Siapa Rohana Kudus, Wartawati Pertama Bergelar Pahlawan Nasional

Rohana Kudus, wartawati pertama bergelar pahlawan nasional
Sumber :
  • Ist

VIVA – Setelah sekian lama terpendam dalam tumpukan catatan sejarah, nama Rohana Kudus kembali mengemuka. Ini setelah wartawati pertama Indonesia itu hari ini dianugerahi sebagai pahlawan nasional bersama sejumlah tokoh lainnya oleh Presiden Joko Widodo, Jumat 8 November 2019. 

Sosok Ini yang Membuat Adik KH Agus Salim Tertarik Masuk Katolik

Rohana sudah lama tiada. Dia lahir di Kotogadang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884 dan wafat di usia 87 tahun di Jakarta pada 17 Agustus 1972. Namun, baru kali ini jasa-jasanya diakui sebagai pahlawan nasional. 

Jasa-jasa Rohana ternyata tergolong sangat besar. Tidak saja memajukan kaum perempuan di masanya, namun juga turut memelopori sejarah pers di Indonesia. Kini dia dikenang sebagai wartawati pertama yang bergelar pahlawan nasional di Indonesia.

Kisah Chalid Salim, Adik KH Agus Salim yang Memilih Agama Katolik

Sebelum hari ini, tak banyak publik yang tahu. Begitu pula tak banyak media massa yang menulis kisahnya. Itu sebab media massa maupun mesin pencarian di Internet belum kompak menulis nama mendiang yang sebenarnya. Banyak media, termasuk VIVAnews, menulis namanya Rohana Kudus, Wikipedia menulisnya dengan ejaan lama Roehana Koeddoes, sedangkan laman resmi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menampilkan nama Rohana Kuddus. 

Kendati masih berbeda penulisan nama, semuanya mengakui bahwa jasa almarhumah sangat besar bagi negeri ini, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Menurut Ensiklopedi Pers Indonesia yang dimuat di laman PWI, Rohana merupakan wartawati pertama Indonesia, perintis pers Indonesia, penggerak perempuan pertama di Minangkabau, dan tokoh serta pelopor pendidikan yang mendirikan sekolah keterampilan di kota kelahirannya. Tidak hanya sebagai wartawati pertama Indonesia, bahkan PWI menyatakan ketokohan Rohana bisa disejajarkan dengan dua pahlawan nasional R.A. Kartini di Jawa Tengah dan Dewi Sartika di Jawa Barat.

Panglima TNI Usulkan Doni Monardo Jadi Pahlawan Nasional

Menurut biografi karya Fitriyanti berjudul "Rohana Kuddus, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia" (2005), Rohana yang terlahir dengan nama Sitti Rohana adalah putri pertama dari buah perkawinan Moehammad Rasjad Maharadja Sutan dan Kiam. Ayahnya adalah seorang pegawai Pemerintahan Belanda. Karena ayahnya sering harus berpindah tugas, sejak usia 10 tahun Rohana sudah dibawa merantau. Bagi anak seusia Rohana pada masa itu, kesempatan ikut merantau bersama orangtua merupakan keberuntungan. Di perantauan Rohana banyak melihat hal-hal baru. 

Meskipun memiliki pengetahuan dan wawasan yang selangkah lebih maju dari remaja seusianya, Rohana tetap menjunjung tinggi adat istiadat dan agama yang mengandung ajaran budi pekerti luhur. Hal itu ia perlihatkan ketika dijodohkan dengan seorang pria yang belum pernah dilihatnya, dan baru ia ketahui hingga tiba waktunya menikah.
Rohana menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kuddus, salah seorang keponakan ayahnya. Meskipun suaminya tidak tergolong kaya secara materi perkawinan ini sangat membahagiakan Rohana, karena Abdul Kuddus adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu yang berlimpah, berwawasan luas, dan memiliki jiwa pergerakan. 

Ensiklopedia Pers Indonesia mengungkapkan, selain dikenal sebagai aktivis pergerakan Abdul Kuddus juga dikenal memiliki kemampuan menulis artikel bertemakan sosial, politik, dan hukum. Rohana merasa beruntung karena terdapat kesamaan antara ia dan suaminya yakni sama-sama menginginkan perubahan. Jika suaminya menghendaki perubahan situasi politik di Tanah Melayu, Rohana berjuang untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Kecintaan Rohana akan membaca dan menulis mendorong Rohana untuk mengirimkan tulisan-tulisannya ke koran-koran yang dilangganinya baik koran terbitan Padang, Medan, Batavia, maupun Belanda. Namun keinginannya urung ia laksanakan karena adanya kekhawatiran, koran-koran yang akan ia kirimi tulisan, tidak berkenan memuat tulisan seorang perempuan.

Bikin Koran

Namun atas dukungan Sutan Maharadja, Pemimpin Redaksi Harian Oetoesan Melajoe, keinginannya dapat terpenuhi. Bahkan bukan sekadar menyampaikan pikiran-pikirannya tentang bagaimana memajukan kaum perempuan, Rohana berkesempatan menerbitkan koran khusus untuk kaum perempuan yakni Sunting Melayu. Tepat pada tanggal 10 Juli 1912, Rohana berhasil mewujudkan mimpinya dengan menerbitkan Sunting Melayu, koran khusus berslogan "suratkabar perempuan di alam Minangkabau."

Aktivitas Rohana di Sunting Melayu ini secara tidak sengaja mendorong ia terjun sebagai wartawan, profesi yang sebelumnya tidak pernah dicita-citakannya. Awalnya, ia menulis hanya karena ingin menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang berupa ajakan kepada kaum perempuan untuk bangkit membela nasibnya sendiri terutama hak-haknya.

Selepas melahirkan anak pertamanya, dan satu-satunya, di Bukit Tinggi pada tahun 1917, Rohana mendirikan Roehana School, sekolah kepandaian perempuan, yang dibuka di rumah yang ia sewa. Murid-muridnya kebanyakan adalah gadis remaja yang pagi hari bersekolah di sekolah umum dan sore hari berminat menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan. Sayang, usia sekolah ini hanya dua tahun karena Rohana memutuskan untuk pindah ke Lubuk Pakam, Medan. Di kota ini Rohana juga mengajar di sekolah Dharma Putra Pusat, dan sesekali menulis artikel untuk suratkabar Perempuan Bergerak. 

Setelah sempat kembali ke kota kelahirannya, Kotogadang, Rohana menetap di Medan, Jakarta, Surabaya, dan kembali ke Jakarta. Di kota ini, tepatnya tanggal 17 Agustus 1972, Sitti Roehana Kuddus meninggal dunia pada usia 88 tahun.

Untuk menghormati jasa-jasanya Rohana memperoleh penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara sebagai “wartawati pertama.” Rohana juga memproleh penghargaan dari Dewan Pertimbangan Pers di PWI sebagai “Perintis pers Indoensia”. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya