Ganjar: Latihan Mapala Main Pukul, Hari Gini Enggak Cocok

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di Tawangmangu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Maulana Surya

VIVA.co.id - Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, turut berkomentar tentang peristiwa kematian tiga mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta setelah mengikuti latihan dasar mahasiswa pencinta alam (mapala) di Gunung Lawu, Karanganyar, pada akhir pekan lalu.

Warga Jateng Terdampak Pembangunan Tol Solo-Jogja Ogah Pilih Ganjar di Pemilu 2024

Ganjar, yang pernah menjabat Ketua Mapala Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, mengaku kecewa jika unsur kekerasan diterapkan dalam latihan Mapala UII. Apalagi hal itu diterapkan saat kegiatan pelatihan dasar (latsar).

"Karena kalau itu modelnya latsar (latihan dasar) dan adanya terlalu keras, hari gini enggak cocok. Saya dulu pas waktu latsar (memang) keras, tapi enggak dipukul," kata Ganjar di Semarang pada Kamis, 26 Januari 2017.

Warga Bandingkan Jalan Aspal Jawa Timur dan Jawa Tengah Jadi Perdebatan, Saling Bela

Berkaca pada aktivitas mapala saat eranya dulu, Ganjar menyebut sikap keras dalam pelatihan harus mengacu pada standarisasi tertentu. Mulai dari tahapan, ukuran pelatihan, hingga kesiapan fisik peserta.

"Kerasnya itu kalau kita repling (latihan memanjat dengan tali) gitu, satu-dua-tiga mau turun ditendang, tapi enggak sampai dipukul," katanya.

5 Kampus Tertua di Indonesia, di Urutan Berapa Perguruan Tinggi Kamu?

Meski demikian, menurut Ganjar, sebenarnya aturan itu sudah cukup baik. Namun terkadang hal itu dipraktikkan dengan cara berlebihan. Salah satu kasus bahwa latihan itu dilakukan dengan menguras waktu hingga berkesan pemaksaan.

"Tapi saya kira, temen-teman yang lebih senior kalau mau melatih, ada ukurannya, ketahanannya. Namanya latihan pasti bertahap, jangan digas pol (langsung latihan keras) gitu," ujar Gubernur.

Pendidikan dasar, kata Ganjar, juga harus melihat betul kondisi kesehatan peserta: mereka betul-betul siap untuk latihan tertentu. Seperti survival (latihan kemampuan bertahan hidup), climbing (latihan panjat tebing), orienteering (latihan keterampilan navigasi), dan latihan lain. Apalagi jika latihan di gunung dengan kondisi suhu yang tidak menentu.

"Dulu saya pernah menjadi peserta dan pelatih, kalau mengajak survival orang di gunung, kita cek betul: suhunya berapa, kapasitas mereka seperti apa, perlengkapan juga seperti apa, kalau mereka mau kita lepas mungkin mereka harus bertahan dari dingin," ujarnya.

Para peserta juga wajib dicek betul apakah punya potensi hipotermia atau tidak, tingkat dehidrasi peserta, serta indikasi lain saat melakukan kegiatan survival. Hal itu berguna untuk memastikan pelatihan yang sesuai bagi mereka. Senior pun harus memberikan pengertian bagaimana dan dalam kondisi seperti apa mereka bisa bertahan.

"Kita kasih tanda-tanda; kalau enggak sanggup, kita tarik. Sekarang lebih modern. Pas zaman saya belum ada ada lah (latihan keterampilan) medis. Tim supporting-nya sudah persiapan, minimal P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan), makanan dan minuman harus ada kalau terjadi apa-apa," katanya.

Mengenai kasus kematian tiga mahasiswa UII, Ganjar menilai langkah Kepolisian sudah tepat. Ia berharap kasus serupa tak lagi terjadi.

"Adanya itu (tiga mahasiswa tewas) harus diselidiki apakah ada indikasi penganiayaan, terjatuh, dan sebagainya. Saya kira, polisi sudah bertindak, itu sudah betul," ujarnya.

Tiga mahasiswa UII itu tewas setelah mengikuti pendidikan dasar mahasiswa pencinta alam di Gunung Lawu, Lereng Selatan, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, pada 13-20 Januari 2017. Mereka, antara lain, Ilham Nurfadmi Listia Adi, Muhammad Fadhli, dan Syaits Asyam.

Muhammad Fadhli meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar pada 20 Januari. Syaits Asyam dan Ilham Nurfadmi Listia Adi mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, masing-masing pada 21 Januari dan 24 Januari. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya