Elly Warti, Kisah Wanita Tangguh di Negeri Para Lelaki

Elly Warti Maliki
Sumber :
  • Umi Kalsum/VIVA.co.id

VIVA.co.id - Lagu Indonesia Tanah Air Beta berkumandang dari bilik-bilik ruang kelas Sekolah Darul Ulum, Jeddah, Arab Saudi. Membuat merinding yang mendengarkan. Kian terharu biru begitu tahu sekitar 80 persen siswa-siswi yang membawakan lagu itu belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia, tanah kelahiran orangtua mereka.

Ya, ratusan siswa-siswi di sekolah ini merupakan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia yang sudah bertahun-tahun bermukim di Jeddah. Anak-anak ini lahir dan besar di tanah Arab, yang jauh dari akar budaya kedua orangtua mereka. Sebagian di antaranya berstatus ilegal.

Sekolah di pusat kota yang menjadi pintu masuk ke Mekkah itu didirikan Elly Warti Maliki. Butuh 23 tahun bagi perempuan tangguh ini mewujudkan mimpinya. Tentu bukan perkara gampang mendirikan sebuah sekolah di negeri asing.

ILV, Keuletan Kartini Indonesia di Arab Saudi

Kendala utama tidak semata beratnya persyaratan, tapi juga karena ia seorang wanita dan warga asing. Di Arab Saudi, wanita tidak memiliki peran utama. Namun Elly mampu mendobrak dominasi kaum lelaki di negeri yang membatasi ruang gerak para perempuan itu.

Wanita bergelar doktor di bidang Studi Islam dan Bahasa ArabĀ  dari Universitas Al Azhar, Mesir, ini berkisah tentang jatuh bangun mendirikan Sekolah Darul Umum kepada VIVA.co.id di penghujung tahun lalu.

Elly merintisnya dari sebuah tempat pengajian. Saat itu tahun 1992, ia mengikuti sang suami, almarhum Adywarman Arby, yang bekerja di sebuah perusahaan di Arab Saudi. Meski Arab Saudi membatasi kegiatan warga asing, Elly yang semasa kuliah di Kairo sangat aktif, tidak mau tinggal diam.

Apalagi di Saudi ia mendapati banyak anak-anak TKI yang menurutnya, jangankan mampu berbahasa Arab, mengaji saja tidak bisa. Elly yang waktu itu baru saja menyelesaikan sekolah magister Studi Islam dan Bahasa Arab lalu membuka taman pendidikan alquran sebagai pendamping Sekolah Indonesia Jeddah yang sudah lebih dulu ada. Kegiatan dilakukan di ruang tamu tempat tinggalnya. Murid mengajinya waktu itu ada sekitar 10 orang.

Elly dianggap nekat. Sebab, aturan di Arab Saudi ketika itu sangat ketat. Pemerintah tidak memperkenankan warganya berkumpul, apalagi orang asing. Sementara rumahnya selalu ramai. Mobil-mobil penjemput murid mengajinya kerap parkir di depan rumah.

"Waktu itu ada yang menyampaikan ke saya, Bu Elly nggak boleh (mengumpulkan orang), nanti digerebek polisi. Ya, sempat kejar-kejaranlah istilahnya. Ini menjadi tantangan pertama," tutur wanita berdarah Padang, Sumatera Barat itu.

Makin hari murid yang belajar mengaji dan bahasa Arab di tempatnya semakin banyak. "Dari 10 anak, jadi 20 anak, kemudian sampai 100 anak lebih. Kondisi makin mencekam, meski kami tidak pernah digerebek," katanya.

Hanya saja, ungkap dia, ketika muridnya semakin banyak, Elly menyewa sebuah gedung sederhana selama dua tahun yang biaya sewanya dibantu menteri agama saat itu, Tarmizi Taher. Suatu hari, tiada angin tiada hujan, pohon beringin yang selama ini berdiri gagah di depan gedung tumbang. Karena pohon yang tumbang mengganggu jalan, ia berinisitif memotong batang dan dahan-dahan, kemudian menyingkirkannya. Namun tindakannya mendapat sorotan dari baladiyah (semacam pamong praja).

"Di batang pohon ditempeli kertas dengan tulisan dalam 24 jam harus lapor ke baladiyah. Saya pun menghadap ke kantor baladiyah. Kedatangan saya dianggap aneh dan jadi perhatian karena tidak pernah ada perempuan yang masuk ke kantor itu," ujar wanita berusia 55 tahun itu.

Begitu menghadap baladiyah, wajah Elly langsung ditunjuk-tunjuk karena melanggar aturan memotong pohon. Elly yang menguasai bahasa Arab dengan sangat baik kemudian menjelaskan perihal tindakannya memotong pohon dan mengungkapkan bahwa di tempat itu ada kegiatan belajar mengaji dan Bahasa Arab.

Mendengar penuturan Elly, pimpinan baladiyah pun luluh. "Akhirnya, dia malah bilang, apa yang bisa saya lakukan untukmu. Mereka lalu mengirim tujuh truk untuk mengangkut batang-batang pohon yang tumbang," katanya.



Di gedung sewa itu Elly menyematkan nama Darul Ulum. Darul artinya rumah tempat tinggal. Sedangkan Ulum berarti ilmu. Sehingga bisa diartikan sebagai tempat menimba ilmu dengan mengedepankan motto, agama, bahasa dan teknologi. Waktu itu Elly mengenakan SPP bagi murid-muridnya sebesar 30 riyal.

"Selama ini anak-anak tidak mendapat pendidikan agama yang memadai, tidak dapat pendidikan Bahasa Arab yang cukup yang merupakan senjata interaksi dengan bangsa-bangsa lain di Arab Saudi. Karenanya kami menggunakan moto itu," kata Elly yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Indonesia di Jeddah dan pemerintah di Tanah Air dalam merintis sekolah ini.

Tahun 1997, masyarakat Indonesia di Jeddah mendorongnya menjadikan Darul Ulum sebagai sekolah formal. Tahun itu dicanangkan Elly sebagai periode pembentukan. Selanjutnya, tahun 1998-2006, disebutnya sebagai periode implementasikan Sekolah Darul Ulum.

Tahun 2007-2014, masuk periode pengembangan. Di masa ini tidak hanya TPA, ia juga mendirikan sekolah dasar. Lulusan angkatan pertama SD Darul Ulum saat itu masih mengikuti Ujian Nasional dengan menumpang di Sekolah Indonesia Jeddah. Di antaranya berhasil menyandang nilai UN tertinggi.

Namun cobaan masih terus menghampirinya. Status sekolahnya tidak jelas. Sebab, pemerintah Arab Saudi tidak membolehkannya mendirikan sekolah Indonesia karena sudah ada Sekolah Indonesia Jeddah.

Sementara untuk menyandang sekolah internasional pun luar biasa sulitnya. Saudi menetapkan standar jelas untuk sekolah internasional, di antaranya SPP minimal 15.000 riyal per tahun. Jauh di atas kemampuan orangtua murid yang menyekolahkan anak-anaknya di Darul Ulum.

"Kami sampai pada masa kritis di tahun 2013. Gedung lama sangat buruk karena terbuat dari tripleks yang tidak layak. Biaya sewanya 120 ribu riyal yang didapat dari mengumpulkan sana sini," kata dia.

Elly berusaha mencari gedung layak dengan biaya sewa di bawah 200 ribu riyal. Namun ia harus gigit jari karena tidak ada gedung yang layak dengan harga sewa sebesar itu.

Akhirnya dengan bantuan dan pinjaman, ia berhasil mendapatkan sebuah gedung yang kini ditempati Sekolah Darul Ulum. Gedung yang cukup besar dengan halaman luas itu disewa seharga 300 ribu setahun atau hampir Rp1 miliar. Sementara SPP yang dikenakan ke siswa sebesar 150 riyal.

Masjidil Haram dan Nabawi Gunakan Teknologi Canggih Atur Suhu Ruangan Agar Jemaah Haji Nyaman

"Berkat semangat kita bisa menempati sekolah ini. Padahal sewaktu pindah tidak punya uang sama sekali," katanya.

Selain dari sumbangan orangtua murid, pihaknya juga mendapat bantuan dari perusahaan mi instan yang berbasis di Arab Saudi. Masalah lain muncul ketika pemilik gedung memintanya menyewa gedung sekaligus selama tiga tahun.

"Uang dari mana, untuk sewa satu tahun saja susah payah, akhirnya setelah perbincangan panjang mereka mau dibayar per enam bulan. Gedungnya semula jelek, dan harus direnovasi. Meski kami menghadapi persoalan dana, kami tetap optimistis," kata Elly.

Setelah bertahun-tahun berjuang membangun Sekolah Darul Ulum, Elly kini sedang menunggu diterbitkannya izin sekolah dari Kementerian Pendidikan Arab Saudi. 'Hadiah' yang sudah lama dinantikannya.

"Soal izin ini, banyak yang pesimis dan bilang tidak mungkin dapat izin. Dengan perjuangan keras kita bisa kok. Kita punya hak, sebab banyak orang Indonesia yang bekerja di sini dan membawa keluarganya. Kita bisa tuntut hak kita karena ini menyangkut martabat bangsa, demi pendidikan. Pihak berwenang di sini bahkan bersedia membantu," katanya penuh semangat.

Persoalan yang mengganjal izin hanya satu, pihak Arab Saudi menunggu Elly meninggikan pagar sekolah hingga tiga meter dan membangun tangga darurat. "Kalau dua persyaratan ini belum terpenuhi izin belum bisa ke luar," katanya.

Dengan keterbatasan pendanaan, Elly berharap seluruh persyaratan itu, sehingga anak-anak TKI yang menimba ilmu di sekolah itu bisa terjamin hak pendidikannya.

Tersandung Kasus Penyalahgunaan Narkoba, Epy Kusnandar Ditangkap di Warung

Sayang, cobaan kembali menerpa Darul Ulum. Pemerintah Saudi sejak 24 Maret 2015 lalu terpaksa menutup sekolah itu. Masalah kelayakan gedung jadi alasan, sehingga izin sekolah belum bisa dikeluarkan.

"Tapi kami tidak akan mundur sampai anak-anak TKI mendapatkan pendidikan yang bermutu dengan gedung yang layak," kata Elly dalam pesan singkatnya, Rabu 22 April 2015.

Menurut Elly, semua persyaratan sebetulnya sudah dipenuhi di jalur yang benar, sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk tidak memberikan hak kepada anak-anak TKI mendapat pendidikan yang layak.

"Kelayakan gedung akan ditinjau oleh Kementerian Pendidikan Arab Saudi. Dan, gedung belum boleh digunakan sebelum surat kelayakan gedung dikeluarkan," katanya.

Untuk sementara murid-murid Darul Ulum yang kini berjumlah 257 anak terpaksa belajar di rumah guru mereka masing-masing. Untuk koordinasi dengan tenaga pengajar, Elly melakukan pertemuan rutin seminggu sekali setiap hari Rabu.

"Kami bergerilya mencari tempat pertemuan. Hari ini kami menggelar pertemuan di Haifa Mall," ujar Elly yang tengah mempersiapkan standar keamanan dan keselamatan di gedung sekolah.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya