Trulek Jawa, Burung Kebanggaan yang Punah (1)

Burung Trulek
Sumber :
  • U-Report

VIVAnews - Setelah melewati pepohonan kesambi, bahan baku pelitur, tampaklah daun-daun berwarna kuning kecoklatan berserakan di atas tanah.  Di balik pepohonan itu, hanya ada satu rumah. Terlihat sepi tapi pintunya terbuka.  Rumah yang terpencil dan jauh dari tetangga ini berada di kawasan Wana Wisata Watuk Pecak, desa Selok Awar-Awar.

Dari kota Lumajang, desa ini berjarak 18 kilometer ke arah selatan dengan jarak tempuh  35 menit dari kecamatan Pasirian. Orang lebih familiar dengan obyek wisata pantainya bernama Watu Pecak di sebelah timur pantai Bambang.

Namun saat kami mengucapkan salam di depan rumah itu, tak lama muncul lelaki tua, kurus, bermata sipit. Kulitnya yang keriput dibungkus kaos putih kusam dan celana  pendek.  Rambutnya putih beruban tertutup peci hitam pudar.

”Kami mau ketemu Sapari. Ada, Pak?” tanyaku. Belum sempat kami masuk rumah, dari samping muncul lelaki muda yang kami cari. Tampangnya tak berubah, terutama caranya berpakaian. Celana jins digulung sampai lutut, kaos hitam membungkus kulitnya yang juga hitam.

Badannya masih kurus. Rambutnya gondrong,  terlihat kusut, seperti tak pernah disisir. Tak banyak yang berubah dari penampilan Sapari saat terakhir aku bertemu di Bogor pada 2007.

Raut muka Sapari terlihat kaget melihat kedatanganku dan Agus di depan rumahnya. Agus Satriyono, lulusan studi biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember,  Surabaya, sengaja mengantarku ke rumah Sapari. Pria lulusan ITS ini sedang bertugas di desa Nguter, kecamatan Pasirian.

Agus dan Sapari pernah satu tim saat melakukan penandaan burung pantai di Sungai Cemara, Jambi. Mereka ingin mengetahui jalur terbang dan distribusi, melihat populasi dan menilik kembali burung yang sudah diberikan tanda.

“Weh… Jes, ada apa ini?” Sambil tersenyum, wajah Sapari keheranan. Dia memanggil Agus dengan “Jes”, sapaan akrab ala Sapari.
 “Sapari, masih inget aku nggak, kamu kaget ya aku bisa sampai di Selok Awar?”  Wajah Sapari masih bingung melihatku bisa sampai di rumahnya, sambil nyengir-nyengir tak karuan dan salah tingkah.

“Wadoh! Ayo masuk, rumahnya jelek begini…. Ayo-ayo, Jes” Dia mempersilakan kami masuk dan duduk beralaskan tikar berwarna merah. Selain Agus, ada Ajie yang menemaniku. Hurbertus Buntoro Ajie nama lengkapnya, mahasiswa lulusan studi biologi ITS.

Agus membuka percakapan, menanyakan kabar Sapari selepas pulang dari Sungai Cemara bulan Juli 2009. Dia juga bertanya soal sakit yang diderita Sapari .Begitu sampai di Watuk Pecak, Sapari menjalani pengobatan nyeri dada. Setelah sehat, dia menerima tawaran juragan kambing untuk memelihara kambing etawa dengan keuntungan bagi hasil. Dia tak berniat kembali kerja di Surabaya. Dia bilang, tak pernah ada hasil yang bisa dipetik dari jerih payahnya saat di Surabaya.

“Wis Jes, ndak ada hasil. Sudah, begini aja, tani ada hasilnya.”
Dia terus bercerita tentang hasil ternak kambing etawa. Kami sempat diajak berkeliling ke halaman belakang rumah. Ada kandang berisi enam ekor kambing etawa. Berwarna hitam dan putih, berbadan montok dan tinggi, tampak terawat dengan baik.

Di belakang kandang,  ada sawah garapan Sapari yang dua kali gagal panen pada 2009. Hama tikus telah menghabiskan biji-biji padi yang siap dipanen.

Tentu, kadatanganku ke desa Selok Awar-Awar ini bukan hanya bertemu Sapari. Kami ingin mencari  jejak burung trulek Jawa. Jenis burung yang, lucunya, belum pernah aku lihat sekali pun di alam.

Lawan Bali United Pindah Venue dan Tanpa Penonton, Begini Kata Pelatih Persib Bandung

Lima tahun lalu burung ini sempat jadi primadona kalangan pengamat burung. Mereka  mencari kebenaran berita soal temuan burung ini di sekitar pesisir pantai Jawa Timur. Warga lokal di sini menyebut trulek Jawa dengan plirik atau truwok. (adi)

Suasana di ruas tol Jakarta-Tangerang  (Ilustrasi)

Cegah Kemacetan, Tol Jakarta-Tangerang Arah Jakarta Berlakukan Contraflow

Cegah Kemacetan, Tol Jakarta-Tangerang Arah Jakarta Berlakukan Contraflow

img_title
VIVA.co.id
11 Mei 2024