Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama Wafat Jadi Trending di Twitter

Jakob Oetama
Sumber :
  • Obituari Kompas

VIVA – Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama meninggal dunia hari ini, Rabu 9 September 2020. Jakob meninggal saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta pada usia 88 tahun.

Yang Tersisa, Ternyata pada 1998 Pak Jakob Oetama Ber-KTP Islam

Kepergian Jakob Oetama pun menjadi perbincangan warganet hingga trending topic di Twitter. Tentu, masyarakat merasa kehilangan sosok Jakob Oetama yang telah banyak melahirkan karya-karya jurnalistik. Sosok Jakob Oetama dikenal sebagai pribadi yang baik.

Sugeng tindak, Pak Jakob Oetama, pendiri Kompas @hariankompas yang berkembang jadi Kompas Gramedia. Sumbanganmu untuk jurnalistik, kemanusiaan, dan Indonesia sangat berharga. Makasih atas kebaikan hatimu buat ribuan karyawan,” tulis akun Ilham Khoiri dikutip dari Twitter.

Selamat Jalan Pak Jakob Oetama, Menepis Isu Komando Pastor dan Agama Islam

Selain itu, akun Zulfikar Akbar juga menilai sosok Jakob Oetama sebagai teladan bagi media dan pekerja media untuk bisa menyesuaikan diri dengan segala cuaca. “Hari ini beliau pergi untuk selamanya, meninggalkan banyak pesan istimewa untuk kemanusiaan lewat perjalanan sepanjang hidupnya di dunia media,” tulisnya.

Baca juga: Ridwan Kamil Sarankan Tiru Bogor Berlakukan Jam Malam dan PSBM

Wamenag Kenang Jakob Oetama: Tokoh Pemikiran Keagamaan yang Inklusif

Diketahui, pria kelahiran Magelang, 27 September 1931, merupakan sosok yang berjasa besar dalam industri media Tanah Air. Tak hanya itu, ia pun membangun media lainnya.

Bahkan ia juga mengembangkan bisnis usahanya selain media, seperti perhotelan, pendidikan, dan toko buku Gramedia. Dengan meraih kesuksesan di bidang usahanya, ia pun layak disebut pengusaha sukses. Tapi, Jakob lebih senang disebut sebagai wartawan.

Menjadi wartawan adalah pilihan tepat bagi Jakob Oetama. Hampir 61 tahun ia bergelut di bidang media sejak umur 24 tahun. Siapa pun pasti sudah tak asing dengan sosok Jakob Oetama.

Pria kelahiran Desa Jowaban, 27 September 1931 ini merupakan pendiri Kompas Gramedia Group. Jakob Oetama bersama rekannya Petrus Kanisius Ojong pada tahun 1965 mendirikan Harian Kompas.

Sebelum Harian Kompas lahir, pada tahun 1963, dua sahabat ini sudah mendirikan majalah bulanan Intisari yang berisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Majalah ini terinspirasi dari majalah Reader’s Digest asal Amerika.

Pernah bercita-cita sebagai pastor

Pada awalnya, pria yang pernah menjadi guru di SMP Mardi Yuana, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, ini merasa bimbang, apakah ia ingin tetap menjadi guru atau alih profesi sebagai sebagai wartawan. Meski sebelumnya, menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil bersamaan dengan keinginannya sebagai pastor.

Namun, seiring bertambahnya usia Jakob pun mengeliminasi cita-citanya sebagai pastor dan tidak melanjutkan Sekolah Menengah Atas Seminari (sekolah khusus untuk menjadi pastor). Ditambah lagi sang ayah, Raymundus Josef Sandiya Brotosoesiswo kala itu berprofesi sebagai guru Sekolah Rakyat.

Di tengah kebimbangan antara jadi guru atau wartawan tersebut, Hingga akhirnya ia berbincang dengan Pastor JW Oudejans OFM, pengelola Majalah Penabur, Jakob pun membulatkan tekatnya bukan sebagai guru profesional melainkan wartawan profesional. Itulah pilihan Jakob seperti tertulis di buku Syukur Tiada Akhir (2011).

Pilihannya untuk terjun ke dunia tulis menulis bukanlah hal baru baginya. Sebelumnya, Jakob Oetama memang memiliki hobi menulis. Hobinya dalam menulis pun semakin matang setelah ia melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.

Sudah sejak tahun 1956, pria yang kerap disapa JO (Je-O) ini telah dipercaya sebagai Sekretaris Redaksi majalah Penabur hingga tiba saat ia berhasil mendirikan majalah Intisari dan Harian Kompas bersama sahabat karibnya. Tentu saja, keberhasilan tersebut bukan sebuah akhir, melainkan langkah baru bagi Jakob membawa perubahan segar bagi dunia jurnalistik Indonesia.

Jakob pernah menjabat sebagai Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia, Pembina Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia, dan Penasihat Konfederasi Wartawan ASEAN. Dia adalah penerima Doktor Honoris Causa di bidang komunikasi dari Universitas Gajah Mada dan penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah Indonesia pada tahun 1973.

Hingga tahun 2016, bertepatan usianya yang ke 85 tahun, Harian Kompas sudah berkembang menjadi salah satu industri raksasa di bidang media massa, toko buku, hotel, dan universitas yang semuanya tergabung dalam Kelompok Kompas Gramedia. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya