Menumpas Hoax Lewat WhatsApp

Aplikasi WhatsApp.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Iram Sabah (27 tahun), ibu dua anak, mendadak diserang rasa takut kala menerima pesan yang dikirim oleh keluarganya melalui WhatsApp. Pesan itu berupa video yang menunjukkan tubuh seorang anak dimutilasi.

Awas Hoaks, Ayu Dewi Tegaskan Gak Pernah Jadi MC Peluncuran Jet Pribadi Sandra Dewi dan Harvey Moeis

Tak jelas kapan, dari mana video itu dibuat dan berasal. Begitu pula dengan keasliannya atau sekadar konten yang sengaja dibuat. Yang jelas di akhir tayangan, ada narasi yang meminta supaya siapa pun yang menontonnya, meneruskan ke pengguna lain. Ditambah pesan agar tetap waspada terhadap penculik anak yang sedang berkeliaran.

Meski Sabah tak tahu orisinalitas video tersebut, ia tak mau ambil risiko. Tiap kali buah hatinya berada di luar rumah, perasaan khawatir dan waswas menyergapnya.

Apple Deletes WhatsApp from App Store in China

"Ketika anak-anak saya pergi keluar untuk bermain, saya benar-benar takut. Rumor-rumor (penculikan) ini telah menyebar. Aku tidak membiarkan mereka berjalan ke sekolah sendirian lagi," kata Sabah.

Kisah Sabah itu dimuat di laman National Public Radio (NPR) pada 18 Juli 2018. Sabah sendiri merupakan warga di India Barat.

Apple Hapus Aplikasi WhatsApp dari App Store

Di tanah Hindustan, kabar palsu penculikan anak memang sempat merajalela bak jamur di musim hujan. Dan WhatsApp menjadi salah satu media yang memberi kontribusi besar bagi penyebarannya. Bagi platform perpesanan instan yang dimiliki Facebook itu, India merupakan pasar terbesar, dengan lebih dari 200 juta pengguna.

Dampak dari penyebaran video seperti yang diterima Sabah, banyak orangtua tak hanya melarang anak mereka bermain di luar. Sejumlah guru bahkan melaporkan kehadiran di sekolah yang berkurang.

Lebih ironis lagi, kabar-kabar yang bergulir liar melalui fitur 'forward' di WhatsApp bahkan mendorong orang-orang di India untuk melakukan pembunuhan.

Misalnya yang terjadi pada 18 Juni 2018, laman The Guardian melaporkan, Abijeet Nath dan Nilotpal Das, dua pemuda asal India harus menjemput ajal akibat hoax yang tersebar di pesan instan WhatsApp. Mereka dipukuli massa sampai tewas.

Awalnya, dua pemuda yang baru pulang dari air terjun di Provinsi Assam, India, itu berhenti di sebuah desa untuk sekadar menanyakan arah. Alih-alih memperoleh informasi yang diperlukan, mereka malah ditarik keluar dari mobil dan dihajar warga hingga meregang nyawa.

"Penduduk desa curiga terhadap orang-orang asing, karena selama tiga atau empat hari terakhir banyak pesan-pesan yang beredar di WhatsApp, serta dari mulut ke mulut tentang penculikan anak-anak di daerah mereka," kata Mukesh Agrawal, perwira polisi setempat.

WhatsApp Tak Tinggal Diam
Pemerintah India telah memperingatkan WhatsApp, untuk memberikan solusi yang lebih efektif demi menghentikan kekerasan massa yang terjadi saat ini.

Kabar yang dihimpun VIVA per 24 Juli 2018, sudah 20 orang di India yang digantung karena dituduh menculik anak. Sebelumnya, aparat keamanan India menangkap 25 orang atas tuduhan pembunuhan terhadap seorang warga bernama Mohammad Azzam, yang dibunuh lantaran dugaan penculikan anak.

Kabar baiknya, WhatsApp memperlihatkan itikad baik untuk menanggulangi kekacauan berdarah yang menyeretnya.

Layanan yang bernaung di bawah bendera Facebook ini, melakukan upaya keras memberantas virus hoax. Khusus di India, di mana marak terjadi kasus kematian akibat hoax yang beredar di WhatsApp, pihaknya memberlakukan aturan, hanya boleh meneruskan pesan (forward) maksimal lima kali. Sebelumnya, ada peraturan yang berlaku secara global mengenai forward pesan maksimal 20 kali.

Langkah tersebut sudah digulirkan pada Juli 2018 lalu. Kepala Kebijakan Publik WhatsApp, Carl Woog mengatakan, upaya itu merupakan salah satu perubahan besar yang dilakukan WhatsApp yang saat ini memiliki pengguna lebih dari 1,5 miliar di dunia untuk menghindari berita-berita hoax dan kepentingan politik.

"Kami percaya bahwa perubahan ini akan terus kami evaluasi dan membantu menjaga WhatsApp, seperti apa yang dirancang untuk menjadi aplikasi perpesanan pribadi," tutur Woog.

Mulai Berlaku Global
Pembatasan meneruskan pesan sebanyak maksimal lima kali itu, awalnya hanya berlaku di India. Akan tetapi belakangan ini sejumlah pengguna dari negara lain mulai berteriak karena mengalaminya pula.

Situs WABetaInfo, pada 15 Desember 2018 menulis cuitan di Twitter. Isinya pemberitahuan bahwa penerusan pesan kian dipersempit dari 20 kali menjadi 5 kali. Untuk diketahui, WABetaInfo adalah pihak yang menganalisa WhatsApp dalam versi beta dan memberitahukan kepada publik setiap pembaruannya.

Sejumlah warganet menyambut cuitan tersebut. Akun Sascha 'Puma' Taborsky @Puma185 membalas: "Sejak 5 hari lalu di Austria."

Dijawab lagi oleh WABetaInfo: "Ia seharusnya sudah berlaku secara global sekarang."

Mengacu pada informasi tersebut, VIVA mencoba menguji apakah peraturan forward maksimal lima kali itu sudah berlaku bagi pengguna WhatsApp di Indonesia. Hasilnya, pada Senin, 17 Desember 2018, VIVA masih dapat mengirim penerusan pesan lebih dari lima kali.

Meski begitu, yang paling penting digarisbawahi dari pembatasan penerusan pesan adalah upaya dari media yang terlibat untuk serius menanggulangi penyebaran kabar palsu. Mengingat dampaknya tak dapat dipandang sebelah mata.

Sebagai pengguna, kita pun punya andil. Dari sisi penyedia platform telah berusaha membatasi, dari sisi pengguna berupaya untuk lebih kritis mencerna sebuah informasi, dan menghindari sikap yang mudah percaya tanpa mengecek kebenarannya. Apalagi yang mengandung unsur provokasi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya