Logo ABC

Keluarga Indonesia Terancam Dideportasi dari Australia karena Autisme

Petisi untuk mendukung Dimas mendapatkan visa permanen di Australia
Petisi untuk mendukung Dimas mendapatkan visa permanen di Australia
Sumber :
  • abc

Seorang anak asal Indonesia Dimas Tri Wibowo mengalami kemajuan pesat sebagai anak dengan autisme, tapi usaha keluarganya untuk dapat visa menetap permanen di Australia ditolak karena kondisi Dimas dianggap bisa membebani layanan kesehatan dan masyarakat.

Terancam dideportasi karena autisme:

  • Autisme Dimas dianggap membebani layanan masyarakat
  • Dimas disiapkan untuk bisa bekerja dan tidak membebani pembayar pajak
  • Pertimbangan Menteri Imigrasi jadi harapan terakhir keluarga Dimas

Dr Cameron Gordon, seorang profesor di Australian National University (ANU) mengajukan petisi online kepada Menteri Imigrasi, Kewarganegaraan, Layanan Migran, dan Urusan Multikultural Australia agar menganulir keputusan penolakan visa tinggal permanen untuk Dimas, seorang anak dengan autisme dari keluarga Indonesia yang terancam dideportasi.

Muhammad Dimas Tri Wibowo masih berusia 3,5 tahun ketika pindah ke Canberra, Australian Capital Territory (ACT) karena ibunya, Yuli Rindyawati menempuh program doktoral bidang ekonomi di University of Canberra pada tahun 2009.

Cameron Gordon adalah pengawas utama Yuli ketika menjalani program doktoral.

Selain untuk belajar, Yuli memboyong keluarganya ke Australia untuk memberi kesempatan pada anak-anaknya mengenal Australia seperti dia yang pernah belajar di Sydney pada tahun 1997 hingga 2000.

Di sydney, Yuli bertemu Heri Prayitno dan kemudian menikah serta memiliki tiga anak, yaitu Adela Ramadhina yang sedang kuliah di University of Canberra, Ferdy Dwiantoro yang kini kelas 11, dan Dimas.

Yuli (dua dari kiri) bersama ketiga anaknya, yaitu Adela Ramadhina, Dimas Tri Wibowo dan Ferdy Dwiantoro Yuli (dua dari kiri) bersama ketiga anaknya, yaitu Adela Ramadhina, Dimas Tri Wibowo dan Ferdy Dwiantoro.

Supplied

Ketika akan mendaftar ke sekolah dasar, Dimas disinyalir berkebutuhan khusus.

"Saya dan suami diminta untuk mengikuti berbagai macam pengujian dan wawancara untuk mendiagnosa kondisi Dimas. Setelah melalui berbagai tes dan wawancara, psikiater mendiagnosa Dimas dalam kondisi autisme," kata Yuli kepada Alfred Ginting dari ABC Indonesia.

Kemudian oleh dokter spesialis anak dari Community Paediatric and Child Health Service ACT Dimas mendapatkan rujukan untuk masuk ke Malkara (special) School.

Kemajuan pesat tanpa menghabiskan banyak biaya

Selama belajar di Malkara, Dimas mengalami banyak kemajuan terutama di bidang musik dan aktivitas di meja.

Beberapa kemajuan Dimas yang signifikan di antaranya, mengikuti instruksi dalam bahasa Indonesia dan Inggris, melakukan pekerjaan rumah seperti membuang sampah, mencuci piring, berkomunikasi melalui visual PECS (picture exchange communication).

"Di tahun ke-4 sekiolah, Dimas sudah bisa menggunakan toilet sehingga tidak lagi menggunakan popok, bisa bersepeda, bisa mengerjakan puzzle. Tahun ke-5 dia bisa mengenal huruf, terutama namanya. Dia mulai bisa bersosialisasi dengan keluarga di rumah, berangkat ke sekolah naik bis, bersikap tenang kalau dibawa ke supermarket dan tempat-tempat umum lainnya," jelas Yuli.
Dimas bersepeda Sebagai anak dengan autisme Dimas mengalami perkembangan sangat pesat, seperti sudah bisa bersepeda dan berenang

"Begitu besar perubahan Dimas mulai prilaku yang awalnya sulit untuk kami kontrol, sehingga suatu hari kami pernah kehilangan Dimas di supermarket, sampai kemudian dia belajar bagaimana bersikap di tempat perbelanjaan," kata Yuli.

Melihat kemajuan yang dicapai Dimas selama sekolah hampir 10 tahun, Yuli dan keluarganya memutuskan untuk mengajukan visa tinggal permanen di Australia lewat jalur graduate skilled visa pada tahun 2016.

"Ini bukanlah keputusan yang mudah, karena keluarga besar di Indonesia meminta kami untuk kembali ke Tanah Air," kata Yuli.

Setelah menjalani tes kesehatan, Dimas dinyatakan tidak lolos.

"Kondisi autismenya dianggap Public Interest Criteria (PIC), menurut peraturan Imigrasi, berbiaya signifikan terhadap layanan kesehatan dan masyarakat Australia," kata Yuli.

Australia menjalankan sistem jaminan layanan kesehatan dan kesejahteraan, termasuk untuk warga berkebutuhan khusus yang berhak mendapat tunjangan dari lembaga Centrelink.

Yuli mengajukan banding atas putusan Imigrasi ke Administrative Appeal Tribunal (AAT) dan Dimas diberi kesempatan untuk tes kesehatan lagi.

Dari hasil tes kesehatan yang kedua, kondisi autisme Dimas turun dari tingkat severe (parah) menjadi moderate, dan kemampuan komunikasi Dimas meningkat dari non-verbal menjadi tertunda bicara (speech delay).

Namun dengan semua dokumen pendukung yang diserahkan ke AAT, pengajuan visa permanen oleh Yuli masih ditolak dengan alasan yang sama dengan Departemen Imigrasi.

Kondisi Dimas dinyatakan tetap berbiaya signifikan terhadap masyarakat Australia.

Hanya perlu sekolah sampai usia 18 tahun

Dokter dalam pemeriksaan kesehatannya menyatakan Dimas hanya perlu melanjutkan sekolah sampai umur 18 tahun.

Kini Dimas belajar di Woden School yang setara SMA, dan ia sudah mengenal angka, uang kertas dan koin Australia.