Logo BBC

Penderita Corona Bisa Tambah Parah kalau 'Hidup Bareng' Polusi Udara

Ilustrasi polusi udara.
Ilustrasi polusi udara.
Sumber :
  • www.afp.com

Kematian akibat polusi

WHO memperkirakan ada sekitar tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat polusi udara. Mayoritas negara yang terdampak polusi itu berada di Asia bagian selatan, Timur Tengah, sub-Sahara, dan Afrika Utara.

Pemetaan itu merujuk laporan Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2019 terkait persebaran polusi udara secara global. Kota-kota di Amerika Selatan, seperti di negara Chile, Brasil, Meksiko, dan Peru, dinyatakan memiliki tingkat polusi udara yang sangat berbahaya dalam laporan WHO dan PBB.

Kajian dari Sekolah Kesehatan Masyarakat T.H. Chan, Universitas Harvard, menyebut angka kematian pasien COVID-19 bisa bertambah hingga 15 persen akibat bertambahnya partikel halus polusi udara selama beberapa tahun sebelum pandemi terjadi.

Kajian itu menyorot sebagian besar wilayah Amerika Serikat. Para penelitinya menggunakan data polusi udara AS secara nasional dan memasukkan data sensus untuk membandingkan angka kematian COVID-19 yang disusun Universitas John Hopkins.

Mereka menyebut tingkat kematian itu bertambah ketika konsentrasi partikel halus polusi, yang dikenal sebagai PM2.5, atau tinggi. PM2.5 adalah partikel halus, berukuran satu pertiga puluh diameter rambut manusia. Jika dihirup, artikel itu bisa mencapai paru-paru dan aluran darah.

Partikel ini belakangan dihubungkan dengan persoalan kesehatan, dari infeksi pernafasan dan kanker paru. Kajian itu belum dikaji ulang oleh peneliti lainnya. Meski begitu, Profesor Annette Peters, pimpinan departemen epidemologi di Universitas Ludwig Maximilians, Jerman, menyebut temuan tersebut masuk akal.