjalanan, kami sampai. Tiga orang menyambut kami, Kepala Desa Mekarjaya, Aripin, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Abah Daum, dan mentor para petani kopi di desa ini, Uu Lendhanie.

“Sok atuh, diseruput,” kata Uu yang sudah menyediakan kopi produk mereka untuk kami. Sruputan pertama, wow! Rasanya berbeda dengan kopi Gunung Puntang. Dan, Uu pun mulai menceritakan asal usul kopi ini.

“Bukan kopi Gunung Puntang. Ini kopi Leuweung,” kata Uu.

Menarik, karena ada kata Leuweung. Dalam bahasa Sunda, Leuweung berarti hutan. Artinya, kopi ini ditanam secara organik atau alami. Penanaman kopi di kawasan Desa Mekarjaya memang berbeda. Bertempat di hutan Gunung Sangar yang berada pada ketinggian 1.200 hingga 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), kopi yang ditanam dibiarkan tumbuh begitu saja bersama berbagai tanaman sekitarnya. Alhasil, rasanya lebih alami.

“Kami menggunakan teknologi karbon dalam pertanian. Terbaru, kami gunakan teknologi nano,” ujar Uu.

“Teknologi karbon bekerja sebagai pampers. Menyerap, menyaring, jadi mineral yang ada diserap dan menjadi lebih bersih. Jadi, siklusnya alami,” ujarnya menjelaskan.

Teknologi karbon sudah cukup umum. Namun, penggunaan teknologi nano pertanian masih terbilang asing. Baru dalam tiga tahun terakhir, teknologi ini gencar diperkenalkan dalam bidang pertanian. “Sangat terlihat dalam urusan rasa. Ada tiga rasa yang bisa kami ekstrak melalui teknologi nano itu. Molekulnya pecah tiga. Rasanya (after taste) bisa lebih panjang,” ujarnya menambahkan.

Halaman Selanjutnya
img_title