Logo BBC

Bagaimana Anak-anak Kandung Tertuduh Separatis Memandang RI

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Johan dinyatakan bersalah karena mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu berkunjung ke Ambon.

Juni 2007, saat ayahnya ditangkap, Johanis alias Ais, tengah bersemangat karena akan masuk sekolah menengah pertama.

Namun antusiasme Ais yang saat itu tinggal di Pulau Haruku, Maluku Tengah, hilang saat melihat video penangkapan ayah oleh aparat.

"Saya lihat bapak dianiaya, lehernya dikekang, dipukul sampai jatuh. Mama teriak dari belakang. Saya menangis, kesal, dan dendam melihat itu," kata Ais.

Sejak peristiwa itu, Ais menyebut keluarganya mendapat stigma dan mengalami kesulitan finansial.

Untuk bertahan hidup, ibunya yang bernama Martha bekerja sebagai petani sementara ia sempat menjadi tukang bangunan.

Sejak itu pula, kata Ais, ia kehilangan sosok ayah. "Saya cemburu waktu kecil melihat orang lain bersama dengan ayahnya, natalan dan makan bersama, bermain," ujarnya.

"Saya tidak ikhlas hingga sekarang dan belum bisa berdamai dengan itu. Air mata tidak bisa dibayar dengan apa pun," kata Ais.

Dan hukuman yang diterima ayahnya itu pula yang diklaim Ais memunculkan berbagai penolakan sosial terhadapnya. Menurutnya, ia gagal masuk perguruan tinggi dan sulit mencari pekerjaan karena menyandang nama Teterissa.

"Ketika mereka melihat marga saya, Teterissa, langsung ditolak. Sangat berat sekali. Akhirnya saya menganggur, tidak bekerja. Saya tidak tahu harus bagaimana," keluh Ais.

Tak cuma itu, Ais menyebut kerap mendapat perlakuan buruk aparat keamanan karena dianggap anak pelaku makar dari ancaman pemukulan hingga penodongan senjata.

Namun Ais berkata, ia tak pernah menyalahkan ayahnya atas berbagai peristiwa yang dialaminya itu. Ia juga tidak melihat ayahnya sebagai pengkhianat negara, cap yang kerap dilekatkan kepada Johan Teterissa.

"Saya teringat bagaimana bapak disiksa, ditangkap. Saya menangis saat mendengar lagu Indonesai Raya," ujarnya.

"Saya lebih mencintai orang tua saya daripada mereka yang mengatasnamakan negara mengancurkan hidup saya, " kata Ais.

Maluku
AFP
Hari lahir RMS diperingati sekelompok orang keturunan Maluku di Orpheus Theatre, Apeldoorn, Belanda, 26 April 2010.

Martha Teterissa, ibunya, tak pernah mampu menghilangkan kesedihan atas pengalaman dan masa depan yang tak menentu yang dijalani Ais.

Padahal, kata Martha, seharusnya seorang anak tidak perlu menerima dampak negatif dari apa yang diperbuat oleh orangtuanya.

"Anak saya tidak membunuh, mencuri, merampok, tapi kenapa itu mesti dibebankan kepadanya."

"Anak tidak tahu apa-apa. Anak-anak kami kan tidak terlibat dalam RMS, dan kami tidak pernah mengajarkan tentang itu," kata Martha.

"Saat masih kecil dia lihat ayahnya ditangkap dan disiksa, setelah besar malah distigma dan didiskriminasi. Inikan berpotensi semakin menjauhkan mereka," keluh Martha.

Bagaimanapun, sebagian besar generasi muda Maluku saat ini tak tertarik pada tuntutan kemerdekaan yang disuarakan RMS.

Pendapat itu diutarakan John Saimima, sejarawan di Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) yang sedang menyelesaikan disertasi tentang RMS di Universitas Gadjah Mada.

Berdasarkan hasil penelitiannya, gerakan RMS yang dimulai pada dekade 1950-an saat ini terus melemah. Generasi muda, menurutnya, melihat perjuangan RMS sebagai upaya sia-sia dan hanya menimbulkan kesusahan.

"Susah karena mereka harus tinggal di hutan, tak punya uang, makan susah, tinggal di gubuk-gubuk. Mereka melihat kehidupan orang tuanya sulit dan tidak ingin merasakan hal itu," katanya.

Ditambah lagi, banyak marga-marga yang pro RMS di masa lalu kini mengisi kursi-kursi pemerintahan dan gereja, seperti marga Soumokil, Apituley, Leimena, dan lainnya.

"Ada sebuah kesadaran baru di generasi muda untuk masuk ke pemerintahaan Indonesia. Isu RMS hanya digelontorkan oleh kelompok kecil saja," ujar John.

John juga melihat isu RMS dimunculkan bukan bertujuan untuk memberontak terhadap negara.

"Melainkan sebagai bentuk teguran dan peringatan kepada pemerintah agar peduli terhadap kesejahteraan, keadilan, pemerataan pembangunan dan posisi yang sama antara Maluku dengan warga lain seperti yang di Jawa misalnya. Mereka meminta untuk tidak dianaktirikan di negara ini," kata John.

`Perjuangan bapak justru korbankan anak-anak`

"Sampai sekarang saya masih merasa saya bagian dari GAM."

Kalimat itu dikatakan Sayed Azmi. Laki-laki kelahiran 1972 ini adalah petani penggarap dua petak sawah di Kabupaten Aceh Utara.

Mengaku bergelut dengan gerakan pro-kemerdekaan sejak berusia 18 tahun, yang tersisa dari apa yang disebutnya sebagai `perjuangan` kini hanyalah berbagai penyesalan dan kekecewaan.