Merevisi Pemilu Serentak

Ilustrasi Warga mengikuti pemungutan suara ulang pemilihan umum (pemilu) 2019.
Ilustrasi Warga mengikuti pemungutan suara ulang pemilihan umum (pemilu) 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Dalam pemilu, timbulnya korban menjadi sesuatu yang harus dihindari. Kekerasan juga dihindari. Meskipun memang, keduanya memiliki karakter yang hampir sama yaitu memobilisasi massa, berbagai sumber daya yang dibutuhkan secara masif.

Oleh karena pemilu merupakan aktivitas super kolosal, maka mengharapkan tidak ada masalah adalah sikap yang tidak masuk akal. Walaupun semua pihak harus meminimalir masalah. "Menzerokan problem itu tidak mungkin, tapi memang harus diperkecil," kata Sigit.

Dalam konteks itu, Sigit menilai respons penyelenggara pemilu dan pemerintah sudah cukup bagus. Mereka bergerak untuk mengatasi masalah, termasuk para korban yang meninggal juga diupayakan agar mendapatkan santunan.

Anggota KPPS melakukan penghitungan suara pada Pemilu serentak 2019 di Kampung Kama, Distrik Wesaput, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua

Proses penghitungan suara di Papua

Sedangkan yang terkait dengan pemilu, dugaan kecurangan juga sudah diambil langkah-langkah solusi seperti menggelar pemungutan suara ulang. Masalah dalam penginputan data juga diadakan perbaikan.

Sigit menegaskan bahwa undang-undang juga perlu direvisi. Bagaimana menciptakan regulasi pemilu yang memungkinkan para petugas bekerja secara normal, dan manusiawi. Tidak full time, 24 jam, ada ruang untuk istirahat yang cukup sehingga tidak kelelahan, atau kecapekan. Adanya dokter-dokter keliling di setiap TPS juga menjadi salah satu pertimbangan.

Bicara masalah korban, Sigit mengakui pada zaman dia menjadi anggota KPU, juga ada petugas KPPS yang meninggal dunia. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak saat ini.

Saatnya Gunakan Teknologi

Terpisah, kolega Sigit yang juga pernah menjadi anggota KPU, Hadar Nafis Gumay, juga mengakui ada masalah yang muncul dari penyelenggaraan pemilu kali ini. Tapi dia berpendapat itu bukan sesuatu yang disengaja apalagi bagian dari satu bentuk kecurangan. Selain itu, beban penyelenggara pemilu juga memang bertambah.

Karena itu, Hadar menilai bangsa Indonesia harus mencari tata cara pelaksanaan pemilu yang lebih sederhana, lebih simpel. Terlepas dari apakah sistem yang dipakai nantinya, pemilu serentak, atau terpisah secara nasional dan lokal.

Salah satu cara yang dia usulkan adalah dengan mulai menggunakan teknologi informasi misalnya dari level TPS. Bukan dalam hal pencoblosannya, tapi bagaimana mengecek pemilih itu memang berhak memilih atau tidak atau proses autentifikasi.

Selama ini, jika pemilih masuk TPS, mereka dicatat, atau dicek. Cara itu dianggap memakan waktu, butuh salinan, penulisan yang panjang. "Carilah satu teknologi untuk itu," kata Hadar.

Kemudian, sistem rekapitulasi manual yang saat ini dipakai juga dia rasa tidak efektif, memakan waktu sampai 30 hari lebih. Akibatnya, ada saja pihak-pihak yang berusaha mengklaim telah memenangkan pemilu atau menuduh pihak lain curang. Tapi, untuk proses pencoblosan perlu dipertahankan.

Begitu TPS selesai, barulah menggunakan teknologi informasi untuk proses rekap suara. Menurut Hadar, cara itu bisa membuat beban kerja di lapangan menjadi berkurang.

Dia juga terbuka bila sistem pemilu nanti diubah, dikembalikan ke sistem proporsional tertutup. Tapi, dia mengingatkan jika prosesnya masih seperti sekarang, banyak kertas yang harus diisi, ditandatangani, hasilnya pun menunggu berbulan-bulan, maka problem yang sama akan tetap muncul.

Hadar menyarankan begitu pemilu ini selesai, KPU sudah menetapkan hasilnya, dan gugatan di MK tuntas, segera evaluasi sistem pemilu secara mendalam dan menyeluruh. Mulai dari mengubah undang-undang pemilu.

Jangan sampai perubahan undang-undang itu dibahas jelang pemilu dilaksanakan. Akhirnya menjadi terlambat, mepet, dan tidak ada waktu. Yang terjadi justru tidak masuk kepada subtansi persoalan, tapi hanya memenuhi kepentingan pemilu berikutnya saja alias pragmatis.

Halaman Selanjutnya
img_title