SOROT 426

Otomotif, Tutup Pabrik hingga Kartel

Ford hengkang dari Indonesia pada Rabu 10 Februari 2016.
Sumber :
  • ANTARA/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id – Alunan musik rindik terdengar hangat menyapa para penumpang pesawat yang baru saja mendarat di Bandara Ngurah Rai, Bali. Nampak raut-raut bahagia terpancar dari mereka saat menjejakkan kakinya di Pulau Dewata yang kala itu tengah menunjukkan semburat senja. Sejurus kemudian, mereka beringsut dengan tingkahnya masing-masing.

Namun di tengah keramaian, Senin 25 Januari 2016, seorang pria berambut klimis lantang berteriak ke arah salah satu rombongan. Wajahnya nampak serius. "Hei, Ford tutup," kata pria bernama Stanley. Teriakkannya kemudian langsung disambut sejumlah rekan-rekannya.

Stanley dan rombongan itu merupakan jurnalis otomotif nasional yang kebetulan tengah bertugas melakukan peliputan di Bali. Mereka tengah diajak serta oleh pabrikan otomotif sepeda motor kenamaan di dalam negeri untuk sebuah acara peluncuran produk baru.

Percakapan itu terus bergulir sepanjang perjalanan menuju restoran di Pantai Kuta. Bahasan produk apa gerangan yang bakal meluncur tak lagi jadi topik menarik, berganti menjadi isu Ford tutup.

Logo Ford.

Ford Indonesia tak sanggup bersaing dengan raksasa Toyota, Daihatsu, dan Honda.

Obrolan mereka ternyata tak hanya sekadar bual belaka. PT Ford Motor Indonesia (FMI) selaku agen tunggal pemegang merek di Tanah Air ternyata benar-benar merilis pernyataan resmi seputar pengunduran diri usahanya di Nusantara. Tak butuh waktu lama, petang itu sejumlah media online langsung ramai-ramai menjadikan kabar tersebut sebagai headline.

Masifnya pemberitaan menjadi pembahasan menarik tak hanya di kalangan jurnalis otomotif saja, melainkan juga masyarakat luas, khususnya para pemilik Ford. Mereka tentu merasa was-was dengan nasib purnajual kendaraan yang telah dibelinya mahal-mahal. Bisa-bisa mobil 'membusuk' di garasi lantaran langkanya pasokan suku cadang, serta harga yang anjlok ketika dijual.

Dalam keterangannya, Presiden Direktur Ford Asia Pasifik, Dave Schoch, mengatakan mereka akan menghentikan semua kegiatan operasional diler di Jepang dan Indonesia. Alasannya Ford tidak lagi menemukan cara tepat untuk bisa meraup keuntungan dalam jangka waktu panjang di Indonesia. Faktor lainnya, Ford berkaca diri tak sanggup bersaing dengan raksasa Toyota, Daihatsu, dan Honda yang menguasai penjualan di Indonesia, apalagi mereka telah memiliki pabrik.

"Di Indonesia, tanpa punya pabrik, sulit untuk bisa bersaing. Dan kami memang tidak punya pabrik di Indonesia."

Masalah tak hanya sekadar sampai di situ saja. Bola panas terus meluncur deras. PT FMI langsung dirongrong banyak pihak, mulai dari konsumen hingga puluhan dilernya. Gugatan yang berdatangan, meminta Ford tak begitu saja cuci tangan dan berlalu.

Konsumen meminta FMI menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pelayanan aftersales selanjutnya. Sementara diler menuntut ganti rugi, karena mereka merasa dirugikan dengan investasi besar yang telah dikeluarkan.

Beberapa bulan kemudian, FMI akhirnya menunjuk RMA Group untuk mengambil alih peran Ford melayani aftersales. RMA lalu coba merangkul diler yang sempat menyerangnya untuk fokus bahu-membahu membangun pelayanan aftersales sepeninggal FMI. Jurus itu tentu patut dilakukan agar konsumen yakin jika hak-hak mereka telindungi, sekaligus sebagai ajang pembuktian diler-diler Ford tetap bertanggung jawab.

“Pemilik Ford dapat melanjutkan pengalaman berkendara dengan Ford sekarang dan di masa yang akan datang,” kata Chief Executive Officer RMA Group, Kevin Whitcraft.

Harley dan Mazda

Harley Davidson

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat jadi alasan Mabua tak kuat bertahan.

Sepekan usai Ford mengumumkan langkah hengkang, Rabu 10 Februari 2016, kabar pahit lainnya datang dari Harley-Davidson. PT Mabua Harley-Davidson yang selama ini memegang keagenan motor gede asal Paman Sam itu ikut gulung tikar. Mabua dengan berat hati mengatakan tak lagi memiliki peran terhadap Harley. Jadilah kemudian kabar itu sebagai polemik baru bagi sejumlah pemilik Harley di Indonesia.

"Kami harus mengambil kesimpulan, kami tidak bisa meneruskan usaha ini, walaupun berat," kata Presiden Direktur PT Mabua Harley-Davidson, Djonnie Rahmat, dengan suara parau dan mata berkaca-kaca, saat itu.

Alasan Mabua tak kuat bertahan, karena selama beberapa tahun terakhir iklim usaha pada sektor otomotif, khususnya motor besar, mengalami berbagai kendala. Salah satunya adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang dimulai sejak pertengahan 2013.

Faktor lainnya, tingginya pajak impor di Indonesia yang nyaris 300 persen dan dianggap tertinggi di dunia. Itu belum termasuk Bea Balik Nama (BBN), membuat mereka makin babak belur. Praktis jika kemudian motor besar memiliki harga jual fantastis ketimbang di sejumlah negara lain. "Singapura cuma 17 persen, Amerika 7,5 persen, di Korea juga cuma 7,5 persen," ujar Djonnie.

Buka Tahun 2021, Mitsubishi Jual Lebih dari 6 Ribu Mobil di RI

Asa penggila Harley baru muncul Desember ini, di mana Harley-Davidson pusat membuka diler independen yang dipercayakan pada PT Nusantara Moto International. "Dibukanya diler baru ini menunjukkan jika HD terus melangsungkan bisnis di Tanah Air. Kami terus bekerja keras untuk menyegarkan jaringan diler kami. Dan dengan senang hati, kami umumkan bahwa kami sedang membangun jaringan baru diler independen di Indonesia," kata Managing Director Harley-Davidson Asia Emerging Markets, Peter Mackenzie.

Peter meyakinkan komitmen HD tidak berhenti sebatas penyediaan produk dan purnajual saja. Ke depan, mereka berniat untuk terus meluncurkan model terbaru di Indonesia.

Mobil Ini yang Jadi Penopang Jualan Honda di Indonesia

Berbulan kemudian, PT Mazda Motor Indonesia (MMI) selaku ATPM Mazda di Tanah Air juga mengumumkan langkah serupa, Oktober lalu, yakni gulung tikar. Tetapi MMI dalam hal ini lebih santun ketimbang Ford, karena telah mengalihkan bisnis distribusi kendaraan dan suku cadang ke PT Eurokars Motor Indonesia terlebih dahulu sebelum melakukan pengumuman hengkang.

Alhasil kekhawatiran serta kepanikan konsumen pun tak begitu kentara, karena kini tanggung jawab sudah diambil alih Eurokars Group. “Saya yakin, mereka akan lebih memperkuat merek Mazda di Indonesia,” kata Presiden Direktur MMI, Keizo Okue.

Vaksin Sudah Ada di RI, Bikin Daihatsu Lebih Pede Jual Mobil Baru

Tongkat estafet ke Eurokars dipercayakan MMI karena melihat track record yang baik pada perusahaan itu. Eurokars Indonesia saat ini tercatat juga menaungi beberapa merek mobil lainnya, seperti Maserari, Porsche, dan Rolls-Royce.

Hengkangnya sejumlah perusahaan otomotif di Tanah Air ternyata tak cukup mengerenyitkan dahi para pemangku kepentingan. Sebab mereka percaya merek yang berlalu akan kembali bertumbuh di Indonesia melalui bendera perusahaan lainnya.

"Tidak masalah agen ditutup, yang masalah kalau industri ditutup. Langkah mereka tak akan ganggu iklim industri otomotif nasional," kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan.

Ford, Harley, dan Mazda memang memiliki garis bisnis sama, di mana mereka tak punya basis produksi. Kondisi demikian tentu sangat rentan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dengan dolar Amerika Serikat (AS). Bila nilai tukar rupiah terus melemah, tentu akan mengancam produksinya. "Ditambah Indonesia mengetatkan impor untuk barang konsumsi, sehingga keagenan berdagang produk konsumsi akan melihat Indonesia tak lagi cocok buat mereka," lanjut Putu.

Apa yang dikatakan Putu diamini Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Yan Sibarang Tandiele. Meski Ford baru saja pergi, kini sudah ada merek baru yang siap merangsek masuk bursa otomotif nasional, Wuling.

Tak tanggung-tanggung, produk yang dibangun dari perusahaan otomotif patungan, PT SAIC General Motor Wuling (SGMW) itu, menyiapkan investasi sebesar US$700 juta atau setara Rp9,7 triliun untuk membuka bisnis di Indonesia. Pembangunan pabrik mereka hingga kini terus dikebut. "Tahun depan mungkin pembangunan selesai dan mulai beroperasi," kata Yan.

Kemunduran sejumlah APM di Indonesia sebenarnya juga dianggap sebagai sesuatu yang lumrah bagi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia. Terbilang normal karena principal dianggap pasti memikirkan sasaran tembak fokus bisnis berikutnya yang lebih menguntungkan bila di satu wilayah tak prospek.

"Kami lihat itu hal yang normal, namanya film persaingan usaha," kata Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohanes Nangoi.

Apa yang diprediksikan bahkan sudah terbukti dengan langsung dipilihnya pihak-pihak baru untuk menangani penjualan dan aftersales Ford, Harley dan Mazda. "Contohnya seperti Ford, dia tetap beroperasi melalui tangan orang lain, Mazda beroperasi dengan tangan orang lain. Tapi kalau industri dalam arti kata pabrik untuk sementara ini tidak ada yang tutup, jadi tetap pengurangan tenaga kerja tidak ada."

Menatap 2017, Gaikindo memproyeksikan bila peluang pasar penjualan kendaraan tahun depan masih tetap bertumbuh meski tak terlalu banyak. Pertumbuhan penjualan yang tidak terlalu banyak ini disebabkan beberapa faktor. Kata Nangoi, seperti kondisi perekonomian global yang kurang membaik serta banyaknya tantangan industri yang harus dihadapi.

Sementara Yan Sibarang menyebut angka. Penjualan mobil pada 2017 mendatang diprediksi akan terjual sebanyak 1,2 juta unit. Naik 200 ribu unit dari penjualan tahun ini yang hanya mencapai satu juta unit. "Kita tetap harapkan pertumbuhan 2016 itu paling tidak secara total bisa mencapai target di atas satu juta mobil terjual. Kalau 2015 itu satu juta juga. Target 2017 ada, ya sekira 1,2 juta mobil."

Tersandung Kartel

Tahun 2016 juga menjadi catatan penting bagi dua pabrikan sepeda motor raksasa di Indonesia, yakni PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM). Keduanya dituding sekongkol mengatur harga skuter matik 110-125cc agar menjadi mahal di tengah kekuasaan mereka. Peluru panas, ditembakkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menempuh langkah hukum berbekal hasil swa-investigasi mereka.

Persidangan hingga kini terus bergulir. Meski Yamaha-Honda acap berkelit, selalu ada jurus baru yang dikeluarkan KPPU untuk benar-benar membuktikan keduanya bersalah, dan merugikan masyarakat.

Anggota Tim Investigator KPPU, Helmi Nurjamil mengungkapkan, pihaknya menargetkan kasus ini bisa diputuskan hasilnya pada awal 2017 mendatang. Target tentu baru bisa diketok bila bukti-bukti yang telah dikumpulkan berdasarkan kesaksian para ahli sudah cukup kuat untuk menjerat dua pabrikan itu. Bila tak ada aral melintang, diharapkan perkara bisa diputus akhir Januari atau awal Februari 2017.

Berbagai tepisan bukti yang dibeberkan menjadikan KPPU tak patah arang. Mereka terus menyiapkan bukti lainnya pada persidangan lanjutan Desember ini. "Nanti akan ada satu saksi menarik yang akan dihadirkan tim investigator. Akan kita buka dan akan kita buktikan betul enggak struktur harga yang ada di pasar itu memang harusnya seperti itu, atau bisa jadi lebih murah," kata Helmi.

Sementara Ketua KPPU Muhammad Syarkawi Rauf, mengungkapkan, pihaknya berharap proses persidangan kasus dugaan kartel dapat segera tuntas. Hal itu sebagaimana peraturan yang berlaku bahwa pemeriksaan sebuah kasus oleh KPPU dibatasi waktu 150 hari kerja. "Jadi kalau melebihi (waktu yang ditentukan), itu gugur dengan sendirinya. Maksudnya perkara dianggap selesai, ada putusan atau tidak. Tapi kalau ini sudah pasti ada (putusan), majelisnya kan bersidang terus," katanya.

Di sisi lain, Yamaha-Honda kompak membantah apa yang ditudingkan KPPU. PT YIMM melalui Asisten General Manager Marketing Mohammad Masykur, berkeras jika pabrikan berlogo Garpu Tala bersih dan tak seperti yang dituduhkan terlibat kartel. Yamaha telah melakukan bisnisnya secara adil dan mematuhi peraturan yang berlaku.

"Kami bersaing sangat ketat, setiap tahun selalu mengeluarkan biaya promosi yang sangat besar. Kami juga banyak mengeluarkan inovasi teknologi baru maupun produk-produk terbaru untuk memenangkan persaingan," kata Masykur.

PT AHM melalui Direktur Pemasaran Margono Tanuwijaya, juga berkeras menyatakan Honda tak sama sekali terlibat dalam penentuan harga. AHM juga disebut tak pernah berkoordinasi dengan pihak merek lain, dalam hal ini Yamaha. "E-mail itu kan e-mail internal Yamaha antara orang Yamaha, tidak pernah ada. Itu bukan e-mail berkoordinasi dengan Honda. Jadi e-mail yang ditunjukkan itu adalah e-mail internalnya Yamaha. Intinya itu."

Tuduhan KPPU dirasa telah membuat buruk nama baik dua pabrikan motor. Apalagi saksi-saksi yang dihadirkan juga dinilai memperkuat pandangan bila tak ada kartel seperti yang dituduhkan. Kata Masykur, tak ada profit berlebihan yang mereka dapat seperti tudingan kartel.

Tudingan ini sudah tentu mengganggu dan merugikan dua merek, karena telah merusak citra baik yang telah mereka bangun susah payah. "Bagi industri, menimbulkan dampak negatif dan merugikan. Nama baik Yamaha yang sudah dibangun lebih dari 40 tahun tercemar oleh tuduhan ini. Bagi konsumen yang tidak mengerti, menimbulkan keraguan, sedangkan dari sisi industri, ini mengganggu usaha ekspor yang sedang digalakkan pemerintah. Sedangkan pihak tenaga kerja menjadi resah dan investor asing menjadi ragu serta kepercayaan atas iklim usaha di Indonesia menurun."

Honda juga demikian. AHM merasa dirugikan dengan polemik yang dibangun KPPU. Meski secara penjualan belum terdampak, namun citra positif selama ini yang dipegangnya bisa goyah diganggu isu tak sedap.

Sementara Helmi Nurjamil, meyakinkan bukti baru yang akan dibawanya di persidangan mendatang bakal menjadi peluru telak bagi Yamaha-Honda. Namun dia enggan membeberkan bukti baru yang disiapkan tim investigator. Alasannya, jika dibeberkan maka kedua produsen akan menyiapkan 'senjata' untuk membantah tudingan tersebut.

"Itu (bukti baru) pasti ada. (Bukti baru) Ada di saksi baru berkaitan dengan harga skutik, pajak dan BBM (bahan bakar minyak) yang di mana hal itu merupakan komponen struktur harga mereka," ujarnya menambahkan.

Dia mengungkapkan, saksi berkompeten itu akan menghitung dasar harga yang ditetapkan pabrikan sepeda motor di Indonesia. Sebab berdasarkan penelusurannya, ada selisih harga yang cukup besar antara Yamaha dan Honda dengan pelaku usaha atau kompetitor motor lainnya

Dari pihak Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia (AISI), polemik ini memang dikatakan bakal menjadi efek buruk bagi industri motor di Tanah Air. Karena citra Indonesia di mata luar negeri akan tercoreng, di tengah pemerintah yang terus berupaya menggenjot ekspor.

"Dan itu menjadi problem, kita harus tahu, semua institusi yang menangani bidang usaha, entah itu dari pembinanya, departemen perindustrian ataupun perdagangan, kemudian juga institusi yang menangani persaingan usaha, perlu tahu bahwa  masalah lain yang berpengaruh terhadap pemeriksaan ini adalah citra kita di luar negeri," kata Ketua AISI Gunadi Shinduwinata.

AISI tak habis pikir dengan tudingan sekongkol anggotanya, Yamaha-Honda. Sebab, baik di Indonesia hingga di negara asalnya, kedua merek itu terkenal sebagai musuh bebuyutan, dan sejak lama bersaing sengit. "Jadi saya pikir itu agak kejauhan untuk menuduh anggota kami melakukan suatu perjanjian kesepakatan untuk pengaturan pasar dan harga ataupun lainnya."

Sementara Syarkawi Rauf mengatakan, Yamaha-Honda terpantau menjalin komunikasi seputar persekongkolan pada 2013 dan 2014 lalu. KPPU mengendus dugaan persekongkolan ini pada 2015 lalu. KPPU juga menemukan adanya pergerakan harga motor skutik Yamaha dan Honda yang saling beriringan. Kenaikan harga motor skutik Yamaha selalu mengikuti kenaikan harga motor skutik Honda. Bahkan dalam setahun, harga bisa naik hingga tiga kali.

“Sebenarnya, biaya produksi mereka itu cuma Rp7-8 jutaan, tapi kini dijual mahal (di atas Rp15 juta per unit). Mereka jual hingga dua kali lipat,” kata dia. Idealnya, kata Syarkawi, mereka jual motor-motor skutiknya dengan harga Rp10 jutaan dengan asumsi margin yang diambil sekira 20 persen. "Sebenarnya angka itu cukuplah bagi mereka untuk mendapatkan keuntungan,” kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya