Logo BBC

Revolusi Kemerdekaan: Kekerasan Ekstrem Tentara Belanda dan Indonesia

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

"Masih ada cerita... perempuan ditembak bersama bayinya yang digendong, seorang ayah dibunuh bersama tiga orang putranya..." tulis Anne dalam laporan jurnalistiknya.

Kesaksian seorang perwira Belanda, menurut Anne, mengungkap bahwa ada sekitar 100 orang yang sembunyi di gua, termasuk perempuan dan anak-anak, ditembak tentara Belanda.

"Saya melihat mayat-mayatnya hanyut di sungai," ungkap saksi mata itu.

Akan tetapi, demikian Anne, kelanjutan atas penyelidikan tentang apa yang terjadi di Rengat, tidak jelas.

"Pendek kata, pemerintah Belanda dari masa ke masa belum pernah menanggapi perkara ini dengan serius," ujar Anne-Lot Hoek, yang dikenal pula sebagai peneliti sejarah.

Sikap yang ditunjukkan Anne-Lot ini adalah cerminan dari perubahan cara pandang masyarakat Belanda dalam melihat fakta kekerasan yang dilakukan tentaranya saat agresi militer 1945-1949.

Anne adalah satu dari sekian akademisi Belanda yang mengkritik sikap masyarakatnya yang seperti menganggap wajar kekerasan ekstrem pada periode itu.

Walaupun laporan tentang kekerasan di negara bekas jajahannya itu beredar luas di masyarakat Belanda saat itu, mereka memilih diam hingga akhir 1960-an.

Di kalangan sejarawan yang memiliki pemahaman yang sama dengan Anne, sukar sekali bagi Belanda untuk sungguh-sungguh melihat peristiwa 1945-1949 di Indonesia.

Sebuah studi pada 2017 bahkan menemukan bahwa bahan ajar di sekolah-sekolah Belanda tidak membahas kekerasan ekstrem yang dilakukan militer Belanda di masa Revolusi Nasional.

Tapi setelah kesaksian Joop Hueting, yang disebut sebagai laporan tentang ekses-ekses kekerasan, pada 1969, perlahan-lahan mulai bermunculan berbagai studi untuk menyikapi kekerasan ekstrem tentara Belanda.

Penyiksaan dan eksekusi sistematis di Bali

Kendati masih ada yang memalingkan muka atau menutup mata, Anne-Lot Hoek bahkan melangkah lebih jauh.

Dia meneliti praktek kekerasan selama pendudukan kembali Belanda di Bali pada 1946-1949.

Dalam buku terbarunya, The Battle for Bali, Imperialism, Resistance and Independence 1846-1950 (2021), Hoek mengungkap, antara lain, tentara Belanda melakukan "penyiksaan di luar batas" atas tawanannya di sejumlah kamp.

"Penyiksaan dan eksekusi adalah fenomena yang tersebar luas dan sistematis," kata Hoek kepada situs berita Denhaag Centraal (23/12).

"Tahanan juga seringkali dieksekusi," ungkapnya. Selain mempelajari arsip, surat dan buku harian, Hoek juga mewawancarai 120 saksi mata di Bali dan wilayah lainnya di Indonesia.

Kekerasan ekstrem itu diawali kedatangan kembali tentara Belanda ke Bali awal Maret 1946, dan mendapat perlawanan laskar pro Republik.

Dipimpin Kepala Divisi Sunda Kecil Kolonel I Gusti Ngurah Rai, pasukan mereka beberapa kali terlibat pertempuran kecil, dan puncaknya terjadi di Desa Marga, Tabanan, 20 November 1946.

Pertempuran tidak berimbang di Desa Marga itu diawali serangan pasukan I Gusti Ngurah Rai ke tangsi Belanda di Desa Penebel, Tabanan, 18 November 1946.

"Ayah saya bercerita, terjadi penyerangan tangsi NICA [oleh pasukan Ngurah Rai] di desa ini," ungkap I Made Kris Adi Astra. Ayahnya, I Made Madri, terlibat dalam serangan itu.

Sebagai balasan, tentara Belanda dengan kekuatan lengkap mengepung pasukan Rai di Desa Marga, dua hari kemudian.

"Secara resmi, tercatat 96 orang pejuang Bali meninggal. Tapi kenyataannya sampai 200 orang," ungkap Hoek dalam penelitiannya.

"Mayat-mayat mereka kemudian digeletakkan di alun-alun desa agar masyarakat takut," ujarnya.