Ketua DPR Bambang Soesatyo

Bagaimana DPR Bisa Awasi Bila Tak Bergigi

Ketua DPR Bambang Soesatyo
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 punya catatan yang beda. Dalam waktu kurang dari 3,5 tahun, pucuk pimpinan tertinggi lembaga legilatif ini dipegang tiga figur berbeda.

Bamsoet Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Parpol di Luar KIM Demi Indonesia Emas

Bambang Soesatyo atau Bamsoet menjadi figur ketiga yang mendapat amanat memimpin DPR. Politikus Golkar itu dilantik menjadi Ketua DPR, 15 Januari 2018 menggantikan koleganya, Setya Novanto yang terjerat kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP.

Menggantikan Novanto, sorot mata publik tertuju kepada Bamsoet. Hujatan, kritikan terlanjur menumpuk di DPR era Novanto. Mulai produktifitas kinerja sampai anggota dewan tersandung kasus hukum jadi cibiran. Pekerjaan rumah besar bagi Bamsoet untuk mengubah citra DPR secara perlahan.

Ketua MPR: Putusan MK Menjadi Akhir dari Berbagai Upaya Hukum Konstitusional

Belum genap sebulan Bamsoet menjabat, DPR kembali jadi perhatian. Kali ini, pengesahan revisi Undang-Undang Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) lewat sidang paripurna 12 Februari 2018.

Setidaknya ada tiga pasal yang dinilai kontroversial dalam UU tersebut yakni Pasal 73, 122 (k), dan 245. Keberadaan tiga pasal ini dianggap membuat DPR menjadi digdaya. Salah satunya seperti Pasal 122 yang mengatur langkah hukum bagi pihak yang merendahkan kehormatan DPR.

Sahroni Ungkap Perbincangan Surya Paloh dengan Jokowi saat Hadiri Pernikahan Anak Bamsoet

Merespons keberasaan pasal 122 dan dua pasal lain, Bamsoet kembali memberikan penjelasan. Kepada VIVA, ia menegaskan, tiga pasal itu sudah berdasarkan pembahasan dan kesepakatan dengan pemerintah.

Bambang Soesatyo

Foto: Ketua DPR Bambang Soesatyo. VIVA.co.id/M. Ali Wafa

Bamsoet menekankan, harus obyektif dalam melihat keberadaan UU tersebut. Untuk pasal 122, menurutnya harus dibedakan antara mengkritik dan menghina.

Selain pasal-pasal UU MD3, politikus 55 tahun itu juga bicara harapan serta target DPR di sisa waktu 1,5 tahun. Ia juga menyinggung komitmen pemerintah dalam pembahasan undang-undang yang masuk program legislasi nasional. Berikut petikan lengkap wawancaranya saat ditemui VIVA, Senin, pekan lalu.

Sudah dua bulan jadi ketua DPR, apa yang sudah Anda lakukan?

Memang waktu saya untuk melakukan perbaikan DPR tidak banyak. Tinggal 1,5 tahun dan sekarang sudah melewati 1,5 bulan ya. Makanya saya bergerak cepat, bagaimana langkah yang saya lakukan adalah Undang-Undang MD3 dan laporan hak angket KPK. Itu sudah selesai dan saya sudah laporkan kemarin di paripurna walaupun kemudian UU MD3 ada penolakan, kita kembalikan pada mekanisme yang ada sesuai undang-undang. Bagi yang tidak puas silakan melakukan gugatan di MK untuk diperbaiki. Karena kita tak bisa juga menunggu sampai sempurna betul, nanti dibilang lagi DPR malas. Tidak berhasil membuat undang-undang, ya sudah diselesaikan dengan mekanisme yang ada, dinamika yang ada ini. Yang penting sesuai aturan dan bersama-sama pemerintah setuju, dilaporkan paripurna.

Apa yang menjadi tantangan Anda?

Saya melihat kita berjiwa terbuka dengan publik, soal laporan harta kekayaan pejabat negara. Membantu para anggota memperbaiki atau membuat pelaporan harta kekayaan sebagai pejabat negara, sudah dilakukan dan diresmikan oleh saya dan ketua KPK. Saya juga melaunching aplikasi DPR Now, DPR dalam genggaman rakyat. Kenapa, kita ingin terbuka. Selama ini mungkin publik mendapat kesan atau menilai DPR tertutup, angker, enggak tahulah apa isinya di dalamnya. Nah, ini terbuka. Dengan aplikasi DPR Now terbuka. Begitu kita masuk ke Appstore, install DPR Now maka seluruh kegiatan DPR ada di tangan. Makanya saya beri nama DPR dalam genggaman rakyat. Jadi kapan saja mau lihat kegiatan Komisi I langsung keakses ada realtime. Misalnya Komisi I lagi rapat dengar pendapat dengan Panglima TNI. Bisa langsung dilihat. Mau dengarin suara tinggal besarin kedengaran suara perdebatannya atau penyampaian laporan panglima pada Komisi I. Bosan pindah Komisi II, dengan Menteri BPN. Bosan lagi geser ke tiga, dengan Kapolri. Jadi, semua kegiatan bisa dilihat. Lalu jam setelah rapat, live streamingnya bisa dilihat, hasilnya apa, kesimpulan apa antara komisi-komisi dengan mitra kerja. Lalu, bagaimana dengan undang-undang. Undang-undang dari mulai yang sudah diundang-undangkan, progres, DIM, sudah bisa dilihat perdebatannya. Hasil-hasilnya. Lalu bagaimana dengan pengaduan masyarakat. Kemarin saya resmikan pusat pengaduan masyarakat (PPM). Itu  masyarakat ngadu kalau memang punya waktu, lapor ke sini nanti diterima laporannya, diberikan nomor password untuk mengenai perkembanggannya tinggal lihat di HP. Di kolom laporan hasil pengaduan. Misalnya oh baru dipelajari komisi terkait, minggu depannya dilihat, sudah diserahkan ke mitra atau ke Mabes Polri misalnya. Minggu depan dilihat oh hasilnya ini, datanya sumir, kemudian difollow up. Atau kalau malas dari sini bisa bikin pelaporan melalui aplikasi DPR now. Jadi, itu yang sudah saya lakukan 1,5 bulan ini yang membuat DPR terbuka untuk masyarakat. Saya ingin menciptakan tak ada gap masyarakat dengan DPR. Bahkan, kita Maret selain kita membuat jalan sehat bersama rakyat. Sehingga para tokoh-tokoh DPR bisa jalan-jalan dengan rakyat. Jalan sehat dari sini ke Monas atau dari Monas ke sini langsung berbaur. Di situlah interaksi rakyat dengan anggota DPR. Rakyat bisa masuk ke sini, foto-foto bebas, itu pada hari libur ya. Car Free Day bebas foto-foto. Supaya DPR tak jadi tempat yang seram.

Beban Ganti Novanto

Ada beban tidak menggantikan Setya Novanto?

Ya, beban elektoral karena di setiap pundak kami sebagai pekerja atau aktivis partai pasti ada beban elektoral. Kalau kami bekerja baik maka partai kami akan baik. Tapi, kalau kinerja kami buruk, maka partai kami akan terjun bebas. Nah, itu beban yang saya hadapi bahwa ada beban elektoral di pundak saya untuk memperbaiki citra partai di DPR.

Mengubah citra DPR, berat perjuangannya?

Ya, Alhamdulillah saya bisa membawa image yang baik ke partai bahwa ketua umum ada musibah ya kita tentu prihatin, tapi tetap kami masih sangat menghargai. Karena bagi kami mantan-mantan ketua umum adalah salah satu mahkota partai yang tak boleh tidak kita hormati, harus kita hormati. Itu prinsip Golkar. Siapapun mantan ketua umum kami itu adalah mahkota partai Golkar. Maka kita akan marah kalau ada yang menghina beliau-beliau itu karena kami sangat menghargai apapun yang dilakukan. Paling tidak kita menghargainya, dia pasti telah berbuat yang terbaik bagi partai ini.

DPR setiap Selasa, Anda kumpulkan pimpinan fraksi?

Setiap Selasa siang. Nih, kaya ginilah. Kalau pagi banyak tamu saya cari makan ajalah. Jadi, saya melihat semua persoalan bisa diselesaikan dengan pertemuan informal atau dialog non formal. Itu justru menurut saya lebih efektif ketimbang pertemuan formal. Dalam pertemuan formal kan pasti ada catatan, ada notulen, lembaran berita negara, lalu ada staf yang mencatat, staf yang memantau. Dalam pertemuan informal yang saya lakukan tiap hari Selasa siang dengan pimpinan fraksi tiap minggu, sebulan sekali dengan pimpinan komisi di sini bebas, saya sudah kosongkan tiap Selasa dari pagi sampai malam. Tak ada kegiatan yang formal. Hanya menerima kawan-kawan aja. Ketua fraksi, pimpinan fraksi, pimpinan komisi untuk menyampaikan apa yang ada berkembang di masyarakat. Dan itu efektif. Beberapa kali juga menteri datang ke sini dalam pertemuan informal, saya pertemukan dengan pimpinan komisi selesai.

Bambang Soesatyo

Seperti rapat dengan Menkominfo Rudiantara soal RUU Penyiaran?

Rudiantara yang sudah lama mandek Undang-Undang Penyiaran, ada kesepakatan yang formalnya bisa kita selesaikan setelah masa sidang ini. Banyak pertemuan informal bisa menyelesaikan masalah. Karena tak ada beban. Kan dialog. Yang penting dalam satu keputusan kan persamaan. Saya selalu memulai dari persamaan. Saya enggak pernah memulai dari perbedaan. Tinggal perbedaan nanti kita selesaikan belakangan.

Target DPR sampai 2019 di bawah kepemimpinan Anda?

Memang yang menjadi sorotan publik saat ini adalah legislasi. Karena ukurannya memang paling mudah. Parameter yang paling mudah diukur adalah legislasi. Kalau sebelumnya tiga undang-undang atau enam undang-undang, saya targetkan dalam sisa waktu 1,5 tahun ini kita bisa selesaikan paling tidak 12 undang-undang. Dengan asumsi tiap satu komisi, selesai satu. Enggak usah muluk-muluk, saya minta Komisi I, satu saja, Komisi II, satu aja. Baleg satu. Kalau tiap komisi satu ditambah Baleg, ditambah Panja 15, enggak usah 15 lah, 12 saja bisa tercapai sudah bagus. Saya sudah melakukan review mana-mana yang kita dahulukan. Mana-mana yang bisa kita carry over pada periode berikutnya. Jadi, saya sudah ketemu dengan para pimpinan komisi mereka sanggup satu. Ada yang yakin bisa 2 ya bagus. Tapi, saya hitungnya satu. Selama masa jabatan saya 12 ya bagus. Sudah meningkat dua kali lipat dari dua tahun sebelumnya.

Kendala yang perlu dibenahi?

Karena pembahasan undang-undang tak hanya tergantung pada DPR juga tergantung pada pemerintah, seringkali dalam pembahasannya pemerintah yang absen. Itulah makanya semangat dalam UU MD3 menghadirkan paksa itu di situ. Kalau enggak, DPR lagi disalahin. Jadi pemerintah itu selalu berkelit dengan sibuklah. Sehingga tak hadir, kita selalu memaafkan. Nah, ini enggak bisa lagi. Harus dihadirkan dan saya yakin itu enggak akan juga dipakai undang-undang itu. Belum ada kejadian. Undang-undang itu sudah bunyi sejak revisi kedua yang lalu sebelum sekaranh, panggilan paksa ada tapi enggak pernah dipaksa. Karena semua menyadari kalau tiga kali dipanggil enggak datang pasti dipanggil paksa. Yang ketiga pasti datang. KPK saja di Komisi III pasti yang ketiga datang. Kemarin di Pansus enggak datang karena dia menggugat tapi di Komisi III dia pasti datang. Karena ada undang-undangnya. Bayangin seperti disampaikan Fahri dan kawan-kawan pimpinan DPR. DPR ini enggak punya alat paksa. Yang punya alat paksa adalah eksekutif. Kita pergunakan kekuasaan eksekutif menghadirkan siapapun yang kita panggil karena rakyat atau negara butuh keterangan dari yang bersangkutan. Bayangin kalau misalnya rakyat melapor ke DPR ada jembatan roboh, katakan gitu. Kita panggil PU, PU nya enggak bisa ngomong, enggak bisa apa-apa. Makanya kita minta bantuan Polri. Sesuai ketentuan, satu kali dipanggil, dua kali, tiga kali, ya kita paksa. Biasanya enggak pernah ada kejadian yang ketiganya pasti datang.

Lalu, ada dalam Undang-Undang MD3 DPR arogan, semua rekomendasi harus dilaksanakan oleh pemerintah karena kalau enggak akan ada sanksi. Wah, ini DPR arogan. Ya, kalau tak ada aturan gitu semua keputusan yang sudah diambil DPR enggak akan dilaksanakan eksekutif maupun lembaga yang jadi mitra DPR seperti KPK, MA, MK. Kan tiap rapat ada kesimpulan. Semua harus dilaksanakan baik oleh DPR atau mitra atau pemerintah. Kita ada tiga eksekutif, legislatif, yudikatif.

Kita pengawas lembaga di luar kita, pengawas legislatif, masalah undang-undang dan gunakan anggaran negara. Eksekutif masalah dan gunakan anggaran negara. Tugas kita pengawasan. Bagaimana mengawasi kalau kita enggak punya gigi. Enggak punya kekuatan yang memaksa untuk mereka patuh. Jadi yang sekarang terjadi begitu. Kapolri harus begini, Menteri PUPR harus begini, tapi besoknya enggak ada. Itulah gunanya semangat UU MD3

Sekarang dituduh DPR arogan, membentengi diri, makin sakti, ya susah. Kita membela rakyat, kalau kita enggak punya senjatanya macan ompong dong. Jadi semua kita berpihak pada kepentingan rakyat, kita bergerak bertindak atas nama rakyat. Coba bantu saya deh undang menteri, enggak datang, coba kasih pemikiran saran saya DPR harus ngapain?

Memang kita bisa kirim pamdal ke sana, enggak mungkin kan, kita mesti pakai kekuatan resmi negara yaitu kepolisian. Terus kalau kesepakatan bersama untuk kepentingan rakyat dia enggak jalankan bisa apa kita, enggak bisa apa-apa. Emang bisa kita kurangi anggarannya, enggak ada ketentuan yang mengatur.

Sanksi misalnya kita bisa merekomendasikan menteri atau kepala negara diberikan teguran, diberhentikan, atau dikurangi anggarannya, langsung pada presiden kita minta. Surat rekomendasi kita sampaikan atau ada sanksi-sanksi. Yang penting kita diberikan ruang untuk punishment pada siapapun.

Kalau reward biasanya dalam DPR itu disampaikan melalui RDP, kita berikan pujian usulkan kenaikan anggaran, kalau dia enggak lakukan, caci maki aja besok keluar sidang emang gue pikirin. Selalu begitu. Itulah posisi kita sulit. Kalau kita enggak lakukan rakyat tahunya DPR apa kerjanya.

Dia enggak tahu kita manggil pemerintah nyusun undang-undang susah. Kadang di antara mereka masih saling bertentangan, kaya sekarang UU terorisme belum visa kita wujudin karema antara polisi dan tentara saling belum sepaham. Pengamat bilang apa susahnya bikin UU Teroris. Gampang kalau ketok palu aja. Cuma kalau bersama-sama pemerintah, pemerintah enggak setuju bagaimana? Enggak bisa. Jadi, seringkali kita menyaksikan itu perdebatan antar pemerintah sendiri kita nonton. Pokoknya pemerintah selesai dulu deh kita kasih waktu sebulan, baru ke kita lagi, kadang begitu.

Kritik dan Hina DPR

Ketua DPR Bambang Soesatyo

Soal UU MD3, pemerintah seperti tak satu suara?

Pemerintah memberikan tanggapan positif dan oke di paripurna. Yasonna hadir di paripurna mewakili presiden dan menyampaikan bahwa Undang-Undang MD3 sesuai hasil pembicaraan antara pemerintah dan DPR. Maka, diketuklah palu. Usai ketuk palu kan Pak Yasonna tampil di podium menyampaikan pandangan pemerintah. Pandangannya sama dengan DPR. Proses lanjutan dikembalikan pada pemerintah untuk diundangkan. Bahwa nanti presiden tandatangan atau tidak tandatangan sudah ada mekanisme yang mengatur itu, dalam pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif. 30 hari tidak ditandatangan maka otomatis undang-undang itu berjalan. Kenapa, karena prinsipnya sudah sama-sama kita sepakati di DPR, sudah sama-sama kita setujui. Bagaimana kalau undang-undang itu ternyata diduga banyak penyimpangan, diduga ada tabrakan dengan UUD 1945, ada mekanismenya yaitu di MK.

Alasan Pasal 122 dalam UU MD3?

Kamu kalau dikritik marah enggak? Enggak marahlah. Tapi kalau dihina marah enggak? Marah pasti. Kalau dibilang kamu goblok, enggak bener, enggak marahlah. Tapi, kalau dibilang ibu kamu pelacur. Marah. DPR korup, DPR politikus enggak apa-apa. Tapi, kalau diserang DPR anak pelacur pasti marah karena nyerang individu. Kalau dia nyerang lembaga, kritik enggak apa-apa. Memang kita butuh kritik. Harus dibedakan antara kritik, penghinaan, sama ujaran kebencian. Tanpa kita jadi anggota DPR kita berhak melaporkan seseorang yang menginjak-injak harga diri kita. Apalagi anggota DPR. Kenapa MKD diberikan kewenangan? Anggota DPR ini khawatir kalau kita melaporkan seseorang ke kepolisian, kita jadi bulan-bulanan. Atau kadang kita enggak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Nah, di MKD dimediasikan dilihat karena tak semua anggota DPR paham hukum. Nanti MKD yang bilang mas ah ini enggak memenuhi unsur. Cuma kritik enggak bisa you melaporkan. Kena delik, Ini kritik biasa. Atau ini bisa tapi dimediasiin dulu. Yang bagus dimediasiin, minta maaf selesai. Seringkali kok di sini. Akhirnya yang menghujat minta maaf. Karena bagusnya sebelum dilaporkan secara hukum, kalau ketemu minta maaf. Bagaimana dengan wartawan? Kita enggak bisa kok melaporkan wartawan ke polisi, karena ada ketentuan undang-undangnya. Kita ini profesi DPR, wartawan, dokter, enggak boleh dalam melaksanakan tugas-tugas kita kemudian dituntut hukum. Wartawan hanya bisa kita laporkan ke Dewan Pers. Dewan Pers lihat apakah Anda dalam menjalankan tugas sesuai kode etik. Kalau sesuai kode etik enggak bisa. Tapi kalau melanggar kode etik ya memang salah. Misalnya enggak cover both side. Lalu nyerang individu. Lalu menyiarkan tanpa data dan fakta.

Tapi, tugas MKD bukannya lebih soal etik aja?

Memang tugasnya mengatur hukuman bagi anggota yang melanggar etik. Misalnya kita punya kode etik tak boleh ke panti pijat, tak boleh ke diskotik, tak boleh ke tempat-tempat yang berkonotasi negatif. Kalau ada yang melaporkan pasti kena sidang dan kena hukuman, ringan, sedang, berat. Lalu ada laporan misalnya ada penganiayaan anggota DPR, lapornya ke MKD. Lapor ke polisi, polisi serahkan ke MKD. Karena menyangkut etik. Kecuali yang unsur pidana terpenuhi misalnya penipuan, kekerasan rumah tangga bisa masuk MKD dan delik umum, tapi visanya diserahkan ke MKD terus mediasi, di situlah hukumannya ringan, sedang, berat. Kalau ringan, sekali enggak apa-apa. Begitu ringan dua kali harus geser. Ringan tiga kali pecat.

MKD seperti pengacara?

Memang kode etik dewan kehormatan MKD melindungi kehormatan DPR.

Ini seperti MKD jadi kuasa hukum DPR?

Beda. Kalau pengacara itu biro hukum. Dia hanya mengatur soal menjaga kehormatan DPR baik yang dilakukan indovidu atau pihak lain. Kehormatan anggota DPR visa terganggu karena perbuatannya sendiri dilaporkan ke MKD. Atau perbuatan orang lain yang menghina, merendahkan. Tugas MKD  melaporkannya ke penegak hukim atau mediasiin, yang terbaik mediasiin. Segala bentuk serangan, hinaan yang merendahkan martabat anggota DPR

Kenapa enggak menyertakan Biro Hukum DPR saja?

Enggak ini, MKD bekerja untuk etik, kehormatan. Kalau yang menyangkut kehormatan dikaji ke MKD dulu, kalau hukum diberikan ke biro hukum. Ada tahapannya. Kalau semua di biro hukum dia justru enggak ngerti soal etiknya.

Bambang Soesatyo

Pengakuan Yasonna sebut Jokowi terkejut?

Kamu buka aja rekaman waktu Yasonna Laoly menyampaikan di paripurna. Itu aja jawaban saya

Apa ada miskomunikasi?

Kamu putar saja. Rekaman Yasonna di paripurna, tanggapan pemerintah dengerin aja. Apa jawabannya. Saya enggak perlu nyebutin nanti saya salah.

Apapun ceritanya kita enggak perlu lagi berdebat, tapi kalau orang lain mau manfaatkan jadi panggungnya silakan. DPR sudah membuat panggung buat kawan-kawan yang mencari panggung silakan. Tapi enggak perlu lagi ribut, orang sudah ada salurannya kok. Gugat ke MK selesai. Mau ribut kaya apa ngga akan berubah ini undang-undang. Kecuali ke MK. Intinya gitu aja

Seperti misalnya yang dilakukan PSI?

Iya itu saluran yang benar, yang intelektual. Percuma berdebat di jalan, karena cuma itu urusannya di MK.

Perbandingan kinerja legislasi pada era Novanto?

Saya akan menggenjot legislasi minimal 12. Dengan asumsi satu komisi satu undang-undang. Mereka sudah yakin. Kan sudah bertemu non formal. Kami dua mas UU Penyiaran sama UU. Sudahlah satu aja satu. Selesain bisa kan. Komisi II apa, Komisi III apa KUHP. Selain KUHP, Undang-Undang Jabatan Hakim. Saya lihat realistis. Sehingga daftar prolegnas yang 50 RUU setelah kita review dan kesanggupan komisi. Mereka sanggup, 12 ya sudah enggak apa-apa. Di periode mendatang saran saya enggak usah terlalu banyak lagi UU menjadi prolegnas. paling banyak 15 sehingga tercapai 10 jadi pencapaiannya lebih dari 50 persen. Kan bagus. Daripada banyak tapi pencapaian dikit. Tapi nanti carry over semua kalau 50, 12 tinggal 30 an lagi ke depannya. Revisi-revisi. UU barunya ngga ada.

Revisi KUHP cukup berat, bisa kelar?

Itu makanya targetnya kemarin. Saya targetin masa sidang kemarin, tapi saya lihat masih banyak debatable, saya berikan ruang panja KUHP untuk memperpanjang, disetujui paripurna, ya sudah jalan. Sampai masa sidang besok. Enggak selesai lagi, masa sidang berikutnya. Makanya Komisi III fokus di itu aja. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya