Banyak Penderita Diabetes Diamputasi, Ahli Ungkap Penyebabnya

Ilustrasi penyakit diabetes.
Sumber :

VIVA – Angka penderita diabetes terus meningkat setiap tahunnya.  Diperkirakan jumlahnya akan mencapai lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia pada 2030. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penyandang diabetes terbesar di dunia, tentunya Indonesia akan turut terkena dampak epidemi tersebut. 

783 Juta Orang Akan Menderita Diabetes Tahun 2045

Data statistik menunjukkan, 1 dari 4 penyandang diabetes di Indonesia sudah mengalami luka. Menurut statistik, satu kaki akan hilang sebagai komplikasi dari diabetes setiap 30 detik.

Spesialis Luka, dr. Adisaputra Ramadhinara, MsC, CWSP, FACCWS, mengatakan, sebesar 15 persen dari penyandang diabetes, pasti akan mengalami luka. Dan 1 dari 7 orang yang sudah diamputasi, sebagian besar berawal dari luka simpel yang sebetulnya bisa ditangani sejak awal dengan baik.

Ada Luka di Dada hingga Leher pada Wanita yang Ditemukan Tewas di Dermaga Pulau Pari

"Ini adalah problem yang cukup besar, karena sayangnya penyandang diabetes itu jumlahnya semakin lama (meningkat) bukannya semakin turun," ujarnya saat media gathering yang digelar virtual oleh Heartology Cardiovascular Center, baru-baru ini. 

Lalu, mengapa banyak penderita diabetes yang mengalami luka dan akhirnya harus diamputasi? Apakah perawatan luka di Indonesia kurang maksimal atau teknologi kesehatan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain? 

Kolesterol Hingga Diabetes Bermunculan Usai Lebaran? Dokter Ungkap Penyebab dan Cara Atasinya

"Yang pertama adalah masalah edukasi atau pendidikan kami para tenaga ahli. Jadi, saat saya belajar di luar negeri dan kembali ke Indonesia memang peminat untuk mendalami hal ini sangat minim. Sampai sekarang pun banyak yang tertarik, tapi hanya sedikit yang mau fokus dan serius menekuni bidang ini," ungkapnya. 

Menurut dokter Adisaputra, tenaga ahli di Indonesia terbiasa menangani luka dengan mengandalkan ilmu-ilmu yang dipelajari sejak zaman dahulu, yang belum tentu relevan dengan perkembangan ilmu mengenai perawatan luka saat ini. 

"Sebagai contoh, saya yakin teman-teman pernah mengalami luka atau pernah mengantarkan mungkin kerabat atau teman ke rumah sakit karena luka. Pada saat datang ke rumah sakit selesai dirawat, dibersihkan dan sebagainya, biasanya luka akan ditutup. Nah, tutupnya biasanya paling sering dengan kassa," kata dia. 

"Tapi tahukah teman-teman, bahwa ternyata menutup dengan kassa ini bukanlah sebuah metode yang saat ini kita gunakan secara standar. Apalagi untuk luka-luka kronis seperti pasien-pasien diabetes," ujar Adisaputra.

Lebih lanjut Adisaputra menceritakan pengalamannya ketika memberikan pelatihan dan bertanya pada para dokter dan perawat mengapa luka harus ditutup dengan kassa. Mereka menjawab, agar luka tetap bersih dan bakteri tidak masuk, sehingga tidak terjadi infeksi. 

"Nah, mereka mungkin tidak tahu bahwa sebenarnya sudah ada penelitian yang menunjukkan, bakteri itu ternyata bisa menembus hingga 64 lapisan kassa. Jadi kalau teman-teman dirawat di rumah sakit ditutup hanya dengan 2-3 lapis kassa, itu gak akan menolong dari bakteri yang mau masuk ke luka tersebut," ujarnya.

"Sehingga secara teori, kita harus menutup luka supaya bakteri gak masuk. Kalau mau dengan kassa, itu harus dengan 65 lapis, diganti 2-3 kali sehari, 7 hari seminggu. Bayangkan, itu penderitaannya seperti apa," kata Adisaputra.

Adisaputra menambahkan, hal sederhana tersebut sayangnya yang banyak tidak disadari. Karena memang tidak banyak tenaga ahli di Indonesia yang memfokuskan diri dalam hal penanganan luka. 

"Padahal sebetulnya banyak sekali pilihan obat-obat atau kita sebut dengan dressing atau obat untuk luka yang jumlahnya banyak, fungsinya banyak dan kegunaannya masing-masing pun berbeda-beda, tergantung dengan situasi dan kondisi luka yang sedang kita tangani," ucapnya. 

"Bahkan kalau perlu kita bisa menggunakan berbagai alat canggih yang sebetulnya sudah ada di Indonesia. Hanya mungkin karena yang tahu sedikit, yang mau pakai sedikit, sehingga kesannya tidak populer atau bahkan mungkin banyak orang tidak tahu kalau alat-alat ini ada di Indonesia. Tapi ada dan kita sudah pakai sejak lama," jelas dr. Adisaputra Ramadhinara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya