SOROT 586

Ancaman Resesi Ekonomi Global

Sorot 586
Sumber :
  • Vivanews

VIVA – Selamat datang 2020. Tahun tikus yang diselimuti kekhawatiran memburuknya situasi ekonomi global ke arah resesi. Hal ini sudah diprediksi sejumlah ekonom dan lembaga keuangan internasional. Pemerintah RI juga mengamini prediksi tersebut.

Pada akhir tahun lalu, Dana Moneter Internasional atau IMF kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global, termasuk Indonesia. Yang jadi sorotan perang tarif atau perang perdagangan antara Amerika Serikat dan China terus membebani perekonomian global serta memperlambat perdagangan dunia.

"Kami memperkirakan bahwa ketegangan perdagangan AS-China akan secara kumulatif mengurangi tingkat PDB global sebesar 0,8 persen pada tahun 2020," kata Kepala Ekonom IMF, Gita Gopinath, Rabu, 16 Oktober 2019.

Dia menjelaskan, pengenaan tarif yang terus tinggi dalam perang perdagangan tersebut, serta berkepanjangannya ketidakpastian kebijakan untuk menyelesaikan persoalan itu, telah merusak iklim investasi dan lesunya permintaan barang modal. Akibatnya, kinerja industri manufaktur dan perdagangan global jatuh melemah.

Di samping itu, lanjut dia, di tengah kondisi tersebut, industri otomotif sedang mengalami kontraksi karena berbagai faktor, seperti adanya gangguan yang disebabkan pengenaan standar emisi baru di kawasan Eropa dan China. Akibatnya, pertumbuhan volume perdagangan pada paruh pertama 2019 telah jatuh ke angka satu persen, level terlemah sejak 2012.

"Ketegangan perdagangan dan geopolitik semakin tinggi, termasuk risiko terkait Brexit, dapat lebih lanjut mengganggu aktivitas ekonomi, dan menggagalkan pemulihan ekonomi yang rapuh di negara-negara emerging market dan kawasan Eropa," tuturnya.

Karena itu IMF memprediksi, pada 2020 pertumbuhan ekonomi global masih akan mengalami pelemahan di posisi 3,4 persen dari proyeksi sebelumnya 3,6 persen. Adapun untuk Indonesia, pada 2020 diperkirakan pertumbuhan ekonominya hanya bisa menyentuh 5,1 persen.

Kekhawatiran tersebut juga dirasakan otoritas moneter Indonesia, bahwa ketidakpastian ekonomi global masih akan berlanjut hingga tahun ini. Itu menyebabkan pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan diperkirakan terus mengalami perlambatan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluoy pada November 2019 mengatakan, faktor ketidakpastian global memang masih didominasi oleh kisruh perang dagang antara Amerika Serikat-China. Ada pula tensi geopolitik di berbagai belahan dunia yang terus bermunculan.

"Memang, melihatnya bahwa pertumbuhan ekonomi global semua negara synchronize secara bersamaan mengarah ke bawah. Karena, memang melihat dari sisi ketidakpastian itu relatif masih ada, bahkan berlanjut sampai 2020," kata dia.

Meski memiliki pandangan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bisa stabil tahun ini. RI diproyeksi akan tumbuh di atas lima persen pada 2020, meski tidak terlalu kuat dibanding tahun-tahunnya.

Dampak dari ancaman resesi ekonomi ke Indonesia pun dipastikan Sri Mulyani, lebih baik ketimbang pertumbuhan negara-negara maju maupun emerging market lainnya. Pemerintah akan meningkatkan kewaspadaanya menyikapi dinamika ekonomi global tahun ini.

"Indonesia masih stabil di atas 5 persen, Singapura sempat negatif growth dan terakhir diperkirakan 0,1 persen. Vietnam masih cukup tinggi, Eropa, Inggris, Jepang, India bahkan merosot di kisaran 5 persen. Thailand, Filipina terpengaruh juga. Jadi itu perlu kita waspadai," ujarnya.

Lampu Kuning

Aura kekhawatiran para pemimpin global akan ekonomi 2020 sangat terasa dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-35 ASEAN di Bangkok  November 2019. Hal itu dirasakan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang hadir dalam kesempatan itu.

Retno mengatakan, dari sisi ekonomi, kekhawatiran itu mencuat karena berbagai lembaga internasional terus merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Diperkirakan pertumbuhannya pada 2019 mencapai titik terendah sejak terjadinya krisis keuangan global pada 2008, yakni hanya di kisaran tiga persen.

"Dari semua pembicaraan, maka satu kesimpulan tampak sekali kekhawatiran para pemimpin dunia mengenai situasi dunia saat ini, baik dari aspek politik dan ekonomi," ujar Retno di depan para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) indonesia di Kadin, Jakarta, Selasa, 19 November 2019.

Kekhawatiran itu lanjut Retno semakin menjadi-jadi setelah Managing Director Dana Moneter Internasional atau IMF, Kristalina Georgieva, menyebutkan bahwa 90 persen negara-negara ekonomi berkembang, secara serentak akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang melambat pada 2019 dan berlanjut pada 2020.

"IMF mengatakan, mayoritas pertumbuhan ekonomi dari negara maju lebih suram lagi. Beliau akui dunia masih dan akan dipenuhi ketidakpastian yaitu tekanan geopolitik dan perdagangan," ujar Retno menambahkan.

Meredanya eskalasi perang perdagangan antara Amerika Serika dengan China pada dasarnya mulai menemukan titik terang pada awal tahun ini. Presiden AS Donald Trump menjanjikan melalui akun resmi Twitternya bahwa kesepakatan perdagangan Fase Satu antara AS dan China akan dilaksanakan pada 15 Januari 2020 di Gedung Putih.

Namun begitu, Direktur Riset Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menegaskan, kondisi itu pada dasarnya menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi bahwa eskalasi perang perdagangan antara AS dan China akan benar-benar mereda mulai tahun ini.

"Kita cukup tahu karakternya presiden Trump yang tidak bisa ditebak. Kita belum bisa memastikan ending-nya seperti apa, atau mungkin ada gebrakan baru nanti dari presiden Trump," ujar Piter saat berbincang dengan VIVAnews, Jumat 3 Januari 2020.

Karena itu lanjut Piter, CORE Indonesia tetap memperkirakan bahwa selama Presiden AS Donald Trump memimpin, maka selama itu ketidakpastian global akan menyelimuti negara-negara ekonomi berkembang. Karena, perdagangan dunia akan melambat karena perang dagang.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirkan juga akan terus mengalami perlambatan, yakni mencapai kisaran 4,9-5,1 persen pada 2020. Perkiraan CORE Indonesia memang jauh lebih rendah dari target yang dipatok pemerintah pada 2020 yakni 5,3 persen. Angka  itu bukanlah yang terlalu pesimistis karena hingga Kuartal III 2019 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,02 persen.

Akan tetapi, Piter menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode itu tidak akan sampai pada kondisi resesi sebagaimana yang hampir dihadapi negara-negara lain. Sebab, konsumsi domestik di Indonesia yang besar, masih akan menjadi penopang utama pertumbuhan walaupun mengalami perlambatan.

"Inflasi inti yang melambat (pada 2019) memang merefleksikan penurunan demand. Pemerintah saya kira harus mewaspadai ini (Dinamika Global) apabila ingin bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada tahun 2020," tuturnya.

Di sisi lain, Institute For Development of Economics and Finance atau Indef menilai, resesi ekonomi global sudah di depan mata. Hal ini karena  pertumbuhan ekonomi negara-negara  maju semakin melesu bahkan diproyeksikan akan berada di level 1,7  persen pada 2020.

"Kemelut ekonomi global ini tentu berpotensi menjalar ke perekonomian Indonesia," kata Ekonom Senior Indef, Didik J. Rachbini, kepada VIVAnews beberapa waktu lalu.

Menurut dia, pertumbuhan ekonomi  Indonesia mengalami stagnasi di kisaran lima persen atau tepatnya hanya mencapai 5,02 persen pada kuartal III 2019, karena bertumpu  pada  konsumsi. Sementara itu, ekspor Indonesia masih terkendala  dengan penurunan harga komoditas dan  dampak perang dagang. 

Dukung UMKM Indonesia, BRI Gelar Pesta Rakyat Simpedes

Perkuat Pertahanan

Selain faktor eksternal, Pemerintah dinilai juga harus memperkuat pertahanan ekonomi RI guna membendung dampak dari resesi ekonomi global yang kemungkinan terjadi tahun ini. 

Dirut BRI Ungkap 2 Faktor yang Bisa Selamatkan Indonesia dari Resesi di 2023

Mengutip kajian Indef, ada sejumlah dinamika ekonomi dalam negeri yang harus diwaspadai pemerintah. Indikator ekonomi ini harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas dan mendorong perekonomian nasional.

Pertama adalah risiko di balik penguatan rupiah. Stabilitas rupiah yang terjadi saat ini bertumpu pada derasnya aliran dana-dana jangka pendek (hot money). Ini terjadi karena tingkat bunga di Indonesia masih lebih ‘menggiurkan’ bagi investor dibanding negara-negara lain.

Sri Mulyani Ingatkan Risiko yang Intai Ekonomi Global, RI Siapkan Ini

Namun, derasnya modal yang distimulasi selisih suku bunga yang lebar dibanding negara lain, bisa tiba-tiba keluar yang justru membuat ekonomi Indonesia semakin rentan. Karena itu, kewaspadaan terhadap potensi pembalikan modal ke luar negeri tetap diperlukan guna mengantisipasi dampak negatif dari hot money.

Kedua, pertumbuhan kredit masih single digit. Hal ini diakibatkan karena Loan to Deposit Ratio atau LDR perbankan masih tinggi, sehingga bank sangat selektif dalam memberikan kredit. Selain itu, NPL perbankan terus meningkat sejak awal 2019, meskipun angkanya masih di bawah 5 persen. 

Menurut Indef, permintaan kredit bank dapat meningkat apabila ada  stimulus APBN? terhadap sektor-sektor produktif. Di sisi lain, pengusaha membutuhkan kepastian dalam berusaha sehingga tidak terus terjebak dalam posisi wait and see.

Kemudian yang ketiga, mendesaknya segera dilakukan konsolidasi perbankan. Sebab, untuk ukuran Indonesia, idealnya hanya terdapat 50-70 bank eksisting. Dengan jumlah bank eksisting saat ini yang lebih dari 100 bank, membuat ketidakseimbangan pada persaingan Dana Pihak Ketiga.

Hal yang menghambat adalah Rancangan Peraturan OJK tentang Konsolidasi Bank Umum yang mengatur modal inti dari OJK sebesar Rp1 triliun  per 31 Des 2020, dan naik bertahap hingga Rp3 triliun pada 31 Des 2022. Untuk proses konsolidasi bank dinilai terlalu besar.

Konsolidasi perbankan ini diperlukan, seiring dengan adanya euforia baru terkait financial technologi yang sedang berkembang saat ini. Fintech mau tidak mau akan membuat ekosistem baru yang pada akhirnya bakal menjadi ancaman bagi perbankan.

Pekerjaan rumah pemerintah dan otoritas terkait seperti OJK serta Bank Indonesia, adalah untuk memastikan hal itu tidak terjadi. Regulasi yang dibuat harus bisa mengakomodir solusi dari kekhawatiran itu.

Lalu keempat, yang harus diwaspadai adalah terus meningkatnya utang publik. Pembangunan infrastruktur yang massif dilakukan oleh BUMN? non finansial perlu memperhatikan rasio keuangan mereka terutama terkait utang. Perlu ada manajemen pembayaran utang yang baik. Aplagi kapasitas fiskal pemerintah semakin sempit beberapa tahun ini. Sehingga sulit untuk memberikan stimulis pada perekonomian. 

Kelima adalah memastikan efektifitas program-program pemerintah khususnya yang mendorong konsumsi masyarakat secara merata. Seperti dana desa dan kartu prakerja yang ditujukan untuk menekan angka pengguran di Indonesia.  Program-program tersebut harus dipastikan bisa berjalan sesuai dengan tujuannya. Sehingga, uang yang digelontorkan pemerintah untuk program tersebut tidak menguap begitu saja. [mus]

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya