Logo BBC

Kabinet Kerja Jilid II akan Lebih Tersandera Elit Politik?

Presiden Joko Widodo berjalan bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo berjalan bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) usai melakukan pertemuan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10). - Akbar Nugroho Gumay/ANTARA FOTO
Sumber :
  • bbc

Ini kemunduran demokrasi, kata Wijayanto. Gejalanya sudah tampak saat pengesahan Undang Undang KPK yang secara bulat ditentukan DPR dan pemerintah, tanpa mempertimbangkan masukan publik.

Produk kebijakan ini sebelumnya diprotes melalui gelombang aksi demonstrasi dan pernyataan sikap mahasiswa, civitas akademika, tokoh masyarakat hingga masyarakat sipil. UU KPK diyakini bisa melemahkan lembaga antirasuah.

Namun, aksi unjuk rasa tetap membuat DPR dan pemerintah bergeming. Satu-satunya harapan publik, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) sebagai langkah membatalkan UU KPK. Tapi sampai aturan ini berlaku Kamis (17/10), tak ada tanda-tanda Jokowi akan mengeluarkan Perpu.

"Konsolidasi di antara elit ini, sudah terjadi jauh-jauh hari, sejak revisi UU KPK. Dan kemudian berlanjut, waktu itu paripurna mengesahkan juga UU MD3, di mana pimpinan MPR itu ada 10 ketua dan wakil ketua, sehingga semua mendapatkan kursi," katanya.

Rawan putar balik ke Orde Baru

Di dalam revisi Undang Undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) jumlah pimpinan MPR ditambah semula lima menjadi perwakilan dari fraksi. Artinya jatah kursi pimpinan MPR tidak lagi diperebutkan melalui mekanisme pemilihan tapi sudah otomatis mewakili fraksi.

Hal ini apa yang disebut Wijayanto sebagai oligarki kekuasaan, "Yang terdiri dari orang yang berkuasa dan bersama-sama berusaha untuk mempertahankan kekuasaanya. Mereka mensabotase prosedur demorasi yang ada, supaya tetap bisa survive sebagai segelintir penguasa."

"Jadi sepertinya kita melihat gejala adanya kemunduran demokrasi di Indonesia. Tapi bisa saja terjadi putar balik. Ibarat mobil putar balik kemudian ngebut menuju ke masa lalu. Orde Baru jilid II," lanjut Wijayanto.

Saat ini, kata Wijayanto, saluran aspirasi publik perlahan tersumbat. Parpol penyeimbang sudah tidak bisa optimal mengkritisi pemerintahan. Media massa kebanyakan sudah dikuasai pemilik modal yang berafiliasi dengan pemerintah.

Kritik melalui media sosial berpotensi diserang balik dengan pasukan buzzer. Aksi unjuk rasa akan menghadapi tekanan dari aparat keamanan, kata Wijayanto.

Berdasarkan catatan Freedom House, Indeks Kebebasan di Indonesia terus menurun periode 2016 - 2019. Indeks ini menggunakan skala 0 - 100, di mana semakin mendekati angka 100 Indeks Kebebasan suatu negara semakin baik.

Pada 2016 skor Indeks Kebebasan di Indonesia sebesar 65, dan bertahan sampai 2017. Pada 2018 turun menjadi 64 dan kembali melorot pada 2019 menjadi 62.

Hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia disebut makin turun lantaran sejumlah persoalan yaitu korupsi, kriminalisasi aktivis, diskriminasi terhadap kelompok minoritas hingga persoalan di Papua.

"Situasi kebatinan demokrasi kita, apa pun yang dimaui elit, publik tidak punya pilihan, selain harus menerima. Nah ketika mau protes, retriksi begitu banyak terjadi," kata Wijayanto.

*Artikel ini merupakan bagian keempat dari serial tulisan menjelang pelantikan Joko Widodo-Ma`ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober mendatang.