Jalan Terjal Larang Eks Koruptor Nyaleg

Ilustrasi pemilu.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA – Sebulan menjelang tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif atau caleg untuk Pemilihan Legislatif 2019 terganjal kontroversi. Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperjuangkan aturan larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg mendapat pertentangan.

Dilarang Hemat oleh Harvey Moeis, Sandra Dewi: Minta Uang Rp100 Ribu, Dikasih Rp10 Juta

Aturan yang tertuang dalam draf Peraturan KPU (PKPU) itu terancam tak diteken Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Alasan Yasonna lantaran PKPU yang diperjuangkan KPU bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pihak pemerintah pun sudah meminta KPU agar tak membuat aturan yang menabrak UU.

Kengototan KPU memperjuangkan aturan melarang mantan terpidana korupsi nyaleg punya alasan kuat. Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, semangat memberantas korupsi harus dijaga. Masyarakat yak punya hak memilih harus punya daftar wakil rakyat yang kredibel.

Keyakinan Gerindra Usai PDIP Layangkan Gugatan ke PTUN Terkait Hasil Pilpres 2024

Dukungan dari berbagai pihak pada KPU dilihat sebagai dorongan positif untuk memperjuangkan PKPU tersebut.

"Mendukung dan setuju dengan semangat memberantas korupsi. Semangat menciptakan Pemilu berkualitas harus dijaga, bagaimana mantan napi (koruptor) itu tidak nyaleg," kata Arief kepada VIVA, Kamis, 7 Juni 2018.

Soroti Kasus Harvey Moeis Korupsi 271 T, Mahfud: KPK Kurang Greget

Ditentang pemerintah, KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu tak pesimis. Anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan meski Menkumham tak menandatangani PKPU, maka tetap dinilai berlaku. Acuannya, sudah ditandatangani Ketua KPU.

"Dalam prosedur standar selama ini, PKPU itu sah jika ditandatangani oleh Ketua KPU," ujar Pramono kepada VIVA, Kamis, 7 Juni 2018.

Baca: Larang Eks Koruptor Nyaleg, KPU: Kami Banyak Dapat Dukungan

Pramono menekankan, Kemenkumham hanya punya kewenangan untuk mengundangkan PKPU dan memasukkan ke lembaran negara. Ia pun heran bila benar Menkumham Yasonna tak menandatangani PKPU.

"Jadi, enggak ada kewenangan Kemenkumham dalam prosedur itu untuk menolak pengundangan sebuah peraturan seperti PKPU," tutur Pramono.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman (kanan)

Foto: Ketua KPU Arief Budiman

Menilik UU dan MK

Perjuangan KPU agar ada aturan syarat bakal caleg untuk Pemilu 2019 menemui jalan terjal. Melihat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada dua pasal yang mengatur diperbolehkannya eks napi korupsi maju nyaleg.

Pertama, pasal 240 ayat 1 huruf g terkait bagian persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dalam pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Kedua, pasal 240, ayat 2 huruf c terkait kelengkapan administratif bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud ayat (1). Bunyi pasal sebagai berikut:

Surat pernyataan bermaterai bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang tidak pernah dipidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih atau surat keterangan dari lembaga pemasyarakatan bagi calon yang pernah dijatuhi pidana.

Kemudian, merujuk putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan eks narapidana korupsi maju sebagai caleg. Dalam pertimbangannya yang dibacakan pada 9 Juli 2015, MK mengemukakan bahwa terpidana yang sudah menjalani hukuman dan keluar dari penjara adalah orang yang menyesali perbuatannya dan sudah bertaubat.

Geliat bisnis atribut kampanye Pemilu 2014. (Foto ilustrasi).Foto: Ilustrasi atribut kampanye Pemilu Legislatif 2014.

Baca: KPU Yakin Menkumham Teken PKPU Eks Koruptor Dilarang Nyaleg

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto setuju dengan upaya KPU yang ingin eks koruptor nyaleg. Bagi dia, orang yang punya catatan pidana korupsi dinilai cacat bila dipilih lagi oleh rakyat. Namun, ia mengingatkan aturan ini harus dilakukan dengan proses yang benar.

"Tapi, caranya enggak boleh salah. Ini kan PKPU. Padahal, ada satu semangat UU bahwa tingkat peraturan perundangan di bawah tak boleh bertentangan dengan UU di atasnya," jelas Wiranto di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 7 Juni 2018.

Polemik PKPU ini akan dibahas Wiranto dengan mengajak pihak terkait mulai KPU, DPR, hingga jajaran menteri di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Wiranto menegaskan pemerintah juga tak ingin masalah ini berlarut-larut sehingga harus dicari titik temunya.

Solusi Polemik

Ilustrasi pencoblosan saat pemilu.

Foto: Ilustrasi pemilih lansia memasukan kertas suara.

Mengingat waktu yang menyisakan sebulan lagi untuk pendaftaran bakal caleg, semua pihak diminta berembug mencari solusi. Sebab, mulai 4 Juli 2018, tahapan pendaftaran bakal caleg sudah dimulai.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini PKPU larangan eks napi korupsi maju nyaleg diperlukan. Tak hanya parpol, PKPU ini menurutnya pentiung bagi aturan untuk para bakal caleg. Ia berharap polemik ini tak berlarut-larut dan agar segera ditemukan solusinya.

"Ini untuk kepentingan Pemilu yang berkualitas. Jangan sampai makin berlarut-larut karena tentu yang paling dirugikan adalah caleg, parpol," kata Titi kepada VIVA, Kamis, 7 Juni 2018.

Dia menilai PKPU yang diperjuangkan KPU layak didukung sebagai terobosan untuk menciptakan pemilu yang lebih berkualitas. Dalam prosesnya, KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri menurutnya punya kewenangan dalam pengambilan keputusan.

Baca: Polemik Eks Koruptor Dilarang Nyaleg, Ini Solusi Wiranto

Mengacu Pasal 75 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, KPU diyakini bisa membuat pengaturan untuk kebaikan pemilu. Dalam aturannya, KPU harus berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah.

Namun, hasil konsultasi tersebut tak berlaku mengikat bagi KPU karena merujuk putusan MK Nomor 92/PUU-XIV/2016. Bila memang ada keberatan dan menolak PKPU yang diperjuangkan KPU, maka ada opsi dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).

"Ini bukan pendapat tunggal, KPU punya kewenangan dalam operasional pemilu yang menjadi otoritasnya. Jadi, KPU berhak dan harus didorong," ujar Titi.

Kantor Pusat Komisi Pemilihan Umum.

Foto: Ilustrasi depan gedung KPU.

KPU Lembaga Administratif

Pandangan berbeda disampaikan pakar hukum tata negara Refly Harun. Secara kewenangan, menurut dia, KPU sebenarnya tak bisa membuat PKPU terkait larangan eks napi korupsi nyaleg. Ia menekankan materi larangan nyaleg seperti itu hanya bisa diatur dalam tingkat UU atau vonis pengadilan.

"Kenapa begitu? Karena memuat PKPU larangan nyaleg ini menyangkut hak asasi manusia yang diatur konstitusi. Putusan MK sudah ada dan UU Pemilu," jelas Refly kepada VIVA, Kamis, 7 Juni 2018.

Refly setuju dengan semangat KPU yang mencetuskan ide eks napi koruptor dilarang nyaleg. Namun, ia mengingatkan kembali bahwa KPU hanya lembaga administratif penyelenggara pemilu yang tak bisa membuat aturan tersebut.

"Tidak ada aturan di bawah UU yang dibuat bukan wakil rakyat. Nah, KPU ini bukan lembaga dipilih rakyat, lembaga administratif seperti KPU tidak berwenang. Idenya saja baik, tapi sekali lagi bukan kewenangan KPU," tuturnya.

Dijelaskan Refly, bila memang ada kesepahaman dengan DPR serta pemerintah, maka PKPU ini bisa diterapkan dengan catatan yaitu revisi terbatas pasal terkait dalam UU Pemilu. Kemudian, bisa juga dengan cara menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).

Hukum Parpol

Menciptakan pemilu berkualitas juga harus menjadi kewajiban partai politik. Ia memahami keinginan KPU dalam membuat PKPU larangan eks napi korupsi maju caleg. Namun, parpol juga harus mendorong bakal caleg bukan eks napi korupsi.

"Secara sosiologis saya bisa memahami. Tapi, ikut didoronglah partai-partai agar tak mencalonkan. Kalau parpol masih mencalonkan, hukumlah dengan tidak memilihnya," jelas Refly.

Baca: DPR Minta KPU Tak Atur Larangan Eks Koruptor Ikut Pemilu

Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara Margarito Kamis. Ia menegaskan larangan eks napi korupsi bukan kewenangan KPU. Apalagi, aturan di atas PKPU seperti UU kemudian putusan MK justru mengizinkan eks koruptor bisa nyaleg. Bagi dia, setiap PKPU selama tak diteken Menkumham maka belum bisa berlaku. Proses PKPU ini pun menuai kontroversi karena bertabrakan dengan UU.

"Aturan itu bisa dibuat oleh DPR dan pemerintah. Bukan dengan PKPU yang dibuat KPU," sebu Margarito.

Menurut dia, bila memang untuk mengakali polemik ini dengan mepetnya waktu pendaftaran bakal caleg maka bisa dilakukan revisi terbatas dalam UU Pemilu. Tapi, hal ini pun mesti ada kesepahaman dari semua pihak termasuk KPU, DPR, dan pemerintah.

"Meski sulit dari persamaan pemahaman, tapi kalau sepakat ya cepat bisa saja. Tapi, saya kira semua harus dipikirin, dirembukin bersama," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya