Gilang Bukanlah Korban Kanjuruhan
- vstory
VIVA - Presiden Arema FC sekaligus salah satu pemilik saham Gilang Widya Pramana menyatakan mengundurkan diri sebagai pengurus klub yang berjuluk Singo Edan ini pasca tragedi Kanjuruhan.
Dalam konferensi pers di Markas Arema ia berkata bahwa alasan pengunduran dirinya karena sedih, trauma, dan ingin istirahat dari dunia sepakbola. Meskipun terdengar mengharukan, namun apa yang dilakukan Gilang dalam dunia olahraga sebenarnya tidak tepat disebut sebagai pengunduran diri atau meletakkan jabatan sebagai step down sebagai ungkapan tanggungjawab. Tindakannya lebih tepat disebut sebagai get away, menarik diri dari keharusan bertanggungjawab.
Tentu saja dua hal ini memiliki penalaran yang berbeda. Pertama bila diibaratkan sebuah kapal maka Gilang adalah nakhoda, seseorang yang harus paling terakhir meninggalkan kapal bahkan bila kapal tadi sedang karam.
Sebagai presiden ia bertanggungjawab untuk mengatur rencana, menyusun organisasi kerja, melakukan implementasi aksi kerja, dan memimpin pengawasan evaluasi. Artinya apapun yang terjadi dalam pelaksanaan semua rencana kerja hingga evaluasi termasuk dengan tragedi yang terjadi pada pendukung Arema FC, Gilang adalah orang yang mesti menyelesaikannya sampai tuntas.
Kedua, dasar trauma atau rasa sedih tidak dapat digunakan sebagai dasar pengunduran diri dalam sebuah organisasi profesional. Pengunduran diri hanya dapat terjadi dengan alasan penilaian buruk oleh manajemen atau organisasi secara keseluruhan sehingga ia perlu diganti, atau ada hal-hal lain yang bersifat force-majeur yang bersifat halangan tetap seperti sakit atau meninggal dunia.
Berdasarkan pendapat ini, jelas pengunduran diri Gilang atau yang dikalangan selebriti Jakarta dikenal sebagai bos MS Glow atau Juragan 99, lebih sebagai tindakan get away of responsibility, melarikan diri dari tanggung jawab. Penggunaan kata sedih dan trauma sama sekali tidak memiliki dasar karena tentu saja para korban dan keluarga korban Kanjuruhan lebih pantas menggunakan alasan ini dari pada Gilang.
Ini tentu cukup merisaukan kita semua. Sepakbola dalam beberapa hal telah dituliskan pengamat dan intelektual bukan sekadar olahraga kesehatan, ia mewakili segala macam pandangan primordialitas (identity), sentimen budaya (culture), kebanggaan (pride), dan tentu saja pengikat sosial (community bond). Yang dampaknya bukan hanya kepada persoalan ekonom politik tetapi kepada ikatan sosial yang terjaga karena diwakili klub
Bagaimana nantinya dunia persepakbolaan nasional kita dan animo besar masyarakat akan diurus ke depan seandainya seorang presiden klub hanya bertanggungjawab pada hal-hal yang menyenangkan seperti mengais popularitas, menikmati pergaulan selebritas, atau meluaskan jaringan bisnisnya. Namun pada saat yang sama dengan mudah mengundurkan diri dari tanggung pada saat klub mengalami bencana, dengan cukup mengatakan ikut bersedih dan berduka cita. (Budi Setiawan, Founder Football Institute)