VIVAnews - Dalam beberapa hari terakhir, media massa ramai memberitakan kasus penculikan, mutilasi, dan kekerasan seksual dengan korban anak-anak. Kasus paling menonjol adalah kasus mutilasi Baekuni dengan korban 10 anak.
Berita tentang kejahatan yang menimpa anak-anak biasanya selalu menarik perhatian publik. Soalnya, ada kedekatan secara psikologis antara subjek berita (anak) dan publik yang tidak lain adalah orang tua, paman atau bibi, atau saudara tua dari anak-anak.
Masalahnya, pemberitaan tentang anak kerap kurang mempertimbangkan kemungkinan si anak menjadi korban secara berulang-ulang. Anak yang telah menjadi korban kekerasan, bisa juga menjadi korban pemberitaan.
Dalam kasus berita anak pengidap HIV/AIDS, misalnya, si anak yang telah menjadi korban ketidaktahuan atau ketidakhati- hatian orang tuanya, setelah diberitakan, bisa juga menjadi korban stigma dan perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya.
Misalnya, ketika si anak dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya.
Begitu pula dengan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Setelah wajah si anak difoto dan ditampilkan secara utuh tanpa dikaburkan, atau identitas (seperti nama, alamat, dan sekolah) si anak dimuat tanpa disamarkan, setelah diberitakan, dia dipaksa menanggung rasa malu atau kembali mengingat peristiwa traumatik yang pernah dia alami.
Munculnya istilah 'razia dubur' bagi anak jalanan, juga berbagai pemberitaan tentang razia itu, sangat berpotensi membuat si anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual untuk kembali menjadi korban pemberitaan. Padahal, jangankan dalam kasus anak-anak yang jadi korban. Dalam memberitakan anak-anak yang menjadi pelaku tindak kriminal pun, kemasan beritanya tetap harus memposisikan si anak sebagai korban (korban kekacauan rumah tangga, korban salah asuh, korban dari sistem pendidikan yang teramat mahal sehingga si anak tidak bisa sekolah, dan seterusnya).
Di lapangan, masih ditemui jurnalis yang tidak menggunakan jurnalisme perspektif anak. Misalnya masih ada wartawan yang bertanya pada anak, “Apakah kamu pernah disodomi?”, “Apa yang ada dalam benak kamu kalau disodomi.”
Kalimat itu dilontarkan kepada anak jalanan secara langsung. Itu pun dengan mengggunakan cara bertanya yang kasar. Tak ada empati sama sekali dari jurnalis. Ini tentu bukan perilaku jurnalis yang menerapkan jurnalisme perspektif anak.
Berkaitan dengan pemberitaan anak sebagai korban kejahatan susila atau anak yang menjadi pelaku tindak kejahatan, Aliansi Jurnalis Independen kembali mengingatkan para jurnalis (reporter, redaktur, dan produser) serta penanggung jawab ruang redaksi untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Jurnalis menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi : Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
2. Jurnalis menerapkan prinsip dasar meliput anak yang dikeluarkan oleh International Federation of Journalists (IFJ). Beberapa di antaranya adalah menghindari eksploitasi dan sensualisme anak, menghindari seksual image terhadap anak di media. Serta tidak mengekspose anak secara berlebihan.
3. Jurnalis menerapkan isi Pedoman Perilaku Penyiaran, khususnya pasal 5 ayat f yang menyebutkan, "Lembaga penyiaran melindungi kehidupan anak-anak, remaja dan perempuan," dan Pasal 18 soal 'Narasumber Anak dan Remaja' yang menyebutkan lembaga penyiaran harus mengikuti sejumlah ketentuan seperti:
a. Anak dan remaja, di bawah 18 tahun, tidak boleh diwawancarai mengenai hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya.
b. Keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber harus dipertimbangkan.
c. Anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses pengadilan terlibat dengan kejahatan seksual atau korban dari kejahatan seksual harus disamarkan atau dilindungi identitasnya.
VIVA.co.id
30 April 2024
Baca Juga :
Komentar
Topik Terkait
Jangan Lewatkan
Terpopuler
SYL Juga Bayar Biduan Pakai Hasil Uang Korupsi Kementan, Saksi: Rp100 Juta Sekali Transfer
Nasional
30 Apr 2024
Syahrul Yasin Limpo (SYL) juga turut memberikan uang untuk biaya entertain atau biaya hiburan Kementerian Pertanian (kementan) RI.
Sang Istri Diduga Selingkuh dengan Pastor, Suami: Dia dan Romo Tidur dalam Satu Selimut
Nasional
30 Apr 2024
Heboh dugaan pastor di Manggarai Timur, NTT yang meniduri istri orang. Sang suami memergoki istrinya dan pastor tidur dalam satu ranjang di rumahnya.
Berita seputar Timnas U-23 yang berlaga di Piala Asia adalah salah satu tema berita yang cukup menarik perhatian pembaca News VIVA, sepanjang Senin kemarin 29 April 2024.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat 'down' saat wasit yang memimpin laga semifinal Timnas Indonesia U-23 Vs Uzbekistan, Senin malam, menganulir gol Muhammad Ferrari ke g
Kasus Mayat Bayi Dibuang Sang Ayah di Tanah Abang, Polisi: Hasil Aborsi Digugurkan di Hotel
Metro
30 Apr 2024
Polsek Metro Tanah Abang Jakarta Pusat mengungkap fakta atas kasus penemuan mayat bayi di Kali Banjir Kanal Barat, Tanah Abang.
Selengkapnya
Partner
Pesan Haru Ibunda Pratama Arhan Usai Timnas Indonesia U-23 Keok dari Uzbekistan
Gorontalo
12 menit lalu
Ibunda Pratama Arhan, Surati Inawati menyampaikan pesan haru usai Timnas Indonesia U-23 kalah dari Uzbekistan pada semifinal Piala Asia U-23. Apa kata Surati Inawati?
Bagaimana Konsep Penerimaan Takdir Menurut Epictetus dalam "Enchiridion", Berikut Penjelasannya
Wisata
12 menit lalu
Epictetus, seorang filsuf Stoik yang terkenal, mengajarkan banyak konsep yang relevan dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu konsep utama yang dia t
First Chalongrat Novsamrong seorang aktor dan mantan boy band Cute Chef yang sudah dibubarkan di tahun 2018. Kemudian dia lebih fokus meniti karirnya sebagai aktor.
Timnas Indonesia U-23 gagal melaju ke partai final Piala Asia U-23. Ada dua penyebab Timnas Indonesia kalah dari Uzbekistan dan gagal ke final Piala Asia U-23.
Selengkapnya
Isu Terkini