Urgensi Sensus Pertanian di Era Kebijakan Berbasis Data

Pengumpulan Data Sensus Pertanian (Foto: dok. BPS)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Perubahan iklim menjadi sebuah agenda global yang perlu mendapatkan perhatian dari setiap negara, termasuk Indonesia. Momen G20, yang diselenggarakan pada November 2022 lalu menjadi tanda mengalirnya dukungan internasional, untuk turut menyukseskan agenda perubahan iklim di Indonesia. Salah satunya terkait target pengurangan emisi.

5 Ancaman Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2024

Menurut Pembangunan Rendah Karbon Indonesia atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI), penurunan emisi juga memperhatikan sektor pembangunan, khususnya sektor pertanian. Dengan tujuan utamanya adalah produksi pangan dan menjaga ketahanan pangan. Komponen ketahanan pangan terdiri dari ketersediaan pangan, akses pangan, pemanfaatan pangan, dan stabilitas sistem produksi pangan. Komponen ini merupakan inti amanat Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Dalam dokumen kerangka kerja FAO tahun 2008, dijelaskan bahwa keempat komponen tersebut dipengaruhi oleh iklim. Namun, ketersediaan pangan paling erat kaitannya dengan iklim dan perubahannya. Dari tanaman menjadi produk hewani, produk laut, dan akuakultur serta produk kayu dan non-kayu dari hutan.

Memotret Sensus Pertanian 2023, Menjaga Ketanganan Pangan di Masa Depan

Untuk menunjang agenda tersebut, keberadaan data-data terbaru sangat diperlukan. Selanjutnya, data-data tersebut akan menjadi landasan yang penting dalam menentukan dan dan menyusun prioritas kebijakan di sektor pertanian, khususnya dalam merespons sejumlah isu yang berkembang. Secara lebih spesifik, dalam bentuk strategi, program, dan layanan manajemen bisnis yang secara langsung memengaruhi petani dan masyarakat pedesaan. Sejalan dengan agenda global tersebut, khususnya dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, Badan Pusat Statistik (BPS) telah dilaksanakan Sensus Pertanian sejak tahun 1963.

Sensus Pertanian bertujuan untuk menyediakan data struktur pertanian, terutama untuk unit-unit administrasi terkecil. Selain itu juga menyediakan data yang dapat digunakan sebagai tolok ukur statistik pertanian saat ini dan menyediakan kerangka sampel untuk survei pertanian lanjutan. Sensus ini dilaksanakan 10 tahun sekali, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik. Kegiatan atau sektor pertanian dalam sensus ini mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan pertanian.

Pentingnya Sensus Pertanian 2023

Sensus ini bertujuan menghasilkan lima jenis data. Pertama, Data Pokok Pertanian Nasional, yaitu data yang dapat menjawab isu strategis terkini. Kedua, data Petani Gurem, yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 ha. Ketiga, data Indikator Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs) di bidang Pertanian, untuk melihat sejauh mana data pertanian yang diperlukan dalam mendukung agenda global. Keempat, data Petani Skala Kecil (Small Scale Food Producer) sesuai standar FAO; dan kelima, data Geospasial.

Pada tahun ini Sensus Pertanian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Juli 2023 (ST2023). Sejumlah daerah diketahui telah menyampaikan progres sensus. Misalnya saja, BPS Kabupaten Bangka telah mencatat realisasi mencapai 70,12 persen hingga 12 Juli. Selain itu, BPS Berau diketahui telah mencapai target sebesar 65 persen hingga 13 Juli lalu.

BPS perlu melakukan monitoring pelaksanaan sensus di seluruh daerah untuk melihat seluruh capaian data yang telah terkumpul. Untuk selanjutnya dapat melakukan koordinasi mengingat batas waktu pengumpulan target yang semakin dekat. Namun, jika data yang terkumpul masih belum memenuhi target hingga batas waktu yang ditentukan, maka seyogyanya dapat mempertimbangkan pentingnya perpanjangan masa sensus. Hal ini untuk memastikan data yang terkumpul tidak hanya dari segi target kuantitatif, tetapi juga mampu menjamin keakuratan data yang diperoleh.

Sebelum data dirilis, BPS perlu memastikan bahwa data-data hasil sensus telah melewati proses validasi. Lebih dari itu, BPS perlu mempertimbangkan pengelolaan dan pemanfaatan data melalui kolaborasi antarpemangku kepentingan. Upaya ini bertujuan untuk mengintegrasikan data hasil ST2023 dengan sejumlah pusat data dan informasi terkait pertanian.

Misalnya saja, pertama, integrasi data dengan Sistem Informasi Pangan Nasional (National Food Information System/NAIS). Sistem ini dikelola oleh Pusdatin Kementerian Pertanian (Kementan) dengan dukungan dana dari Kementerian Pertanian, Pangan, dan Urusan Pedesaan Korea Selatan. Sistem ini bertujuan untuk pengumpulan dan pelaporan data pertanian seperti produksi, luas, dan produktivitas komoditas.

Kedua, integrasi data dengan Badan Pangan Nasional untuk menunjang kualitas Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan, sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk memantau ketahanan pangan daerah. Pada tahun 2022, BPS mencatat penyerapan tenaga kerja per Februari 2022 meningkat menjadi 4,55 juta orang. Sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah pertanian.

Kelompok yang mendominasi profesi petani, yaitu berada pada rentang usia 45-54 tahun dengan jumlah 9,19 juta orang. Sedangkan, petani umur 55-64 tahun dan di atas 65 tahun masing-masing sebanyak 6,95 juta dan 4,19 juta. Terdapat 4,1 juta petani berusia 25-34 tahun. Berdasarkan kelompok umur tersebut, minat pemuda untuk bekerja di sektor pertanian masih rendah.

Melihat situasi tersebut, diharapkan pula momen Sensus Pertanian tahun ini juga ditindaklanjuti pemerintah dengan melakukan kembali pemetaan SDM di bidang Pertanian. Hal ini guna mendorong strategi peningkatan kemampuan petani dan dan merumuskan kebijakan khususnya dalam meningkatkan minat dan ketertarikan kaum muda untuk bekerja di sektor pertanian.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dala pidato Pencanangan Pelaksanaan Sensus Pertanian 2023 lalu berharap bahwa ke depan, Sensus Pertanian dapat dijalankan setiap 5 tahun sekali. Hal ini bertujuan agar data terkait sektor pertanian yang komprehensif dapat diperbaharui dengan tempo yang lebih cepat. 

Data yang akurat, mutakhir, dan faktual menjadi landasan yang sangat penting untuk merespons kondisi global yang sarat dengan perubahan dan ketidakpastian.

Sensus selama 5 tahun sekali telah dipraktikkan sejumlah negara seperti Amerika, India, dan Korea Selatan. Sebelumnya, Korea Selatan juga mengadakan sensus setiap 10 tahun sekali. Namun, sejak tahun 1995, sensus mulai diadakan setiap 5 tahun sekali. BPS dan pemangku kepentingan terkait perlu merespons dan mempertimbangkan masukan tersebut.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.