Pasien Kanker Kurang dari 50 Tahun Meningkat, Ahli: Setengah Kasus Bisa Dicegah dengan Cara Ini

Ilustrasi sel kanker.
Sumber :
  • Pixabay

JAKARTA – Angka kejadian dan kematian akibat kanker terus meningkat secara global, termasuk di Indonesia. Data GLOBOCAN 2020 memperkirakan adanya 19,3 juta kasus kanker baru dan hampir 10 juta kematian akibat kanker pada 2020. 

Mengenal Penyakit Radang Usus, Bisa Sebabkan Kanker Usus Besar Jika Dibiarkan

Berbagai penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan tren kanker awitan dini atau kanker yang terjadi pada usia kurang dari 50 tahun. Meningkatnya angka harapan hidup dan berbagai faktor risiko terkait transisi gaya hidup seperti merokok dan pola diet mungkin berkontribusi pada peningkatan beban kanker ini. Scroll untuk informasi selengkapnya. 

Guru Besar FKUI, Prof. Dr. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked, FACP, FINASIM, mengungkapkan, dalam penanganan kanker, terdapat berbagai tantangan mulai dari pencegahan hingga paliatif. 

WHO: Imunisasi Global Menyelamatkan 154 Juta Jiwa Selama 50 Tahun Terakhir

"Pasien sering kali terlambat dalam menerima pemeriksaan dan baru datang berobat saat stadium lanjut. Faktor pendidikan yang kurang, rendahnya pendapatan, jauhnya jarak ke tempat pelayanan kesehatan, penggunaan terapi komplementer dan alternatif, serta rendahnya cakupan deteksi dini kanker menjadi faktor besar keterlambatan layanan kesehatan yang didapat pasien," ujar Prof Ikhwan saat acara pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar FKUI, di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, baru-baru ini.

Deretan Negara yang Ternyata Penduduknya Paling Cepat Meninggal Dunia

Menurutnya, keterlambatan penanganan kanker tidak hanya berdampak pada kualitas hidup pasien, namun juga pada biaya pelayanan kesehatan. Peningkatan biaya berkaitan dengan pilihan pengobatan pada pasien dengan stadium lanjut. 

"Obat-obat yang diterima bukan lagi dalam golongan kemoterapi, namun sudah menggunakan golongan obat baru seperti terapi target dan imunoterapi yang memerlukan pemeriksaan molekular khusus (kedokteran presisi) dengan biaya yang tidak sedikit," bebernya. 

Bila kanker tidak ditangani secara komprehensif, kata Prof Ikhwan, kanker dapat menjadi ancaman bagi Indonesia yang akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2045, bersamaan dengan Indonesia berusia tepat 100 tahun atau disebut sebagai Indonesia Emas 2045. 

"Hampir sepertiga hingga setengah kanker di Indonesia dapat dicegah apabila masyarakat mendapat pemahaman yang baik mengenai faktor risiko kanker dan perkembangan intervensi pencegahan kanker," katanya.

"Terkait hal ini, WHO merekomendasikan setiap negara agar memiliki rencana pengendalian kanker nasional yang berfokus pada equity dan akses dan mencakup aspek pencegahan, skrining, diagnosis, pengobatan, survivorship, serta perawatan paliatif," sambungnya.

Lebih lanjut menurut Prof Ikhwan, rekomendasi ini dapat dilaksanakan melalui pusat komprehensif kanker. Pusat kanker komprehensif merupakan pusat kekuatan rencana pengendalian kanker nasional dan bertugas untuk mengembangkan pendekatan inovatif dalam pencegahan, diagnosis, dan pengobatan kanker. 

Misi utama dari pusat kanker komprehensif adalah mengurangi insiden kanker dan meningkatkan kualitas hidup serta tingkat kelangsungan hidup.

Terdapat tiga area utama dalam perawatan kanker, yaitu penelitian, perawatan klinis, dan pendidikan. Dalam perawatan klinis, pasien kanker memerlukan perawatan multidisiplin untuk mencapai hasil yang optimal. Perawatan multidisiplin memerlukan peran para klinisi yang tergabung dalam tim multidisiplin onkologi untuk berpartisipasi langsung dalam perawatan pasien. 

"Tim onkologi akan mengadakan pertemuan rutin yang bisa disebut sebagai tumor board meeting untuk mendiskusikan pilihan diagnostik dan atau terapeutik serta penanganan terbaik untuk setiap pasien," tuturnya. 

"Pembentukan tim multidisiplin onkologi yang dapat menjalankan perannya dengan baik tidak terlepas dari pendidikan interprofesional yang membentuk profesional kesehatan dengan keahlian sesuai bidangnya dan mampu berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain. Berdasar tinjauan Best Medical Education (BEME), pengembangan fakultas, penyiapan fasilitator, refleksi terhadap praktik peserta didik, serta pedagogi berperan penting dalam pembelajaran interprofessional," sambungnya. 

WHO juga merekomendasikan layanan primer dapat melakukan pengendalian kanker melalui pencegahan, skrining, survivorship, serta perawatan paliatif. Integrasi antara pusat kanker komprehensif dan layanan primer dapat meningkatkan kualitas layanan kanker. 

Ilustrasi dokter/rumah sakit.

Photo :
  • Freepik

"Mahasiswa fakultas kedokteran yang nantinya akan menjadi dokter umum yang bekerja di layanan primer dan residen spesialis penyakit dalam serta residen disiplin lain yang berhubungan dengan pelayanan kanker harus bersiap-siap dengan kompetensi yang paripurna menghadapi tantangan beban kanker di masa depan," ungkapnya.

Lebih lanjut menurut Prof Ikhwan, agar dapat memastikan peserta didik memiliki kompetensi yang cukup, diperlukan instrumen assessment yang memadai. Entrustable professional activity/EPA (aktivitas profesional yang dipercayakan) merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk menilai kompetensi peserta didik. 

EPA dapat diartikan sebagai praktik profesional yang dapat dipercayakan pada peserta didik segera setelah peserta didik tersebut dianggap mampu melakukan praktik profesional yang dipercayakan tanpa pengawasan. 

"Peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan di bidang onkologi melalui penerapan EPA dapat membentuk lulusan yang siap menerapkan upaya preventif, promotif, survivorship, dan paliatif dalam penanganan komprehensif kanker di berbagai tingkat layanan, termasuk di layanan primer. Hal ini diharapkan dapat menjawab rekomendasi WHO untuk menguatkan layanan kanker di layanan primer," tutup Prof Ikhwan Rinaldi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya