Mengajarkan Toleransi pada Anak Berdasarkan Umur

Ilustrasi orangtua dan anak.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA.co.id – Bicara toleransi tentunya berkaitan dengan ruang anak melihat dan memahami perbedaan. Pada anak, melihat perbedaan adalah hal yang paling bisa mereka lakukan. Tapi kemudian tantangannya adalah dari melihat itu anak kemudian bisa memahami perbedaan dan menghormatinya.

Gender Selection, Tren Pejuang Garis Dua untuk Anak Kedua

Lalu, bagaimana caranya agar sikap toleransi itu bisa terbangun pada anak?

Menurut psikolog Tari Sandjojo, kemampuan anak untuk melihat kemudian memahami perbedaan, erat kaitannya dengan perkembangan intelektual atau kognitif anak. Dan, jika itu berkaitan dengan perkembangan intelektual, artinya kemampuan itu bisa dilatih.

Pose Menyentuh Nagita Slavina Gendong Baby Lily di Tempat Tidur, Raffi Ahmad: Buah Hati

"Jadi bukan berarti anak yang tidak toleran itu, karena terlahir tidak bisa toleran. Sikap ini bisa dilatih dan diajarkan," ujar Tari saat acara Joy Parenting di FX Sudirman, Jakarta, Selasa, 29 November 2016.

Membicarakan teori perkembangan intelektual atau kognitif tidak lepas dari panduan teori Piaget. Tari menjelaskan, teori ini menceritakan tahapan perkembangan belajar anak dari lahir hingga usia dewasa.

Ello Berbagi Kabar Gembira, Sang Istri Hamil Anak Kedua

Usia 0-2 Tahun

Pada usia ini anak melihat dari kasat mata. Apa yang dilihatnya di depan adalah yang paling mudah. Misalnya ada anak yang mau digendong dengan orang yang baru dilihatnya atau justru menangis ketika melihat orang baru. Menurut Tari, ini sebetulnya adalah perkembangan intelektual anak atau kemampuan kognitifnya yang meningkat.

Ini adalah tahap pertama kemampuan anak melihat perbedaan dari figur yang muncul dalam kehidupannya sehari-hari.

Usia 2-7 Tahun (Tahap Preoperasional)

Di usia ini anak mulai memahami dunia tidak hanya lewat kasat mata, tapi juga sensori atau panca inderanya. Mereka tidak hanya melihat tampilan fisik. Mungkin Anda pernah mendapati anak yang mengatakan tidak suka berdekatan dengan paman A, karena dia bau rokok atau tidak suka dengan tante B, karena suaranya kencang jika berbicara. Itu artinya sensori anak mulai bekerja.

Mereka bisa merasakan, mendengar, dan mencium serta mulai membedakan diri dengan orang lain dan melihat detail dari perbedaan fisik. Misalnya, dia melihat rambutnya lurus sementara temannya keriting.

Karena rentang usia pada tahap ini cukup panjang, maka ada sub tahapan di mana anak mulai belajar perbedaan. Pertama pada usia anak prasekolah akan mengalami TK (taman kanak-kanak), di mana sering terjadi perkelahian karena berebut mainan.

"Di sini anak belajar perbedaan juga. Dia melihat dan belajar bahwa ada perbedaan pendapat dan opini," kata Tari.

Usia 7-11 Tahun (Tahap Konkret Operasional)

Ini adalah usia yang lekat anak belajar resolusi konflik. Tidak lagi berakhir dengan perkelahian atau konflik. Dia akan masuk ke tahap mulai berpikir bagaimana mengatasi perbedaan.

Di usia ini anak belajar memahami dan memikirkan jalan keluarnya. Ini penting untuk anak sekolah kelas dua atau tiga di mana ketika ada perseteruan tidak lagi guru yang menyelesaikan, tapi duduk bersama dan mencari solusi.

Ini juga berlaku di rumah ketika adik dan kakak berkelahi, orangtua tidak langsung menyalahkan si sulung atau meminta adik mengalah. Tapi, mengajak anak-anak duduk bersama dengan berdiskusi.

Usia 11 Tahun - Dewasa (Tahap Formal Operasional)

Di usia ini anak sudah belajar perbedaan prinsip dan ego yang abstrak. Di usia ini seharusnya anak sudah ada sikap menghargai. Jika pada tahapan usia sebelumnya perbedaan itu sudah dipupuk dengan baik, seharusnya dia berjalan damai dan tidak perlu terjadi gontok-gontokan ketika menemui perbedaan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya