Horornya Macet Jakarta, Picu Asma Hingga Penyakit Paru-paru

Ilustrasi sejumlah kendaraan yang terjebak macet.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/aww.

VIVA Lifestyle – Kemacetan di ibu kota Jakarta rasa-rasanya sudah membuat masyarakat menyerah dan pasrah meski berbagai aktivitasnya terkendala. Bukan hanya itu, bahaya kemacetan yang tiada ampun ini menimbulkan polusi di berbagai tempat hingga memicu bahaya asma kambuh dan penyakit paru berbahaya lain.

Cegah Kemacetan, Tol Jakarta-Tangerang Arah Jakarta Berlakukan Contraflow

Berdasarkan data yang diambil dari lebih dari 120 sensor udara Nafas yang tersebar di wilayah Jabodetabek, tingkat PM2.5 telah jauh melampaui ambang batas panduan dari World Health Organization (WHO) hingga 11 kali lipat. Riset dari Nafas juga menunjukkan bahwa hampir 100 persen polusi udara luar ruangan tersebut bisa masuk ke dalam ruangan.

Dokter spesialis paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, dr. H. Mohamad Yanuar Fajar, Sp.P., FICS., MARS., menegaskan bahwa kemacetan seperti yang terjadi di Jakarta menimbulkan bahaya tingginya kadar polusi. Hal ini berdampak pada serangan asma bagi pasien yang mengidapnya sehingga dapat memicu gejala sesak napas di tempat umum.

Pembatasan Usia Kendaraan di Jakarta: Antara Langit Biru dan Perekonomian

Kondisi udara di Jakarta yang penuh polusi. (Ilustrasi)

Photo :
  • VIVAnews/ M Ali Wafa

Bahaya lainnya dari polusi di Jakarta yang begitu tinggi ini dapat memicu penyakit paru yang rentan mengintai yakni Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). Sebab, polusi yang berasal dari knalpot kendaraan memproduksi zat yang membahayakan tubuh saat dihirup terus menerus hingga bersifat racun ketika terpapar dalam jangka waktu lama.

Berawal Cabut Gigi Bungsu, Perempuan Ini Alami Infeksi hingga Meninggal Dunia

"Itu bukan memicu asma saja, tetapi juga ada penyakit yang lebih berbahaya dari asma namanya PPOK," ujar dokter Yanuar, dalam webinar, Rabu 10 Mei 2023.

Lebih dalam, PPOK tersebut gejalanya pun mirip dengan asma sehingga timbulnya serangan ini di tempat publik dapat membahayakan. Belum lagi, gejala ini dapat semakin memburuk seiring bertambahnya waktu. Dokter Yanuar pun berseloroh bahwa solusi paling tepat untuk mencegah PPOK dengan pindah ke kota yang memiliki kualitas udara lebih baik.

"Kalau saya di rumah sakit bercanda dengan pasien, 'jadi saya bagaimana Dok,' saya bilang satu-satunya jalan pindah kota," bebernya.

Sebelumnya dikabarkan, Polusi udara menjadi masalah lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia. Mirisnya, masalah kesehatan tersebut berdampak pada beban ekonomi dengan memakan dana cukup besar dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tercatat, ada sejumlah penyakit respirasi yang diakibatkan polusi udara dengan prevalensi tinggi. Faktor risiko polusi udara terhadap penyakit respirasi ini pun cukup tinggi.

Penyakit Paru Obstrutif Kronis (PPOK) memiliki risiko 36,6 persen, pneumonia 32 persen, asma 27,95 persen, kanker paru 12,5 persen, dan tuberkulosis 12,2 persen. Tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, penyakit respirasi juga memberikan tekanan pada anggaran BPJS untuk menanggung biaya pengobatan penyakit akibat polusi udara.

Ilustrasi paru-paru.

Photo :
  • U-Report

Menurut data BPJS Kesehatan, selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi juga mencapai angka yang signifikan dan memiliki kecenderungan peningkatan tiap tahunnya. 

"Pneumonia menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis Rp5,2 triliun, PPOK Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar," tulis keterangan pers Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya