Logo BBC

Bagaimana Anak-anak Kandung Tertuduh Separatis Memandang RI

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Kini Audryn dan adiknya mengambil jalan berbeda dengan ayah mereka. Audryn mengaku tengah fokus mengembangkan karier sebagai dokter gigi. Sementara Andrefina berkarier sebagai pegawai negeri di Jayapura.

"Saya putuskan ke Dekai karena saya tertular teman-teman aktivis yang menolong keluarga saya, walau mereka tidak kenal siapa saya," kata Audryn.

"Saya bilang ke bapak, saya mau ke tempat yang tidak ada dokter gigi. Saya tidak peduli apa latar belakang orang-orang di sana, yang penting saya bisa membantu," tuturnya.

Dan pilihan Audryn itu tidak pernah disesali Filep. Walau dianggap salah satu sosok penting dalam gerakan pro-kemerdekaan Papua, dia mengklaim tidak pernah memaksa anak-anaknya untuk mengambil `jalan perjuangan` yang sama dengannya.

"Saya tidak pernah mendidik anak-anak saya seperti itu. Saya hanya ajarkan nilai-nilai baik, bahwa mereka harus konsisten memegang pandangan hidup. Bahwa kita harus setia pada apa yang kita ucapkan," kata Filep.

"Yang penting mereka tidak menghalangi hak masyarakat. Mereka harus cukup puas dengan gaji yang mereka dapat."

"Jangan berpikir untuk memperkaya diri dengan merampas hak orang. Itu tidak terpuji," ujar Filep tentang pesannya kepada Audryn dan Andrefina.

Dan walau terus menggugat yang disebutnya sebagai `ketidakadilan terhadap orang Papua`, Filep mengaku tak pernah mendesak kedua putrinya untuk mendukung gerakan pro-kemerdekaan.

"Kalau mereka memilih untuk tetap bersama Indonesia, itu hak mereka. Sebagai manusia mereka bebas mengambil pilihan. Mereka sudah dewasa, bukan anak kecil yang masih harus saya kasih makan," ujarnya.

"Kalaupun saya masih kasih mereka makan, saya menghargai hak privasi mereka. Bukan berarti mereka harus menuruti semua permintaan saya," kata Filep.

Sebaliknya, Filep menyatakan akan terus memegang keyakinannya tentang `hal terbaik untuk Papua`: menggugat referendum kemerdekaan melalui gerakan damai.

"Sampai nyawa saya lepas dari badan," ujar Filep.

`Saya lihat kakek ditembak, bapak ditangkap`

Yosua tidak pernah lupa kejadian yang ia saksikan pada dini hari 27 Mei 2003. Kala itu, di usianya yang baru menginjak delapan tahun, Yosua melihat belasan kelompok tentara bersenjata masuk ke kampungnya di Ibele, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.

Para tentara itu mencari ayahnya, Linus Hiel Hiluka.

Yosua berkata, semua warga kampung dini hari itu bertahan di dalam rumah. Yosua ingat, ayahnya melarang dia, kakak serta adiknya keluar, apa pun yang bakal terjadi kemudian.

Linus, kata Yosua, tahu tentara datang untuk menangkapnya.

Sekitar pukul empat pagi, Yosua mendengar letusan senjata api. Berdasarkan kesaksian Yosua, ia melihat peluru menembus tubuh kakeknya. Semua orang di kampung itu keluar. Linus ditangkap.

"Kami, anak-anak kecil, menangis semua. Kami diawasi, tidak boleh ada yang lari. Saya pikir bapak pasti akan dibunuh. Jadi saya lari ke hutan," ujar Yosua.

"Tete (kakek) ditembak, apalagi bapak yang mereka incar. Pasti lebih parah, pikir saya saat itu."

"Tete meninggal kena dua peluru. Dia disuruh tiarap, tapi karena pakai koteka dia tidak tiarap," ucapnya.

Hampir dua bulan sebelum kejadian itu, tepatnya 3 April 2003, beberapa warga Wamena membobol gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya.

Aksi warga ke Kodim, menurut Linus, dipicu pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), Theys Hiyo Eluay, pada 10 November 2002, oleh anggota Kopassus di Jayapura.

PDP merupakan organisasi perwakilan ratusan suku di Papua. Sementara Theys adalah salah satu figur yang mencetuskan dorongan agar Indonesia melepas Papua.

"Saya aksi di Kodim karena tokoh yang kharismatik diculik dan pembunuhannya tidak wajar. Sebenarnya motto kami perjuangan damai. Tapi sudah terlanjur seperti itu, saya sudah bayar tanggung jawab di penjara," kata Linus.

Linus, seorang petani di Wamena, kota di pegunungan tengah Papua yang berjarak sekitar 575 kilometer dari Jayapura. Saat itu dia didakwa melanggar pasal makar dan konspirasi. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun.

Adapun, peristiwa yang dialami Yosua dan warga Wamena setelah pembobolan gudang Kodim itu disinyalir sebagai kasus pelanggaran HAM berat.

Namun dugaan Komnas HAM itu hingga kini belum bergulir dan dibuktikan ke pengadilan.

Bagi Yosua, penangkapan ayahnya itu adalah pintu gerbang pergulatan kehidupannya. Peristiwa itu, kata dia, selalu muncul dalam benaknya.

Saat ayahnya mulai menjalani hukuman di penjara, Yosua, ibunya, serta lima saudara kandungnya hanya bisa makan satu kali sehari.

"Saya sempat berpikir untuk berhenti sekolah karena tidak ada biaya. Mama bilang saya lebih baik kerja di kebun," ucapnya.

Akibat trauma dan berbagai kesulitan itu, dendam dan kebencian tumbuh dalam diri Yosua. Pada usia yang belum genap 10 tahun, pikirannya dikecamuk banyak pertanyaaan tentang mengapa `kemalangan` itu menimpanya dan bagaimana keluar dari persoalan tersebut.