Logo BBC

Politikus Muda: Adu Nasib, Idealisme, dan Perintah Orang Tua

Sejak reformasi, pemilu tahun 2019 merupakan ajang politik yang paling melibatkan pemilih dan calon anggota legislatif berusia muda.-Paula Bronstein/Liasion/Getty Images
Sejak reformasi, pemilu tahun 2019 merupakan ajang politik yang paling melibatkan pemilih dan calon anggota legislatif berusia muda.-Paula Bronstein/Liasion/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Pada pemilu 2019, partai harus mengajukan minimal 30?leg perempuan di setiap daerah pemilihan. Jumlah keterwakilan itu belum pernah tercapai dalam sejarah pemilu Indonesia.

"Sejak aku pulang dari Jakarta, aku pikirkan tawaran itu secara intens setiap malam. Proses pendaftaran studi S2 di UGM akhirnya kutinggalkan."

"Karena partai terdesak syarat 30% perempuan, mereka mendesak saya di tiga bulan terakhir sebelum pendaftaran caleg."

Rukma pun luluh dan mengiyakan tawaran menjadi caleg PDIP untuk DPRD Bantul.

"Kalau tidak ada syarat keterwakilan perempuan, mungkin saya tidak akan ditawari menjadi caleg dan saya tetap apatis terhadap politik," tuturnya.

Rukma mengaku sejak kecil telah bersinggungan dengan politik, terutama PDIP. Kakek dan ibunya dekat dengan partai berlambang kepala banteng itu, meski tidak berstatus anggota.

Rukma menyebut keputusannya `penuh pergulatan batin, persiapan mental dan pemikiran`. Apalagi, Rukma sebelumnya belum pernah terlibat di organisasi massa.

Kini Rukma berupaya mendekati konstituen, dari angkringan hingga pasar. Popularitas kakek dan ibunya di Bantul menjadi modal awalnya bergiat di politik.

Meski berstatus pendatang baru, Rukma yakin statusnya sebagai politikus muda bisa menggerus suara caleg lawas, termasuk seniornya di PDIP.

"Kalau masuk kandang (kantor PDIP), ya saya diam, tahu diri karena masih baru, segala keputusan saya harus ikuti. Tapi di lapangan tidak perlu minder. Babat alas," kata Rukma.

`Politik itu marathon, bukan lari jarak pendek`

Kecelakaan mobil tahun 2007 mengubah jalan hidup Ardima Rama Putra: dua kakinya diamputasi. Akibatnya, ia putus kuliah dari Universitas Padjadjaran dan pulang ke rumah orangtua di Jakarta untuk beragam terapi.

Cita-citanya menjadi praktisi geologi pupus. Dengan status baru sebagai penyandang disabilitas, Ardima bergabung dengan organisasi massa kontroversial: Pemuda Pancasila.

Sejak saat itulah, secara perlahan Ardima napak tilas perjalanan karier kakeknya yang pernah menjabat anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan pada dekade 1990-an.

"Saya bilang ke keluarga, saya ingin menjadikan politikus sebagai profesi. Konsekuensinya saya harus marathon, ini bukan kepentingan sesaat atau jangka pendek."