Logo ABC

New Normal di Indonesia: Penularan Naik, Tes Corona Jadi Ladang Bisnis

Penumpang yang baru tiba di Bandara Ngurah Rai Bali menjalani pemeriksaan dokumen.
Penumpang yang baru tiba di Bandara Ngurah Rai Bali menjalani pemeriksaan dokumen.
Sumber :
  • abc

Biaya pemeriksaan COVID-19 lewat "rapid test" lebih murah, dengan rata-rata harganya sekitar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu sekali pemeriksaan.

Dokumen hasil "rapid test" berlaku tiga hari, sementara PCR tujuh hari, namun belakangan pemerintah mengubah masa berlaku keduanya menjadi 14 hari.

Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie mempertanyakan syarat tes untuk perjalanan domestik yang hanya ada di Indonesia.

"Tidak ada negara lain yang mensyaratkan rapid test atau swab test untuk perjalanan domestik."

"Ini menjadi syarat antarnegara atau lintas negara, dan itu pun sampelnya diambil saat tiba di negara tersebut, jadi betul-betul fresh," tutur Alvin.

Rapid Tes Madiun Petugas kesehatan mengambil sampel darah pekerja saat rapid test COVID-19 di sebuah pabrik rokok di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Rabu (27/05/2020).

Supplied: ANTARA FOTO/ Siswowidodo

Selain itu, berdasarkan sejumlah pengaduan yang masuk ke Ombudsman, sejumlah kepala daerah juga memberlakukan syarat "rapid test" untuk melintas, misalnya antara Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Enrekan yang bersebelahan di Sulawesi Selatan.

Menurut Alvin, hal tersebut adalah penyalahgunaan hasil tes karena hanya menjadi syarat administratif, bukan untuk pencegahan COVID-19.

"Kasus [penyalahgunaan] yang lain adalah syarat rapid test untuk ujian masuk perguruan tinggi di Surabaya atas inisiatif wali kota," tutur Alvin Lie kepada Hellena Souisa dari ABC.

Alvin menduga berbagai persayaratan yang menyertakan "rapid test" menjadi ladang uang bagi beberapa pihak tertentu.

"Aturan-aturan ini tentu saja telah membuat rapid test menjadi bisnis dan komersil. Yang kami khawatirkan ini adalah siapa importir besarnya, mungkin yang terjadi bukan monopoli, tapi oligopoli," kata Alvin.

Pandu Riono juga sependapat soal komersialisasi "rapid test" yang menjadi syarat perjalanan dan meminta tes ini dihentikan sebab yang diuji adalah antibodi, bukan virus.

"Ada unsur-unsur lain soal uang di sini. Saya menduga ada unsur ekonominya karena rapid test tidak bisa mendeteksi COVID-19. Enggak ada gunanya," tutur Pandu.