Berobat ke Luar Negeri Warga Indonesia Habis Dana Rp155 Triliun

Ilustrasi dokter.
Sumber :
  • www.pixabay.com/jennycepeda

VIVA – Prevalensi atau angka penderita kanker di Indonesia masih sangat tinggi. Data Globocan tahun 2018 menyatakan ada 348.809 orang penderita kanker baru dalam satu tahun di Indonesia. Masih ada anggapan bahwa kanker sama dengan vonis mati.

Hal Ini yang Buat Munculnya Kabar Sarwendah dan Ruben Onsu Pisah Rumah

Faktanya, dalam 40 tahun terakhir di Amerika dan Eropa, angka kesembuhan pada banyak jenis kanker meningkat tajam. Tapi, di Indonesia kesadaran untuk memeriksakan diri sejak awal masih sangat kecil sehingga banyak yang datang sudah dalam stadium lanjut.

Menurut ahli penyakit dalam dan onkologi medik dr. Ronald A Hukom, MHSc, SpPD-KHOM, FINASIM, banyak penduduk Indonesia yang masih berobat ke luar negeri seperti China, Malaysia, dan Singapura karena menganggap mutu pengobatan kanker di Indonesia belum memuaskan.

Respons Nagita Slavina Saat Tyas Mirasih Ingin Jual Tas demi Biaya Pengobatan

"Warga negara Indonesia yang berobat ke luar negeri selama ini membawa uang Rp155 triliun," ucap Ronald dalam acara media briefing 'Penatalaksanaan Kanker di Era BPJS' di Hong Kong Cafe, Jakarta, Senin 15 Juli 2019.

Ronald berpendapat, angka tersebut sebenarnya bisa ditekan bila pemerintah, bersama BPJS, bisa terus melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, termasuk kanker.

Bule Amerika Penasaran dengan Kesaktian Gus Samsudin, Tapi Berujung Penyesalan

"Mungkin hanya diperlukan dana 3-5 persen dari yang dibawa pasien ke luar negeri dalam 5-10 tahun terakhir untuk membangun beberapa pusat kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tidak perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta," katanya.

Ronald juga mengatakan, Kemenkes dan BPJS Kesehatan belum memiliki sistem audit yang tepat dalam menjamin mutu pelayanan yang diterima penderita kanker agar tetap efektif dan efisien. Ia mengimbau agar Menteri Kesehatan perlu segera menginstruksikan audit obat kanker yang dipakai BPJS untuk mengetahui apakah pemberian berbagai obat yang disebut mahal dalam periode JKN 2014-2018 sudah dilakukan dengan mematuhi berbagai restriksi yang ditetapkan dalam Fornas

Prevalensi atau angka penderita kanker di Indonesia masih sangat tinggi. Data Globocan tahun 2018 menyatakan ada 348.809 orang penderita baru dalam satu tahun di Indonesia.

Masih ada anggapan bahwa kanker sama dengan vonis mati. Faktanya, dalam 40 tahun terakhir di Amerika dan Eropa, angka kesembuhan pada banyak jenis kanker meningkat tajam. Tapi, di Indonesia kesadaran untuk memeriksakan diri sejak awal masih sangat kecil sehingga banyak yang datang sudah dalam stadium lanjut.

Menurut Ahli penyakit dalam dan onkologi medik dr. Ronald A Hukom, MHSc, SpPD-KHOM, FINASIM, banyak penduduk Indonesia yang masih berobat keluar negeri seperti China, Malaysia, dan Singapura karena menganggap mutu pengobatan kanker di Indonesia belum memuaskan.

"Warga negara Indonesia yang berobat keluar negeri selama ini membawa uang Rp155 triliun," ucap Ronald dalam acara media briefing 'Penatalaksanaan Kanker di Era BPJS' di Hong Kong Cafe, Jakarta, Senin 15 Juli 2019.

Ronald berpendapat, angka tersebut sebenarnya bisa ditekan bila pemerintah, bersama BPJS, bisa terus melakukan berbagai perbaikan dalam sistem pelayanan kesehatan, termasuk kanker.

"Mungkin hanya diperlukan dana 3-5 persen dari yang dibawa pasien ke luar negeri dalam 5-10 tahun terakhir,untuk membangun beberapa pusat kanker modern dengan fasilitas diagnostik dan terapi lengkap di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tidak perlu semua pasien kanker dirujuk ke Jakarta," imbuhnya.

Ronald juga mengatakan, Kemenkes dan BPJS Kesehatan belum memiliki sistem audit yang tepat dalam menjamin mutu pelayanan yang diterima penderita kanker agar tetap efektif dan efisien. Ia mengimbau agar Menteri Kesehatan perlu segera menginstruksikan audit obat kanker yang dipakai BPJS untuk mengetahui apakah pemberian berbagai obat yang disebut mahal dalam periode JKN 2014-2018 sudah dilakukan dengan mematuhi berbagai restriksi yang ditetapkan dalam Fornas atau Formularium Nasional (Daftar obat yang disusun berdasarkan bukti ilmiah mutakhir oleh Komite Nasional Penyusunan Fornas).(nsa)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya