Sentimen Agama dan Gender Masih Kuat di Pilpres 2024, Hasil Temuan SMRC

Pendiri SMRC Saiful Mujani
Sumber :
  • SMRC TV

Jakarta – Saiful Mujani Research and Consulting atau SMRC, memaparkan hasil temuan terbaru dalam menyongsong Pemilu 2024. Dikatakan, bahwa hingga kini sentimen gender dan agama masih kuat dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2024.

Kapan Megawati dan Prabowo Subianto Bertemu? Hanya Puan dan Hasto yang Tahu

Temuan itu disampaikan dalam acara “Bedah Politik bersama Saiful Mujani” dengan topik “Politik Identitas Dalam Pilpres 2024,” yang disiarkan melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 27 Juli 2023.

Saiful Mujani menjelaskan, bahwa politik identitas merupakan politik yang bersandar pada identitas sosial. Di Indonesia, identitas sosial dimasukkan dalam satu kelompok yang disebut SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan).

Putuskan Dukung Prabowo-Gibran, Nasdem Siapkan Nama Untuk Menteri?

Namun ada satu identitas sosial yang penting dan luput dari perbincangan politik, sehingga tidak masuk dalam kategori SARA, yaitu identitas gender: laki-laki dan perempuan.

Dia melihat, berpolitik dengan sikap diskriminatif pada perempuan, misalnya, belum dimasukkan sebagai persoalan SARA. Diterangkannya, diskusi soal identitas biasanya hanya memasukkan aspek kedaerahan, suku, dan agama. Unsur gender tidak dimasukkan ke dalam perdebatan itu.

Pilgub Jateng 2024, Survei: Elektabilitas Sudaryono Moncer Dinggap Bisa Bawa Perubahan

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, itu menyatakan akan menarik jika memasukkan unsur gender dalam perbincangan politik. Sebab faktanya, pada kepemimpinan nasional, Indonesia belum pernah punya Presiden perempuan yang terpilih secara langsung oleh publik.

Megawati Soekarnoputri memang pernah menjadi Presiden Ri ke-5. Tetapi dia terpilih melalui pemilihan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), bukan berdasarkan pilihan masyarakat secara luas.

Pertanyaannya adalah, sejauh mana inklusivitas masyarakat Indonesia dari sisi politik identitas berkaitan dengan perbedaan gender? 

Menurut Saiful, ada sejumlah tokoh nasional perempuan yang berkualitas, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Tapi dalam politik elektoral, mereka belum begitu kuat. Setidak-tidaknya tidak ada tokoh perempuan yang didukung oleh partai politik untuk menjadi calon presiden.

Yang disoroti juga sempat muncul isu tentang Puan Maharani sebagai calon presiden. Namun aspirasi untuk Puan sebagai calon presiden tidak berkembang. Dia mengatakan memiliki data hasil survei nasional Juli 2023 yang salah satunya membahas tentang seberapa penting politik identitas atau politik yang bersandar pada sentimen identitas sosial.

Idealnya, kata Saiful, preferensi politik masyarakat disandarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional. Rasional artinya adalah sesuatu yang bisa diperdebatkan atau bisa dinilai salah atau benar. Sementara identitas seperti gender dan agama tidak bisa dinilai salah atau benar.

Menurut pendiri SMRC tersebut, politik yang inklusif dilihat dari sisi identitas sosial idealnya menunjukkan kurva normal di mana yang eksklusif minoritas dan yang banyak adalah mereka yang menganggap perbedaan identitas seperti agama, etnis, dan gender bukan faktor yang utama dalam pilihan politik. Kalau kelompok yang tidak mempersoalkan identitas sosial dalam perilaku politik itu dominan, maka politik menjadi lebih rasional dan bisa lebih programatik.

Dalam studi ini, diajukan tiga pendapat mengenai Presiden RI dilihat dari latar belakang laki-laki dan perempuan. Ada yang berpendapat Presiden harus laki-laki, pendapat kedua menyatakan Presiden harus perempuan, dan pendapat ketiga adalah perbedaan laki-laki dan perempuan untuk menjadi tidak penting.

Hasilnya, 51 % publik yang menyatakan Presiden RI harus laki-laki, 1 % menyatakan harus perempuan, 45 % menyatakan laki-laki atau perempuan tidak penting, dan 4 % tidak jawab.

Menurut Saiful, data ini menunjukkan sikap patriarkal dalam masyarakat Indonesia sangat besar. Dalam hal apakah presiden Indonesia harus laki-laki atau perempuan, kecenderungan masyarakat Indonesia harus laki-laki.

“Kalau selama ini tidak mudah bagi seorang perempuan untuk kompetitif dalam politik hal itu terjadi karena basis masyarakatnya memang patriarkal,” kata Doktor Ilmu Politik dari Ohio State University, Amerika Serikat itu.

Dari sisi etnis atau suku bangsa, lanjut dia, ada 78 % yang menyatakan perbedaan etnis atau suku tidak menjadi masalah dalam memilih presiden. Hanya 17 % yang menyatakan calon yang etnis atau sukunya sama dengan mereka, dan 5 % tidak menjawab.

Menurut Saiful, hal ini menunjukkan masyarakat cukup inklusif dari sisi etnisitas dalam pemilihan presiden. Di negara-negara demokratis lain, sentimen etnis masih cukup kuat, seperti terjadi di Spanyol.

Sedangkan dalam hal agama, ketika ditanya di antara calon-calon presiden yang akan maju dalam pilpres mendatang, 50 % menyatakan akan memilih calon yang agamanya sama, 45 % menyatakan perbedaan agama tidak menjadi masalah, dan 5 % tidak tahu. Saiful menjelaskan bahwa identitas agama punya pengaruh yang sangat kuat dalam pemilihan presiden.

“Secara umum, pada dasarnya masyarakat Indonesia cenderung eksklusif secara agama dalam menentukan pilihan politik mereka dalam pemilihan presiden. Orang memilih bukan karena calonnya kompeten dan rekam jejaknya bagus, tapi karena agamanya sama dengan saya (pemilih),” jelasnya.

Apakah perbedaan identitas sosial itu akan memengaruhi pilihan politik dalam Pilpres? Menurutnya studi menemukan bahwa yang menyatakan Presiden harus laki-laki, 42 % memilih Prabowo, 30 % Ganjar Pranowo, dan 28 % Anies Baswedan. 

Yang menyatakan presiden harus perempuan, 43 % memilih Prabowo, 29 % Ganjar, dan 29 % Anies. Sementara yang menyatakan perbedaan jenis kelamin untuk presiden Indonesia tidak penting, 40 % memilih Prabowo, 41 % Ganjar, dan 19 % Anies.

Saiful menjelaskan bahwa perbedaan gender signifikan secara statistik dalam pemilihan presiden. Yang terlihat berbeda ada pada pemilih Ganjar, lebih tinggi yang menyatakan perbedaan gender tidak penting dibanding yang menyatakan presiden harus laki-laki. 

Sebaliknya, pemilih Anies yang menyatakan presiden harus laki-laki lebih banyak dibanding yang tidak mempersoalkan identitas gender. Sedangkan pada Prabowo, perbedaan pandangan itu tidak berbeda secara signifikan.

“Yang berbeda di sini adalah pada pemilih Anies dan Ganjar. Yang memilih Anies lebih patriarkal dan yang memilih Ganjar lebih inklusif,” kata penulis buku Muslim Demokrat tersebut.

Ditekankannya, studi ini menunjukkan bahwa sisi etnisitas tidak terlalu penting dalam menentukan pilihan warga. Selisih antara yang memilih calon yang etnisnya sama dan tidak mempersoalkan etnisitas tidak berbeda signifikan secara statistik dengan p-value 0,262 atau di atas 0,05.

Sementara faktor agama sangat kuat. Diungkapkan, ada 44 persen yang menyatakan akan memilih calon yang agamanya sama dengan mereka memilih Prabowo, sementara yang menyatakan perbedaan agama tidak penting 38 %. Pada pemilih Ganjar, yang menyatakan akan memilih calon yang seagama 26 % dan 45 % yang tidak mempersoalkan agama. Sementara pada pemilih Anies, 30 % yang memilih calon yang seagama dan hanya 17 % yang tidak mempersoalkan agama.

Seperti pada kasus identitas gender, Saiful menyatakan bahwa efek dari identitas juga terlihat lebih jelas pada Ganjar dan Anies. Secara umum, Saiful menyatakan politik identitas pada masyarakat Indonesia masih penting, terutama yang berkaitan dengan gender atau jenis kelamin dan agama.

“Masyarakat kita belum inklusif dalam persoalan gender dan agama. Anda harus berpikir dua kali (untuk maju dalam kepemimpinan nasional) kalau anda perempuan atau berasal dari agama minoritas,” imbuhnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya