Mengenal Epilepsi, Penyakit Tak Menular yang Diidap Amanda Manopo

Amanda Manopo
Sumber :
  • Instagram

JAKARTA – Epilepsi adalah penyakit otak kronis tidak menular yang menyerang orang-orang dari segala usia, wanita hamil, orang dewasa, bahkan anak-anak. Sekitar 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi, sehingga menjadikannya salah satu penyakit saraf paling umum di dunia.

Tragedi DBD, Kisah Meninggalnya Seorang Anak di Lampung

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), hampir 80% penderita epilepsi tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Diperkirakan hingga 70% penderita epilepsi dapat sembuh jika didiagnosis dan diobati dengan benar. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.

Eko Patrio Ungkap Sakit yang Diidap Parto Hingga Harus Dioperasi

Epilepsi ditandai dengan kondisi tubuh yang kejang berulang, yaitu episode singkat gerakan tak sadar yang mungkin melibatkan sebagian tubuh (sebagian) atau seluruh tubuh (umum) dan terkadang disertai dengan hilangnya kesadaran dan kontrol fungsi usus atau kandung kemih.

Karakteristik kejang bervariasi dan bergantung pada bagian otak mana yang mengalami gangguan pertama kali dimulai, serta seberapa jauh penyebarannya.

Keberadaan Astronot Terancam, Hal Mengerikan Ini Muncul di Luar Angkasa

Gejala yang bersifat sementara terjadi, seperti hilangnya kewaspadaan atau kesadaran, serta gangguan pergerakan, sensasi (termasuk penglihatan, pendengaran, dan pengecapan), suasana hati, atau fungsi kognitif lainnya.

Orang dengan epilepsi cenderung mempunyai lebih banyak masalah fisik, seperti patah tulang dan memar akibat cedera yang berhubungan dengan kejang, serta tingkat kondisi psikologis yang lebih tinggi, termasuk kecemasan dan depresi. Demikian pula, risiko kematian dini pada penderita epilepsi tiga kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum, dengan tingkat kematian dini tertinggi ditemukan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah serta di daerah pedesaan.

Sebagian besar penyebab kematian terkait epilepsi, terutama di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, sebenarnya dapat dicegah, mulai dari menghindari sering jatuh, tenggelam, luka bakar, dan kejang berkepanjangan.

Meskipun banyak mekanisme penyakit mendasar yang dapat menyebabkan epilepsi, penyebab penyakit ini masih belum diketahui pada sekitar 50% kasus di seluruh dunia. Penyebab epilepsi dibagi menjadi beberapa kategori yakni struktural, genetik, menular, metabolik, kekebalan tubuh dan tidak diketahui. 

Pada umumnya, epilepsi bisa disebabkan karena beberapa hal. Pertama adalah kerusakan otak akibat penyebab prenatal atau perinatal, misalnya kehilangan oksigen atau trauma saat lahir dan berat badan lahir rendah. Kedua adalah kelainan bawaan atau kondisi genetik yang berhubungan dengan malformasi otak. 

Epilepsi juga bisa disebabkan karena seseorang mengalami cedera kepala yang parah, stroke yang membatasi jumlah oksigen ke otak, infeksi otak seperti meningitis, ensefalitis atau neurocysticercosis, sindrom genetik tertentu, serta adanya tumor otak.

Kejang yang dialami oleh penderita epilepsi dapat dikendalikan. Hingga 70% penderita epilepsi bisa bebas dari kejang jika menggunakan obat antikejang yang tepat. Penghentian obat anti kejang dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun pemakaian tanpa kejang dan harus mempertimbangkan faktor klinis, sosial dan pribadi yang relevan. Etiologi kejang yang terdokumentasi dan pola elektroensefalografi (EEG) yang abnormal merupakan dua prediktor yang paling konsisten terhadap kekambuhan kejang.

Di negara-negara berpenghasilan rendah, sekitar tiga perempat penderita epilepsi mungkin tidak menerima pengobatan yang mereka butuhkan. Hal ini disebut dengan “kesenjangan pengobatan”. Di banyak negara berpendapatan rendah dan menengah, ketersediaan obat anti kejang sangat rendah. 

Sebuah studi baru-baru ini menemukan rata-rata ketersediaan obat anti kejang generik di sektor publik di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kurang dari 50%. Hal ini mungkin menjadi hambatan dalam mengakses pengobatan.

Diagnosis dan pengobatan sebagian besar penderita epilepsi dapat dilakukan di tingkat layanan kesehatan primer tanpa menggunakan peralatan canggih. Proyek percontohan WHO telah menunjukkan bahwa pelatihan penyedia layanan kesehatan primer untuk mendiagnosis dan mengobati epilepsi dapat secara efektif mengurangi kesenjangan pengobatan epilepsi. Pembedahan mungkin bermanfaat bagi pasien yang memberikan respons buruk terhadap pengobatan obat.

Baru-baru ini, WHO juga telah menerbitkan ringkasan teknis epilepsi, yang menguraikan tindakan bagi pembuat kebijakan dan perencana layanan kesehatan untuk mengurangi beban epilepsi di berbagai negara melalui pencarian dan penentuan prioritas solusi paling efektif di berbagai sektor masyarakat.

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya