Membidik Daur Ulang Baterai

Ilustrasi baterai mobil listrik.
Sumber :
  • QZ

VIVA Tekno – Toples kaca berisi bubuk hitam itu berpendar di bawah sinar lampu pabrik. Labelnya bertuliskan "massa hitam", yang sejatinya adalah logam berharga seperti litium, nikel dan kobalt yang didapat dari limbah baterai mobil.

BMW Cetak Sejarah Baru di Indonesia

Bubuk hitam itu bisa menjadi kunci bagi industri otomotif Uni Eropa demi mengejar ketertinggalan dari China dalam manufaktur dan daur ulang baterai kendaraan listrik.

Di Wendeburg, kota kecil yang masih dihiasi rumah kayu khas Jerman itu, perusahaan startup Duesenfel sedang mencari metode daur ulang baterai kendaraan listrik yang lebih menguntungkan.

Orangtua Anak yang Tabrakkan Mobil di Mall Jadi Konsumen Chery

Sebab, Uni Eropa (UE) sudah berencana membangun belasan pabrik raksasa baterai EV yang disebut "gigafactories" dalam satu dekade ke depan.

Namun, kebergantungan yang tinggi terhadap impor bahan mentah membuat UE rentan terhadap gangguan rantai suplai.

SPKLU Sudah Banyak, Naik Wuling BinguoEV Bisa dari Jakarta ke Mandalika

Sebabnya, daur ulang baterai listrik dianggap sebagai "tambang masa depan," kata Jörg Burzer, anggota direksi Mercedes-Benz, seperti dikutip dari DW, Minggu, 18 Februari 2024.

Raksasa otomotif asal Stuttgart itu itu kini mengikuti langkah Volkswagen dengan membangun pusat daur ulang yang selambatnya mulai beroperasi pertengahan tahun ini.

"Punya sumber daya yang memadai dan proses yang berkelanjutan, semua itu adalah komponen strategis bagi kami," imbuh Burzer. Masalahnya, proses daur ulang masih terlampau mahal bagi sebagian besar perusahaan.

Burzer sendiri tidak mengetahui kapan praktik daur ulang di Mercedes Benz akan bisa menghasilkan keuntungan.

Duesenfeld sebaliknya mengklaim metode yang mereka kembangkan sudah mencetak keuntungan, kata Julius Schumacher, kepala teknis pabrik daur ulang di Wendeburg.

Perusahaan antara lain menghemat energi dengan memanen sisa listrik di dalam baterai. "Jumlahnya cukup untuk mengurangi sekitar setengah biaya energi pabrik,” jelas Schumacher, sebuah keuntungan besar mengingat tingginya biaya pembongkaran baterai.

Setelah kandungan listriknya dikosongkan, baterai bekas dikirim ke mesin penghancur. Proses ini dikenal berisiko, karena baterai EV sangat mudah terbakar sehingga sulit didaur ulang.

Kebanyakan perusahaan daur ulang menggunakan salah satu dari dua metode untuk memisahkan setiap elemen logam, yakni melalui proses pembakaran yang boros energi, atau dengan nitrogen cair yang dapat menghasilkan gas beracun. Kedua metode memiliki kelemahannya masing-masing.

Duesenfeld menggunakan opsi kedua, yakni menghancurkan isi baterai di dalam bejana vakum berisi gas nitrogen untuk mencegah kebakaran. Baterai dikeringkan pada suhu rendah dalam ruang hampa.

Efeknya pada dasarnya serupa seperti kondisi di gunung yang tinggi: Air mendidih pada suhu di bawah 100 derajat Celcius karena tekanan eksternal lebih rendah.

Dalam prosesnya, elektrolit, yang berfungsi sebagai konduktor di dalam baterai, akan menguap dan ditampung melalui sebuah pipa kaca yang mengalirkan cairan transparan, yakni elektrolit daur ulang.

Tapi, metode ini masih memproduksi limbah gas beracun. Lalu apa bedanya? Schumacher mengklaim pihaknya menghancurkan baterai dalam suhu yang sangat rendah, "dan kami mengosongkan baterai secara seksama sebelum menghancurkannya. Kombinasi dua elemen ini berarti tidak ada gas beracun yang diproduksi."

Ia mengatakan, proses daur ulang yang dikembangkan Duesenfeld juga bersifat niremisi. "Mengurangi emisi CO2 artinya juga mengurangi ongkos produksi." Atas inisiatif perusahaan, Duesenfeld mendapat Penghargaan Keberlanjutan Jerman Tahun 2024.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya