Merevisi Pemilu Serentak

- ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Setelah ditetapkan menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR pada 21 Juli 2017, Presiden Joko Widodo pada 15 Agustus 2017 mengesahkan Undang-Undang Nomor (UU) 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 ini menjadi dasar hukum bagi penyelenggaraan Pemilu DPR, DPD, DPRD dan Pilpres tahun 2019 secara serentak.
Kondisi Berbeda
Namun, kondisi berbeda ternyata terjadi pada 2019. Pemilu serentak yang diharapkan lebih baik dan ideal, sesuai UUD 1945, faktanya malah menimbulkan banyak korban jiwa khususnya dari sisi para penyelenggara pemilu dan petugas keamanan. Padahal proses Pemilu belum sepenuhnya tuntas, masih ada tahap penghitungan suara secara riil (real count) dan pengesahan KPU atas siapa pemenang Pilpres dan Pileg.
Berdasarkan data terakhir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamis, 25 April 2019, petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal menjadi 225 orang. Sedangkan mereka yang sakit sebanyak 1.470 orang.
Sementara itu, dari Badan Pengawas Pemilu, tercatat setidaknya 33 orang juga meninggal dunia, dan dari Kepolisian 16 personel yang gugur saat menjalankan tugas mengamankan pemilu.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, mengakui pemilu serentak kali ini belum ideal, salah satunya karena banyak anggota KPPS yang meninggal. Artinya, ada yang masih perlu diperbaiki.
Dia berpandangan ke depan pemilu, apakah pileg dan pilpres, atau pusat dan daerah, harus dipisah. Misalnya DPR RI, DPD RI dan presiden bersamaan, kemudian pilkada, DPRD provinsi dan kabupaten/kota bersamaan. "Jadi kali ini harus dievaluasi," katanya kepada VIVA, belum lama ini.
Petugas KPPS meninggal dunia
Andre berpandangan, sedikit banyak para korban yang meninggal itu akibat dampak dari pemilu serentak. Digabungnya pileg, pilpres, juga DPD membutuhkan waktu dan tenaga yang ekstra sehingga mereka kelelahan dan akhirnya banyak menimbulkan korban jiwa. Dia pun tak segan menganggap pemilu kali ini adalah pemilu terburuk. Selain banyak korban, juga banyak kecurangan.
Direktur Kampanye Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Benny Rhamdani, juga sepakat bahwa pemilu serentak 2019 ini harus dievaluasi, terutama dari segi regulasi. Di luar masalah korban jiwa, masyarakat jadi lebih mementingkan pilpres dibanding pileg. Juga terjadi pragmatisme di kalangan mereka dalam konteks pemilihan para caleg.
Kemudian, waktu kampanye yang begitu lama, tujuh bulan, juga menjadi masalah tersendiri. Apalagi calonnya hanya dua sehingga terjadi pembelahan di masyarakat. Ujungnya merusak persatuan masyarakat.
Benny menambahkan, pihak-pihak yang dahulu menginginkan pemilu serentak karena efisiensi anggaran terbukti salah. Karena menurutnya, anggaran yang dikeluarkan untuk pemilu sekarang justru lebih besar dari pemilu sebelumnya.
Sangat Berat
Mantan anggota KPU, Sigit Pamungkas menuturkan, pemilu serentak ini dari sisi penyelenggaraan memang sangat berat karena menggabungkan lima jenis pemilihan dalam satu waktu dan harus selesai dalam satu hari.
Di negara lain, waktunya tidak satu hari, bahkan ada yang satu bulan. Mereka juga hanya dua atau tiga jenis pemilihan. Sedangkan di Indonesia, lima jenis pemilihan dilaksanakan dalam waktu satu hari dan harus selesai.
"Dari sisi manajemen penyelenggara pemilu jadi sangat berat," kata Sigit saat dihubungi VIVA, belum lama ini.