- Dokumentasi Pribadi Savic Ali
VIVA.co.id – Hari menjelang siang. Jam di tangan menunjuk angka sembilan. Namun, kantor NUtizen masih terlihat sepi. Hanya ada satu orang yang tampak lalu lalang, keluar masuk ruangan.
Tak ada yang istimewa di ruangan yang terletak di lantai empat, Gedung Soedarpo, Jalan Blora, Jakarta Pusat ini. Hanya ada sejumlah ruang yang disekat-sekat dengan kaca dan perabotan, laiknya kantor sebuah perusahaan.
Satu demi satu, beberapa orang terlihat datang. Mereka masuk salah satu ruangan yang agak besar dan langsung menggelar rapat. Tak berselang lama, Mohamad Syafi’ Ali (42), founder sekaligus chief operating officer (COO) NUtizen tiba. Ia langsung masuk ruang rapat dan bergabung dengan sejumlah orang yang sudah menunggunya.
“Inilah aktivitas saya sekarang,” ujar Syafi’ kepada VIVA.co.id, Kamis, 12 Mei 2016.
Aktivis yang terlibat dalam gerakan Reformasi 1998 ini mengatakan, selain NUtizen, ia juga menjadi direktur NU Online dan mengelola situs Islami.co. “Saya juga aktif di jaringan Gusdurian,” ujar pria yang akrab disapa Savic ini.
Ia menjelaskan, NUtizen merupakan sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama putri almarhum Gus Dur, Alisa Wahid. “Perusahaan terbesarnya, ya PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Kami partneran dengan swasta untuk buat platform teknologinya,” ujar pria kelahiran Pati, 21 November 1974 ini.
Menurut dia, NUtizen adalah platform TV atau video streaming untuk komunitas muslim. Visinya membantu kiai dan pesantren agar memiliki channel tv streaming dan bisa membuat materi audio visual.
“Jadi, gabungan kayak Youtube dan Periscope secara teknologi. Tapi kontennya, konten-konten keislaman,” dia menjelaskan.
Tak seperti sejumlah koleganya yang terjun ke dunia politik, Savic memilih jalan berbeda. Alih-alih sibuk menggalang dukungan atau merapat ke partai politik, pria ceking ini malah memilih terjun ke dunia media.
Sebelum di NUtizen dan NU Online, ia sempat mendirikan penerbitan buku dan majalah. Ia bahkan masih nyambi jualan buku dan tas lewat online. “Di politik, aku merasa nggak akan bisa menyumbangkan pikiran dan kemampuanku secara maksimal,” ujarnya beralasan.
Sementara itu, menurut dia, partai politik masih cenderung sentralistik dan oligarkis. “Di dunia sekarang, aku melihat sektor lain (non-politik) justru sering bisa mendorong perubahan sosial. Media dan teknologi misalnya,” ia menambahkan.
Meski demikian, ia menilai, apa yang dilakukan masih menjadi bagian dari gerakan sosial. Ia mengatakan, semua yang ia kerjakan memiliki dampak untuk masyarakat.
“NUtizen kan kontennya untuk tetap menjaga masyarakat muslim tetap toleran. Kenapa video, karena generasi ke depan lebih akrab dengan video ketimbang membaca artikel,” dia menerangkan.
Sementara itu, website Islami.co dimaksudkan untuk meng-counter radikalisme yang muncul dan marak setelah reformasi. “Era reformasi semangatnya kan kebebasan. Kalau dulu kan kebebasan itu dirampas oleh negara. Sekarang, kebebasan itu banyak dirampas oleh kelompok sipil garis keras. Itu makanya beberapa tahun ini aku konsen di situ.”
Selanjutnya...Berawal dari Diskusi dan Bernyanyi
Berawal dari Diskusi dan Bernyanyi
Nama Savic mungkin sudah tak asing di telinga para aktivis yang terlibat dalam Gerakan Reformasi 1998. Ia merupakan salah satu pendiri Forum Kota (Forkot), sebuah organ gerakan yang rajin "turun ke jalan", menuntut Reformasi.
“Forkot merupakan aliansi kelompok-kelompok gerakan kampus yang ada di Jakarta dan sekitarnya,” ujarnya.
Ia menjelaskan, Forkot lahir dari sejumlah pertemuan yang dilakukan secara berkala oleh para aktivis di seputaran Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi. Menurut dia, nama aliansi itu sebenarnya bukan Forkot, tapi Komunitas Aksi Mahasiswa se-Jabodetabek. “Namun, di luar kami biasa disebut dengan Forkot,” ujarnya.
Menurut dia, hampir semua kampus di Jakarta dan sekitarnya pernah ia sambangi untuk diskusi dan mengajak mereka untuk terlibat aksi 1998. Awalnya, hanya ketemu dan ngobrol. Namun, lambat laun mereka mulai berani membuat mimbar bebas di kampus.
Savic menambahkan, saat itu istilahnya bukan demonstrasi, tapi mimbar bebas. Mimbar bebas itu diisi dengan orasi dan nyanyi-nyanyi. “Saya datang ke sana kasih orasi, berikan support. Lama-lama pengorganisasian terbentuk, baru ikut aksi keluar di jalanan. Saya dulu kerjaannya hampir tiap hari demo, mendatangi kampus,” ujarnya.
Savic menuturkan, ia sudah terjun di gerakan mahasiswa sejak 1994. Saat menimba ilmu di Institut Agama Islam Negeri (sekarang Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ia aktif di Arena, Lembaga Pers Mahasiswa UIN. Selain itu, ia terlibat dan aktif di Keluarga Mahasiswa Pencinta Demokrasi (KMPD), sebuah organ gerakan di kampus yang sama.
Savic sempat jadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sebuah organisasi ekstra kampus yang basis anggotanya mahasiswa NU. Namun, ia mengaku tak aktif.
Tahun 1996, ia hijrah ke Jakarta. Niatnya adalah kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Usai menginjakkan kaki di ibu kota, Savic langsung aktif di sejumlah forum diskusi. “Saya kenal Jakarta itu gara-gara demo, di Mercu Buana, Untag yang di Priok, IPB, Pakuan di Bogor, kampus ITI di Serpong, sampai kampus yang namanya Akademi Sekretaris Tarakanita,” dia mengenang.
Savic Ali (kedua dari kanan) saat Sarasehan dan Kongres I FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia). Foto: Dok. Pribadi Savic Ali
Usai Reformasi 1998, Savic masih terlibat aktif di gerakan mahasiswa. Salah satunya mendirikan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred).
Ia mengatakan, Famred merupakan sempalan dari Forkot. Ia sengaja mendirikan organisasi baru karena sudah tak sejalan dengan Forkot. Selain itu, ia membidani lahirnya Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI).
Ia mengatakan, FPPI merupakan gabungan organisasi gerakan mahasiswa dan pemuda dari sejumlah daerah. “Jadi, kelompok aktivis dari berbagai kota seperti Jakarta, Malang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, nasional lah itu semua bergabung di FPPI,” kata dia.
Selanjutnya...Reformasi Dulu dan Kini
Reformasi Dulu dan Kini
“Dulu targetnya adalah menurunkan Soeharto,” ujar Savic ketika disinggung soal tuntutan yang disuarakan dalam aksi massa 1998.
Ia mengatakan, isu itu dimunculkan karena bertahun-tahun di bawah rezim ototarian, Soeharto tidak mampu mendistribusikan kemakmuran kepada masyarakat. Kekayaan hanya terkonsentrasi kepada segelintir orang dan kelompok. Selain itu, secara ekonomi dan politik, masyarakat tidak punya kebebasan.
Savic menjelaskan, sebagian dari agenda reformasi sudah kesampaian. Misalnya, berkurangnya kekerasan yang dilakukan negara terhadap sipil. “Dulu kan mau apa-apa itu yang bertindak tentara bawa senjata. Paling tidak orang tidak lagi hidup dalam ancaman atau ketakutan diambil oleh polisi, TNI, aparat semaunya tanpa hukum, tanpa tahu kesalahannya apa. Itu satu hal kita nikmati hari ini,” ujarnya.
Menurut dia, kebebasan politik, kebebasan berorganisasi, kebebasan bersuara secara umum juga sudah memuaskan. “Orang ngomong apa pun di Twitter dan Facebook boleh saja toh. Di era ototarian itu semua tidak mungkin,” ujarnya menambahkan.
Meski demikian, ia mengaku prihatin. Sebab, partai politik yang lahir karena berkah reformasi tak sepenuhnya bekerja untuk reformasi, untuk clean government, untuk rakyat.
Menurut dia, partai politik masih bekerja untuk kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya.
Selain itu, ia menyoroti maraknya aksi masyarakat yang melakukan tindak kesewenangan seperti aparat zaman Orde Baru. Misalnya membubarkan diskusi, melarang diskusi, menggasak orang, melarang orang. “Itu semua praktik ototarianisme, ototarian politik,” ia menegaskan.
Ia mengatakan, hal itu terjadi akibat ketidakdewasaan masyarakat dalam memaknai demokrasi. Karena, berpuluh-puluh tahun masyarakat tak pernah dididik bagaimana berdemokrasi, karena dulu semua ditentukan oleh negara.
“Jadi, ibaratnya, dalam konteks politik kita itu masih anak kecil. Namanya anak kecil dapat kebebasan, ya sewenang-wenang sama temannya, maunya menang sendiri, latah dan tidak dewasa dalam konteks demokrasi,” ujarnya.
Zaman dulu subversi hukumannya bisa bertahun-tahun. Namun, saat ini sudah tidak ada, jauh lebih ringan. Namun, perilaku kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat bisa berbahaya, karena bisa memunculkan konflik horizontal.
“Ini yang tidak boleh terjadi. Ironisnya, kalau zaman dulu aparat keamanan menjadi garda terdepan negara menakut-nakuti atau menekan rakyat. Sekarang, aparat gamang untuk menegakkan hukum. Polisi tidak berani menindak kelompok-kelompok yang melakukan tindakan kekerasan, premanisme, preman berjubah dibiarkan oleh polisi,” dia menyesalkan.
Ia menilai, saat ini belum banyak perubahan di level aparat, utamanya di Kepolisian dan TNI. Di level tengah tak banyak berubah.
Di level atas mungkin sudah berubah, tak ada lagi Fraksi TNI di DPR, Presiden juga sudah berganti beberapa kali, menteri juga sudah lebih terbuka dari kelompok mana saja. “Tapi di level middle, tentara dan kepolisian serta birokasi tidak banyak perubahan,” ujarnya.
Savic mengatakan, ia masih menjalin komunikasi dengan sesama aktivis 1998. Namun, sebagian besar sudah bekerja di dunia profesional. Sebagian temannya sudah ada yang sibuk berbisnis atau menjadi politisi.
Meski demikian, secara visi masih sama. “Yang diperbincangkan masih soal politik dan negara. Tapi, secara individual tidak memungkinkan lagi ikut aktif dalam pergerakan. Karena sudah punya keluarga, sudah punya anak, mikir bagaimana menyekolahkan anak, belanja keluarga, dan lain sebagainya.”
Hari beranjak sore. Savic kembali ke meja kerjanya. Tak berselang lama, ia kembali masuk ruangan kaca, melanjutkan rapat yang tertunda.