Mengembalikan Pamor Kopi Klasik

- VIVA/Purna Karyanto
Bicara kopi, Ridwan Kamil, menjelaskan, Jawa Barat sebenarnya perintis. Tapi, kemudian meredup.
"Kini, kami berusaha mengembalikan pamornya. Kenapa sih kalah pamor dengan Aceh Gayo, Mandheling, dan lainnya, dukungan pemerintah mereka maksimal. Kira-kira begitu,” terang dia.
Biji kopi pilihan dan laris yang dijual di kios Dunia Kopi yang berada di Pasar Santa, Jakarta. (VIVA/Dhana Kencana)
Sebenarnya, kopi Jawa Barat mulai diperhitungkan kembali setelah pada 2016, biji kopi Gunung Puntang memenangi kompetisi di Atalanta, Amerika Serikat. Dalam kompetisi itu pula, kopi Gunung Puntang sempat mendapatkan label yang termahal.
Satu kilogram kopi Gunung Puntang, ketika itu dihargai US$55 atau Rp760 ribu.
“Faktanya, cita rasa yang menentukan. Memang, kopi Jawa Barat punya cita rasa yang unik," ujar Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jawa Barat, Yayan C Permana.
Dia menambahkan, coffee shop di Indonesia mulai banyak yang pakai Java Preanger (sebutan kopi Jawa Barat). "Promosi gencar dilakukan. Dan, secara CV, kami sudah menang di beberapa kompetisi,” tuturnya.
“Brandung juga harus pakai tagline. Pakai #KopiJawara. Kenapa? Karena rasanya memang juara. Dan, kami sudah juara. Tagline penting dalam promosi,” kata Kang Emil.
Membangun kembali reputasi, perlu juga menata diri. Pengetahuan petani akan teknik bertanam sangat diperlukan. Pun, teknik pengolahan dalam panen hingga pasca panen sangat penting dimiliki.
Banyak pula, petani yang belum paham mengenai pemilihan biji kopi terbaik sesuai, atau sortasi sesuai grade.