-
VIVA – Kabar mengejutkan datang dari dunia kedokteran Indonesia. Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto dipecat sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Bagi dokter-dokter di Indonesia, dipecat dari keanggotaan lembaga profesi seperti IDI merupakan hantaman yang menyakitkan karena reputasi mereka dianggap tercela. Namun, keputusan IDI ini menghantam seorang dokter sekaliber Terawan, yang sudah mendapat sejumlah penghargaan dan metode pengobatannya sudah membantu banyak orang, sehingga tak heran bila pemecatannya dari IDI ini menghebohkan masyarakat.
Kabar pemecatan tersebut beredar di media sosial yang menunjukkan surat pemecatan dari Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Dalam surat tersebut, dr Terawan, yang kini menjadi Kepala RSPAD Gatot Soebroto diberhentikan sementara per tanggal 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.
Menurut edaran tersebut dr Terawan terbukti melakukan pelanggaran etik kedokteran yang berat, sehingga MKEK PB IDI harus memecat sementara (selama setahun) dr Terawan sebagai anggota IDI.
Sanksi keras itu diteken langsung oleh Ketua MKEK Prof Prijo Sidipratomo tanggal 12 Februari 2018. Dalam surat keputusannya, IDI mengumumkan bahwa Dr Terawan terbukti, dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik.
Beberapa Pelanggaran
Surat dari IDI itu menyebutkan bahwa dr Terawan melanggar kode etik. Di antaranya, dr Terawan disebutkan tidak kooperatif, dan melakukan niat penolakan untuk hadir di persidangan MKEK sebagai lembaga penegak etika kedokteran. Hal itu dinilai menghalangi sidang dan bentuk pelanggaran berat.
Kemudian, dr Terawan juga dikatakan terbukti tidak berperilaku layaknya seorang dokter yang paham sumpah dokter dan KODEKI serta tatanan organisasi (AD/ART IDI). Sehingga perilakunya menimbulkan masalah dalam etika kedokteran.
Bagi MKEK, bobot pelanggaran yang dilakukan dr Terawan adalah pelanggaran berat sehingga ia dijatuhkan sanksi pemecatan yang diikuti pernyataan soal tertulis pencabutan rekomendasi izin praktiknya.
Beredarnya surat keputusan ini tentu sangat mengejutkan, menimbang bahwa prestasi dr Terawan dalam dunia medis cukup mumpuni. Apalagi terobosan terbarunya 'cuci otak' dikatakan bisa menyelamatkan para penderita stroke.
Karenanya banyak yang menduga bahwa keputusan MKEK PB IDI ini sangat sembrono dan bahkan terlalu 'kolot'.
Menanggapi hal tersebut pihak MKEK PB IDI memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan. Terkait hal ini Dr. Pukovisa Prawiroharjo, SpS Sekretaris MKEK PB IDI mengungkapkan bahwa surat keputusan yang beredar tersebut seharusnya bukan konsumsi publik, ia sangat menyayangkan hal tersebut.
"Pertama sebenarnya ini keputusan sifatnya bukan konsumsi publik. Kami turut menyesalkan hal ini jadi diskusi publik," ujarnya saat ditanyai VIVA lewat sambungan telepon Selasa 3 April 2018.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa keputusan MKEK sama sekali tidak berkaitan dengan profesi dan teknik pelaksaanan pengobatan dr Terawan melainkan terkait kode etik.
"Dapat digarisbawahi bahwa MKEK dalam membuat keputusan murni dari sisi etika perilaku profesi kedokteran, dengan dasarnya ialah Kode Etik Kedokteran Indonesia. Selain itu yang terkait (dr Terawan) sudah pernah kami undang berkali-kali, namun beliau tidak hadir. Ada keterangan lain yang telah kami himpunnya dengan baik."
Lebih lanjut, pada kasus ini MKEK PB IDI tidak menjadikan sisi akademik maupun standar prosedur operasional suatu tindakan medis (aspek disiplin) sebagai pertimbangan pembuatan keputusan. Di lain sisi surat keputusan itu terkait kode etik.
Ketika ditanya detil pelanggaran apa yang dilakukan dr Terawan terkait dakwaannya, dr Pukovisa menolak untuk menjelaskan hal itu.
"Terkait detil pertimbangan kasus, kami terikat etika menjaga kerahasiaan jabatan kami. Jadi tak dapat kami jawab pertanyaan ini," ujarnya.
Mempertanyakan Bukti Ilmiah
Penjelasan datang dari salah satu pengurus besar IDI, dr Riza Omar Kastanya. Menurut dia keputusan MKEK PB IDI diberlakukan karena tidak adanya bukti ilmiah dari penemuan metode cuci otak tersebut.
"Sudah dilakukannya oleh orang ilmiah, tapi belum dibuktikan secara ilmiah dan belum disosialisasikan ke yang lain, benar dan enggaknya kan harus dapat ketetapan dulu. Jadi kalau ngobatin itu enggak coba-coba," ujar Riza dalam konferensi pers di Kantor IDI, jakarta pusat, Selasa 3 April 2018.
Dikatakan Riza, pelanggaran etik yang dilakukan dokter Terawan sudah harus ditempuh jalur hukum. Sebab, sudah menyalahi aturan etik yang berlaku di dunia kesehatan.
"Pelanggarannya kalau seorang dokter dia melangkah di luar ketetapan hukumnya, nah yang disebut hukum itu apa, sumpahnya. Hukum yang berlaku dibidang kesehatan hingga saat ini, UU 45, kalau ada yang menyangkut di situ, sudah nyangkut, kena kode etik. Etik itu adalah sikap tindak, tanduk, ucap sekalipun di luar ketetapan hukum yang berlaku. Kena dia," ucapnya tegas.
Terkait hal itu, tak sedikit masyarakat yang mulai mempertanyakan keluhan dari pasien cuci otak. Meski tak mau buka-bukaan, dokter Riza tak menampiknya.