Logo BBC

Kabinet Kerja Jokowi Jilid II Tersandera Elite Politik?

Presiden Joko Widodo berjalan bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo berjalan bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Sumber :
  • bbc

Upaya para elite parpol penyeimbang untuk merapat ke koalisi, kata Direktur Eksekutif KoDe Inisiatif, Veri Junaedi, bakal menyulitkan jalannya pemerintahan yang lebih baik.

"Kalau semua partai itu menjadi partai pendukung pemerintah, tidak ada oposisi, siapa yang kemudian akan mengontrol kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah," katanya.

Semestinya, tambah Veri, untuk menjalankan pemerintahan presidensial, kekuatan antara koalisi dan partai penyeimbang sama-sama kuat.

"Ketika parlemen membuat kebijakan semena-mena, ada presiden yang akan mengontrol. Begitu juga ketika presiden akan mengeluarkan kebijakan, maka ada DPR yang akan mengontrol," lanjutnya.

Namun, menurut Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, tak ada persoalan parpol penyeimbang masuk ke koalisi pendukung Jokowi. Sebab, kata dia, kontrol terhadap kerja pemerintah tetap berada di DPR.

"Tidak ada legislatif pro pemerintah. Karena legislatif kan dipilih langsung oleh rakyat. Maka rakyatlah yang mengontrol pemerintahan itu melalui DPR," katanya.

Di Indonesia juga tak dikenal dengan istilah oposisi. Kata Arief, idealnya peran DPR dalam mengawasi pemerintah juga tak bisa diintervensi partai politik.

"Justru ketika DPR-nya tidak melakukan kontrol maka bisa terjadi kesepakatan-kesepakatan yang berarah negatif. Misalnya, untuk bersama korupsi besar-besaran," katanya.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Jakarta, Wijayanto, menilai tidak semuanya seideal itu.

Anggota DPR memiliki peran sebagai pengawas, tapi juga mereka tunduk terhadap kebijakan partai. Kata Wijayanto banyak parpol penyeimbang yang bergabung dengan koalisi, dikhawatirkan membuat pemerintahan berjalan absolut, tak bisa dikendalikan.

Ini kemunduran demokrasi, kata Wijayanto. Gejalanya sudah tampak saat pengesahan Undang Undang KPK yang secara bulat ditentukan DPR dan pemerintah, tanpa mempertimbangkan masukan publik.

Produk kebijakan ini sebelumnya diprotes melalui gelombang aksi demonstrasi dan pernyataan sikap mahasiswa, civitas akademika, tokoh masyarakat hingga masyarakat sipil. UU KPK diyakini bisa melemahkan lembaga antirasuah.

Namun, aksi unjuk rasa tetap membuat DPR dan pemerintah bergeming. Satu-satunya harapan publik, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) sebagai langkah membatalkan UU KPK. Tapi sampai aturan ini berlaku Kamis (17/10), tak ada tanda-tanda Jokowi akan mengeluarkan Perpu.

"Konsolidasi di antara elit ini, sudah terjadi jauh-jauh hari, sejak revisi UU KPK. Dan kemudian berlanjut, waktu itu paripurna mengesahkan juga UU MD3, di mana pimpinan MPR itu ada 10 ketua dan wakil ketua, sehingga semua mendapatkan kursi," katanya.