Kemoterapi untuk Pasien Kanker, Seberapa Efektifkah?

Kemoterapi.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Kanker adalah penyakit tidak menular dengan angka insiden dan kematian yang tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya sehingga perlu menjadi prioritas dan fokus semua pihak. Salah satu cara meminimalisir penyebaran sel kanker untuk mencegah kematian adalah melalui kemoterapi. Seberapa efektifkah?

Kate Middleton Jalani Kemoterapi Preventif, Benarkah Bisa Bunuh Sel Kanker 100 Persen?

Kemoterapi adalah pengobatan obat yang digunakan untuk membunuh sel-sel kanker dalam tubuh. Ini banyak digunakan untuk mengobati kanker karena sel-sel kanker berkembang biak, membelah dan tumbuh dengan cepat.

Berbagai jenis obat dapat digunakan dalam kombinasi untuk mengobati berbagai jenis kanker. Tujuan kemoterapi didasarkan pada jenis kanker dan seberapa jauh penyebarannya.

Ungkap Idap Kanker, Kate Middleton: Suami dan Anak-Anak Adalah Sumber Kekuatan Saya

Kemoterapi akan diberikan melalui pembuluh darah (kemoterapi intravena) dan obat diberikan melalui selang di pembuluh darah di tangan, lengan, atau dada. Lain adalah tablet kemoterapi (kemoterapi oral).

Kemoterapi dapat digunakan setelah perawatan lain, seperti pembedahan, untuk menghilangkan sel kanker yang mungkin tertinggal di dalam tubuh. Ini juga bisa disebut terapi adjuvant.

Didiagnosis Kanker Pasca Operasi, Kate Middleton Jalani Kemoterapi

Selain itu, kemoterapi digunakan untuk mengecilkan tumor sehingga pengobatan lain, seperti radiasi dan pembedahan, dapat dilakukan. Ini dikenal sebagai terapi neoadjuvant.

Kemoterapi digunakan untuk membantu seseorang menghilangkan tanda dan gejala. Seseorang akan dapat mengelola tanda dan gejala kanker dengan membunuh beberapa sel kanker.

Ilustrasi kemoterapi.

Photo :
  • U-Report

Ini dikenal sebagai kemoterapi paliatif. Maka dari itu, kemoterapi dinilai sangat efektif pada pasien kanker yang juga termasuk dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kini, JKN telah berhasil membuka akses bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk penyintas kanker, untuk mendapatkan penanganan dan perawatan atas kondisi kesehatan yang dialami.

Ketua CISC Aryanthi Baramuli, mengatakan bahwa banyaknya pasien kanker berusia produktif menjadi ‘alarm’ kita bersama. Hal itu terkait pentingnya kemudahan akses pengobatan sehingga memberikan kesempatan bagi pasien untuk menjalani hidup yang lebih berkualitas.

Adanya Program JKN memberikan jalan bagi kami untuk berjuang melawan kanker walalupun masih ada beberapa keterbatasan yang kami temui. Bagi para pasien, dukungan dari seluruh pihak untuk peningkatan layanan kesehatan dan pengobatan kanker untuk menjadi lebih baik secara kualitas tentu akan sangat bermakna.

Maka dari itu, masih dalam rangka memperingati Hari Kanker Sedunia 2022, Ikatan Ekonomi Kesehatan Indonesia (IEKI) atau dikenal juga dengan INAHEA (Indonesian Health Economic Association) menyelenggarakan kegiatan dialog dengan para pemangku kepentingan mengusung tema ”Masa Depan Penyintas Kanker di Indonesia: Inovasi pembiayaan kesehatan untuk keberlanjutan layanan pengobatan kanker”.

"Oleh karenanya,kami sangat mengapresiasi kegiatan diskusi dan rencana penyusunan rekomendasi yang diinisiasi IEKI bersama seluruh panelis yang berpartisipasi dalam acara ini. Semoga rekomendasi terkait inovasi pembiayaan kesehatan ini dapat membawa dampak besar bagi para pasien dan keluarganya, terutama untuk menurunkan angka kematian dan meningkatkan kualitas hidup para penyintas kanker,” ujarnya, dikutip dari keterangan pers IEKI.

Sejatinya saat ini, perkembangan teknologi pengobatan kanker terus memberikan peningkatan harapan dan kualitas hidup bagi penyintas kanker. Namun di sisi lain Pemerintah mengalami keterbatasan pembiayaan untuk menambahkan berbagai pengobatan inovatif ke dalam cakupan JKN.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh The Swedish Institute for Health Economics (IHE) di tahun 2021, ditemukan bahwa negara dengan alokasi pembiayaan kanker yang lebih tinggi menunjukkan keberhasilan penanganan kanker yang lebih baik dibandingkan negara yang memiliki alokasi pembiayaan kanker lebih rendah.

Oleh karena itu, pengimplementasian pembiayaan kesehatan yang inovatif dapat menjadi salah satu solusi pendanaan kesehatan. Hal ini tentu memerlukan kolaborasi dengan berbagai pihak sehingga dapat membantu pemerintah untuk memperluas cakupan pengobatan untuk seluruh masyarakat.

Dalam diskusi Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH mengatakan, saat ini total belanja kesehatan Indonesia masih di bawah rekomendasi WHO, yaitu 5% dari GDP (PDB) atau minimal 15% dari total APBN, dan lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain di Asia bahkan Asia Tenggara.

Selain itu dalam beberapa tahun terakhir, BPJS Kesehatan sebagai pengelola program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengalami defisit sejak beberapa tahun terakhir yang mendorong Pemerintah untuk mengurangi dan membatasi beberapa manfaat dalam cakupan JKN.

“Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus mengurangi beban biaya dengan membatasi manfaat layanan pengobatan dalam program JKN, tapi perlu segera mencari ide-ide inovatif untuk meningkatkan alokasi pembiayaan sehingga pasien-pasien, terutama penyintas kanker, tetap dapat memperoleh layanan terapi kanker yang paling optimal dan memberikan harapan hidup lima tahun lebih panjang serta kualitas hidup yang lebih baik,” jelas Prof. Hasbullah.

Senada, Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajement Asuransi Kesehatan (Pusat KPMAK) UGM, Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt. M.B.A. M.Kes, menjelaskan bahwa untuk mengatasai masalah keterbatasan biaya kesehatan, Pemerintah perlu segera mencari solusi strategis, salah satunya dengan mengoptimalkan sumber-sumber dana yang ada untuk dialokasikan ke sektor kesehatan.

Seperti, menerapkannya dengan mengalokasikan sebagian dari pajak rokok dan cukai tembakau yang diterima Pemerintah Daerah untuk sektor kesehatan. Namun, di tahun 2021, alokasi dana untuk sektor kesehatan tersebut turun dari 50% menjadi 25%.

"Kami berharap Pemerintah Pusat dapat merealokasi kembali dana untuk sektor kesehatan menjadi 50% atau memberikan fleksibiltas penggunaan dana pajak rokok dan cukai tembakau untuk pengembangan sektor kesehatan di tingkat daerah," kata dia.

"Kami juga merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menyusun panduan teknis inovasi penggunaan pajak rokok dan cukai tembakau di sektor kesehatan, misal untuk optimalisasi pembelanjaan obat dan alat kesehatan termasuk obat inovatif kanker yang pada akhirnya akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat yang kita layani," sambungnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya