Sumber :
VIVAnews
- Seorang anak kecil usia balita tampak terjuntai kakinya di bagian depan sebuah sepeda di kala hujan melanda Jakarta Selatan. Kakinya menjulur keluar dari sebuah keranjang kecil yang berisi bantal, kasur tipis, pemutar radio, terpasang di depan setang sepeda. Tak aman memang, meski ada sebuah tali yang mengikat badan anak itu supaya tetap bertengger di atas sepeda.
Sementara itu, di bagian belakang sepeda, terdapat pula semacam kandang yang di atasnya terdapat sejumlah tumpukan barang. Kandang tersebut berisi anak ayam dan anak burung.
Jelas saja, setiap orang yang berpapasan jadi penasaran, ada yang bertanya pada laki-laki dewasa yang mengayuh sepeda itu. Rupanya pengayuh sepeda diketahui bernama Sapto Sunardo (48), sedangkan anak kecil di depan setang adalah anak bungsunya, Darmawan, yang baru berusia 2,5 tahun.
Sapto mengaku, selalu membawa anaknya itu, karena di rumah tak ada yang menemaninya. Sakit pun, Darmawan selalu ikut bersama ayahnya. Seperti halnya dia yang berjualan keliling di sekitar Jalan Ampera, istrinya juga berjualan dari rumah ke rumah. Sementara itu, empat anaknya yang lain sudah bersekolah, dua orang di SMK dan dua orang di SD.
Sudah lebih 20 tahun Sapto berjualan keliling. Tak jarang, setelah seharian berkeliling, Sapto tak membawa hasil apa pun. “Ya seperti itulah, kadang pulang hanya bawa Rp10 ribu, namun keseringan pulang dalam keadaan kosong. Yang sering bikin saya sedih,
nggak
punya uang, tapi anak minta jajan. Kadang saya hanya bisa menangis, sambil berdoa dalam hati. Mau mengutang, malu,” ucap pria berbadan kurus ini kepada
VIVAnews
, Jumat 17 Mei 2013.
Sapto mengaku sudah berulang kali mencari kerja, namun belum juga ada yang mau menerima. Hal itulah salah satu yang membuatnya tetap konsisten menjalani profesinya sebagai pedagang hewan keliling.
Baca Juga :
Tips Mencerahkan Wajah Alami ala Orang Indonesia
“Beberapa kali ada yang menanya berapa harga ayam, eh
nggak
tahunya setelah saya ambilkan ayamnya, dia bilang ayamnya taruh lagi saja. Uang ini buat jajan anak bapak saja. Kadang yang seperti itu membuat saya bingung. Ya, tapi biar bagaimana pun itu rezeki kami, patut kami syukuri,” ujarnya.
Sapto sekeluarga menetap di sebuah jalan di Ciganjur, Jagakarsa, mengontrak sebuah rumah petak berukuran 5 x 7 meter. Namun, kemiskinan keluarganya tak membuat Sapto patah arang menyekolahkan anak-anaknya. Sapto tak ingin anak-anaknya gagal mendapat gelar sarjana seperti dia dan istri yang putus kuliah di tengah jalan karena tak ada biaya.
“Saya tak ingin anak-anak seperti saya. Sampai kapan pun saya akan terus berjuang untuk masa depan mereka. Yang sulung sudah selesai UN. Saya berdoa semoga dia lulus dengan nilai baik dan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi,” kata Sapto dengan matanya yang berkaca-kaca. (art)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
“Beberapa kali ada yang menanya berapa harga ayam, eh