- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id - Sore itu, cuaca cerah. Jarum jam menunjuk pukul 16.12 WIB. Suasana di salah satu kompleks perumahan di pinggiran Bogor itu tampak sepi.
Seorang perempuan duduk di teras rumah yang tidak begitu besar. Jemarinya sibuk memainkan telepon pintarnya. Sesekali, tatapan matanya mengarah ke jalan.
Dari kejauhan, terdengar sayup-sayup deru mesin sepeda motor. Tak berselang lama, sebuah sepeda motor dengan pengemudi berjaket hijau dan helm berwarna senada berhenti persis di depan rumah perempuan itu.
Sedikit bercakap, perempuan itu menerima masker dan helm dari pengemudi, yang kemudian diketahui sebagai ojek berbasis online.
Fenomena ojek berbasis online beberapa bulan belakangan ini kian marak. Di saat jam-jam sibuk seperti pagi dan sore hari, hampir bisa ditemui ojek dengan jaket hijau dan hitam melintasi jalan raya. Ada Gojek dan GrabBike.
Ojek berbasis online seperti sudah bukan lagi gaya hidup warga kota besar. Bahkan, salah satu startup, yakni Gojek, sudah merambah ke Bandung, Surabaya, dan Bali. Ekspansi serupa bisa jadi juga dilakukan pemain sejenis di bidang jasa itu.
Pembeda Gojek dengan ojek konvensional, bukan hanya dari jaket dan helm pengemudi yang seragam. Setidaknya, empat hal jadi ciri pembedanya.
Pertama, cara pemesanannya cukup mudah. Hanya dengan menggunakan aplikasi Gojek Mobile.
Calon penumpang cukup melakukan order secara online. Aplikasi tersebut bisa dengan mudah diunduh dari App Store untuk iOS atau Google Play bagi Android.
Kedua, tidak ada lagi transaksi tawar-menawar tarif antara calon penumpang dan pengemudi. Jarak tempuh dan harga yang akan dibayarkan penumpang terlihat jelas di layar setelah memilih tempat penjemputan dan tujuan pengantaran. Ketiga, tidak ada transaksi tunai antara penumpang dan pengemudi.
Pembayaran dilakukan dengan cara memotong saldo didompet Gojek yang terlebih dahulu dimiliki pelanggan. Terakhir, dengan mengakses aplikasi di ponsel pintar, calon penumpang juga bisa mengetahui keberadaan tukang ojek pesanannya yang terpantau melalui GPS.
Model bisnis jasa transportasi beroda dua dan juga terdapat taksi online ini memang sedang marak beberapa bulan terakhir.
Head of Marketing Grab Taxi Indonesia, Kiki Rizki, mengatakan, untuk kota yang padat dan lalu lintasnya macet, bisnis ojek online ini tentu besar peluangnya. Melalui ojek online, pengguna diuntungkan, karena ada perkiraan biaya, sehingga tidak perlu tawar-menawar lagi. Selain itu, ada perlindungan asuransi kecelakaan.
GrabBike berdiri sejak 2012, diawali dengan taxi on demand bernama MyTeksi di Malaysia. Peluang pasar yang besar di kawasan Asia Tenggara menjadi pertimbangan untuk menyediakan layanan taksi yang cepat, dapat diandalkan, serta berbasis pendekatan value for money.
"Para pendiri merasakan pentingnya kenyamanan dan keselamatan berkendara bagi keluarga, teman, dan kerabat tercinta mereka," ujar Kiki dalam keterangan tertulis kepada VIVA.co.id, Jumat 4 September 2015.
Tidak hanya taksi, GrabBike juga melayani jasa transportasi beroda dua. Untuk layanan ojek online ini, GrabBike, sebelumnya sudah ada di Vietnam. Sementara itu, selain di Malaysia, Grab Taxi juga ada Singapura, Vietnam, Thailand, dan Filipina.
Pemain sejenis di bisnis transportasi berbasis online adalah Uber. Juru Bicara Uber, Karun Arya, bahkan mengatakan, perusahaan tengah mempersiapkan dokumen permohonan untuk mendirikan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA).
Saat ini, Karun menjelaskan, Uber telah menciptakan ribuan kesempatan kerja bagi masyarakat Indonesia. Di Jakarta, banyak dari mitra Uber yang sebelumnya merupakan pengemudi taksi atau tidak memiliki pekerjaan, kini telah menjadi wirausaha yang berkembang dengan menggunakan aplikasi Uber.
"Mitra kami mendapatkan penghidupan yang lebih baik serta mendapatkan fleksibilitas waktu kerja. Secara rata-rata, banyak dari mitra kami yang mampu memperoleh penghasilan bulanan sampai dengan Rp12 juta," kata Karun dalam penjelasan tertulisnya, Jumat 4 September 2015.
Di Jakarta, seperti halnya di lebih dari 330 kota di seluruh dunia, Uber telah mengubah cara masyarakat dalam berpergian dan semakin terhubung dengan kotanya. Uber memberikan pilihan transportasi yang diklaim aman, terpercaya, dan terjangkau.
Sebagai perusahaan teknologi, Uber memang bukan perusahaan taksi atau transportasi. Perusahaan tidak memiliki, mengoperasikan kendaraan, atau mempekerjakan pengemudi.
"Platform kami hanya menghubungkan permintaan penumpang kepada mitra dari perusahaan penyewaan transportasi, yang berizin perusahaan atau koperasi," ujar Karun.
Teknologi yang dikembangkan Uber, dia menambahkan, diklaim telah mengubah cara mobilitas penduduk perkotaan dan secara aktif bekerja sama dengan otoritas daerah setempat untuk membangun solusi jangka panjang yang dinilai menguntungkan komunitas.
Investasi Asing
Strategi Bisnis
Pengamat ekonomi dari Institute Development of Economic and Finance (Indef), Enny Sri Hartato, menjelaskan, dari sisi ekonomi, pengemudi ojek online tidak akan mengalami kerugian, karena perusahaan gencar berpromosi dan di situ pemasukannya.
"Sistemnya, penyediaan aplikasinya itu pintar memainkan pasar. Misalnya untuk yang mau ikut Gojek harus bayar daftar Rp100 ribu untuk administrasi, dikalikan lima ribu orang yang menjadi driver, sudah berapa. Belum lagi capaian target driver saaat cari penumpang kan itu bisa tertutupi," ujarnya.
Mengenai subsidi dari perusahaan Gojek dan Grab Bike terhadap pengemudinya, Enny dan Yuswohady mengatakan, itu adalah bagian dari strategi perusahaan. "Itu bagian strategi mereka, karena bisnis online ini bakal berkembang pesat. Semakin tinggi minat, semakin tinggi juga pemasukannya, bisa dari iklan atau kerja sama lainnya, pemasukan pun semakin meningkat," tutur Enny.
Sisi lain, perusahaan tidak akan rugi. "Tidak ada perusahaan yang mau rugi, tapi dia buat ini sebagai investasi," kata dia.
"Karena, daripada mengeluarkan uang banyak untuk membeli kendaraan, perusahaan Gojek ini lebih memilih subsidinya. Ini kan dia sebelumnya tidak mengeluarkan modal sama sekali. Walaupun subsidinya besar, secara hitung-hitunganan dia masih untung," ujarnya.
Mengenai kemungkinan Gojek akan mencari pendanaan lewat pasar modal, Enny mengatakan, selama bisnis itu menguntungkan, akan menarik orang untuk berinvestasi. Namun, analis NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada, mengatakan, saat ini belum saatnya Gojek dan sejenisnya masuk ke pasar saham.
"Saat ini tengah euforia dan belum ketahuan berapa nilai investasinya. Apakah perusahaan juga siap untuk go public dan laporan keuangannya diketahui masyarakat. Saya kira tidak akan secepat itu," ujar Reza kepada VIVA.co.id, Kamis 3 September 2015.
Menurut dia, Gojek dan GrabBike akan mampu membuat usahanya menjadi lebih baik dengan berbagai kemasan. Upaya itu bisa jadi menarik masyarakat untuk melirik usaha yang memang saat ini tengah dibutuhkan publik.
"Apalagi, konsumen merasa dengan naik ojek online menjadi lebih aman, karena dengan sistem yang ada di pengemudi bisa terpantau dan terintegrasi. Harga yang lebih murah menjadi alasan utama masyarakat memilih ojek online," kata Reza.
Enny dan Reza menambahkan, jika Gojek maupun Grab Bike ingin masuk ke pasar bursa, mereka harus memperbaiki kinerja usaha terutama modal perusahaan. Pengelola ojek online harus bisa menjelaskan penyedia aplikasinya hingga sumber pendanaan.
Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Darat pun menyatakan bahwa pemerintah bersikap menerima terkait angkutan umum berbasis online, seperti Gojek, GrabBike, Blu Jek, Grab Taxi, Uber, dan bisnis sejenisnya yang mulai booming saat ini.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Djoko Sasono, menyatakan, selama angkutan umum berbasis online tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kinerja transportasi publik dan sesuai dengan perundang-undangan, maka pihaknya akan mendukung hal tersebut.